By
: Isnan Ansory, M. Ag -
Kira-kira
apa yang dipahami seorang yang awam tatkala membaca terjemahan ayat-ayat
berikut, khususnya pada potongan ayat berikut ini :
“Maka
patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah. Padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah
Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu
diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang yang ragu-ragu.” ” (QS. Al An’am: 114).
Bisa
jadi seorang awam yang membaca beberapa ayat di atas akan menyimpulkan bahwa,
dasar hukum yang berlaku dalam Islam hanyalah Al-Quran semata sebagaimana
pemahaman orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW.
“Dan
dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang
baik.
(QS. An Nahl: 67).
Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamer atau minuman yang memambukkan hukumnya adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imron:
130).
Bisa
juga dia akan menyimpulkan bahwa memakan harta yang dihasilkan dari proses yang
riba tidaklah haram jika sedikit dan tidak berlipat ganda.
Padahal,
bagi yang sedikit banyak membaca pendapat-pendapat ulama terkait ayat-ayat di
atas, dapat memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan di atas adalah keliru.
A.
Instrumen Dalam Memahami Al-Quran
Dalam
memahami ayat-ayat Al Qur’an, dibutuhkan banyak instrumen, yaitu berbagai ilmu
penunjang. Maksudnya agar kita mendapatkan pemahaman yang benar, sebagaimana
diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di
antaranya adalah kaedah-kaedah tafsir Al-Quran, asbabunnuzul, ilmu tentang as-saabiq
dan al-laahiq, an-nasikh dan al-mansukh, dalalah al-alfadz, al-manthuq dan
al-mafhum, al-‘am dan al-khas, al-muqayyad dan al-muthlaq,
musthalah al-hadits dan lainnya.
Sebagai
satu contoh, terkait ayat ke-114 dari surat Al-An'am. Ayat ini seringkali
dipakai (dicomot) oleh orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW untuk
melegitimasi keyakinan mereka terkait sumber hukum dalam Islam. Dimana mereka
mengatakan bahwa hanya Al-Quran sajalah yang dapat menjadi sumber atau standar
hukum dalam Islam. Sedangkan sunnah dan sumber lainnya tidak diperlukan.
Alasannya, karena Al-Quran dianggap telah merinci (mufashshal) semua
masalah dan tidak memerlukan rincian lainnya.
Padahal
jika mereka ingin jujur dan konsisten dalam keyakinannya, mereka pasti akan
pula menjadikan Sunnah Nabi sebagai dasar hukum yang juga dilegitimasi oleh
Allah SWT dalam banyak ayat Al Qur’an, sebagaimana pula pada ijma’ dan qiyas.
Atau
jika mereka menggunakan konsep as-saabiq dan al-laahiq dalam
membaca ayat di atas, pastilah kesimpulan mereka bahwa Al Qur’an telah merinci
setiap masalah agama bahkan dunia akan terbantahkan dengan sendirinya.
Allah
SWT berfirman:
“Kalau
sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati
berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan
mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah
menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan
(dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada
sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu
(manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,
maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Dan
(juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat
cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka
mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.
Maka
patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah
Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu
diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang yang ragu-ragu (QS. Al An’am: 111-114).
Berdasarkan
konsep as-saabiq (membaca korelasi sebuah ayat dengan ayat sebelumnya),
kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Quran yang Allah turunkan
dengan terperinci adalah terkait dengan masalah ukhrawi atau masalah ghaib.
Sedangkan
untuk masalah-masalah hukum seperti shalat, zakat, haji dan lainnya, Allah
tidak menurunkan penjelasannya secara rinci. Allah menugaskan rasul-Nya untuk
menjelaskan rincian hukum-hukum tersebut yang selanjutnya diteruskan oleh
ulama-ulama yang mewarisi ilmu para rasul.
Allah
SWT berfirman:
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44).
“Dan
Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An Nahl: 64).
Di
samping itu, tidaklah mungkin terjadi kontradiksi/pertentangan antara satu ayat
dengan ayat lainnya, sebagaimana ketetapan Allah SWT, “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa: 82).
Dalam
konteks memahami nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits inilah, akhirnya para ulama
menetapkan bahwa wajib seorang yang awam, -yaitu orang-orang yang tidak
memiliki kompetensi sebagai mujtahid serta tidak memiliki ilmu-ilmu atau
perangkat-perangkat untuk berijtihad-, untuk bertanya dan mengikuti
pendapat-pendapat ulama yang mumpuni dan diakui. Atau dalam literatur fiqih
disebut dengan taqlid. [1]
Bukankah
dalam perkara dunia saja hal ini merupakan suatu yang lumrah terjadi. Seorang
yang sakit umumnya tanpa berpikir panjang akan menuruti saran-saran dokter
untuk kesembuhannya. Hal yang sama pun berlaku dalam masalah agama, bahkan
dirasa lebih urgen, sebab dimensi agama mencakup dunia dan akhirat.
Yang
tentunya dibutuhkan kehati-hatian yang lebih agar amalan yang dilakukan sesuai
dengan koridor yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya.
B.
Pengertian Taqlid
Secara
bahasa kata taqlid (التَّقْلِيدُ) merupakan mashdar dari kata
qallada (قَلَّدَ) yang berarti mengikatkan
sesuatu dileher seseorang. [2].
Sedangkan
secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian
taqlid.
1.
Pengertian Pertama
Definisi
taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:
قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
“Menerima/mengikuti
perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”
Seperti
seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama.
Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah SAW atau
perkataan ulama yang telah menjadi ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab
perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.[3]
2.
Pengertian Kedua
الأْخْذُ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عدم مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
“Mengambil
perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.”
Seperti
layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa
ia mengetahui dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan.
Definisi
ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan
imam Asy Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad
dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat
orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini.[4]
Hanya
saja menurut penulis definisi yang kedua ini mengandung kelemahan dari beberapa
sisi:
Pertama
: Pendapat
ini diambil oleh minoritas ulama, bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa telah
terjadi ijma’ di antara ulama bahwa manusia terbagi dua; mujtahid dan muqallid.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Rusyd, Abu Hamid Al Ghazali dan imam Al
Harawi.
Kedua
: Terlepas
seseorang mengatahui dalil yang mendasari pendapat seorang mujtahid atau tidak,
maka ia pada ada dasarnya tetaplah muqallid (bertaqlid) kepada mujtahid
tersebut.
Sebab
meskipun ia tahu dalil pendapatnya, tetaplah ia masih tidak mampu untuk
menetapkan sebuah dalil atas sebuah masalah yang dihadapi kecuali jika yang
bersangkutan telah mencapai derajat mujtahid yang dibuktikan dengan
pengetahuannya yang mendalam terhadap perangkat-perangkat ijtihad sebagaimana
yang dijelaskan oleh imam Al Ghazali ketika menjelaskan tentang syarat-syarat
mujtahid :
“Harus
mengetahui lengkap dalil-dalil syar’i (madarik asy syar’) yaitu dengan
mengetahui dalil-dalil yang membuahkan hukum dan mengetahui tata cara
membuahkannya.
Adapun
dalil yang membuahkan hukum ada empat: (1) Al Qur’an (2) As Sunnah (3) Al Ijma’
(4) Akal. Sedangkan tata cara membuahkannya dengan empat ilmu, dua ilmu pokok
yaitu (1) ilmu tentang cara menetapkan dalil atas sebuah masalah (ushul fiqih)
(2) ilmu bahasa Arab dan nahwu, dan dua ilmu penyempurna yaitu (1) nasikh
mansukh (2) ilmu musthalah hadits.” [5]
Ketiga
: Atau
bisa pula dua definisi di atas disingkronkan (al jam’u wa at tawfiq) dengan
menyimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai mujtahid pada masalah yang
ia dapat berijtihad di dalamnya dan ia disebut pula sebagai seorang muqallid
dalam masalah yang lain. Dan ini adalah maksud dari ucapan ulama, “Sesungguhnya
baik ijtihad maupun taqlid bisa saja terbagi-bagi”. [6]
Keempat
:
Selain itu, jika merujuk kepada definisi pertama bahwa taqlid adalah mengikuti
ucapan ulama yang pada dasarnya bukan merupakan hujjah, akan tetapi kita tahu
bahwa ulama yang boleh diikuti ucapannya adalah ulama yang mempunyai
kapabilitas berijtihad dan kemampuan memamahi dalil-dalil Al Qur’an dan As
Sunnah secara luas, seperti empat imam mazhab; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy
Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dan kita ber-husnu dzan (berprasangka baik)
kepada mereka bahwa pastilah pendapat-pendapat mereka didasari atas sebuah
dalil.
Syaikh
Waliyullah Ad Dahlawi berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengambil mazhab
4 (dalam menjalankan agama) adalah maslahat yang besar dan berpaling darinya
secara keseluruhan adalah bencana yang besar.” [7]
أن هذه المذاهب الأربعة المدونة قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح ما لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه
“Sesungguhnya
empat mazhab yang telah terkodifikasi ini telah disepakati oleh umat akan
bolehnya bertaqlid kepada mereka hingga hari ini. sebab di dalamnya terdapat
kemaslahatan yang tidak diragukan lagi, apalagi di saat banyak orang kehilangan
semangat (dalam menuntut ilmu), takluknya jiwa oleh hawa nafsu, dan setiap diri
merasa ‘ujub (benar sendiri) dengan pendapatnya.”
C.
Dalil-dalil Wajibnya Bertaqlid kepada Ulama
Dalam
kitabnya, Alla Mazhabiyyah, DR. Said Ramadhan Al Buthi menyebutkan sejumlah
dalil atas wajibnya seorang yang awam bertaqlid kepada pendapat ulama yang
mumpuni.
1.
Firman Allah SWT:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43).
Dan
sudah menjadi konsensus ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang
tidak mengetahui hukum dan dalil sebuah masalah untuk ittiba’ (taqlid) kepada
orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqih berpendapat bahwa ayat
tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam untuk
mengikuti orang alim yang mujtahid.
2.
Ijma' Ulama
Sudah
menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulullah
SAW berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa
(mujtahid).
Dan
sudah jelas bahwa agama diambil dari semua shahabat, tetapi mereka ada yang
mempunyai kapasitas berijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan
dengan jumlah semua shahabat, serta di antaranya juga ada mustafti atau
muqallid dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak.
Dan
seorang shahabat yang menjadi mufti tidak setiap menyebutkan hukum selalu
memaparkan dalilnya kepada si penanya.
Di
samping itu, Rasulullah SAW juga mengutus seorang faqih dari kalangan shahabat
ke pelbagai daerah yang penduduknya tidak tahu menahu tentang hukum Islam
kecuali akidah Islam dan keyakinan rukun-rukunnya saja. Dan kemudian mereka
mengikuti apa saja yang difatwakan oleh shahabat tersebut dan mendorong mereka
mengikutinya dalam praktik amaliyyah, ibadah, muamalah dan macam ragam urusan
halal dan haram.
Imam
Ghazali dalam Al-Mustashfa bab taqlid dan meminta fatwa, mengambil dalil akan
wajibnya orang awam bertaqlid, ia berkata, “Aku mengambil dalil atas hal
tersebut dengan dua jalan, salah satunya adalah ijma’ shahabat. Mereka
memberikan fatwa kepada orang awam dan tidak memerintahkan mereka supaya
menggapai derajat ijtihad. Dan hal itu sudah maklum secara pasti serta
mutawatir dari ulama dan yang awam dari mereka.”[8]
Al
Amidi dalam Al Ihkam berkata, “Adapun dalil ijma’ nya, orang-orang awam di masa
shahabat dan tabi’in, sebelum munculnya orang-orang yang menyelisihi, selalu
meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikutinya dalam kaitan hukum-hukum
syariat. Ulama yang mujtahid tersebut bergegas menjawab hukum tanpa menyebutkan
dalilnya, dan faktanya shahabat tidak ingkar dan tidak melarang. Hal itu
menjadi ijma’ akan bolehnya orang awam mengikuti mujtahid secara mutlak.” (Al
Ihkam fi Ushul Al Ahkam, 2/171).
3.
Dalil Akal
Orang
yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqih, pilihannya hanya
ada dua; antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang
dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. Jika memilih yang
awal, maka itu sangat tidak mungkin karena ia harus menggunakan semua waktunya
untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab
masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu
lama, sehingga pekerjaan dan profesi maisyah pastilah akan terbengkalai.
Klimaksnya, dunia ini akan rusak. Dan pilihan terakhirlah yang ditempuh, yaitu
taqlid.[9]
Sedangkan
terkait perkataan emapat imam mazhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada
mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab
larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tidak mampu berijtihad dari
Al Qur’an dan Al Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka
wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. [10]
Wallahua'lam
bis asshawab
Catatan
Kaki :
[1]
Lihat: Ibnu Rusyd Al Hafiid, Adh Dharuri fie Ushul Al Fiqh 1/94, Abu Hamid Al
Ghazali, Al Mustahasfa, h. 382-383.
[2]
Raudhah An Nadzir 2/449
[3]
Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450
[4]
I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236
[5]
Al Musthashfa 1/342-343.
[6]
Said Ramadhan Al Buthi, Alla Mazhabiyyah Akhtar Bid’atin Tuhaddid Asy Syariah
Al Islamiyyah
[7]
‘Iqd Al Jid fi Ahkam Al Ijtihad wa At Taqlid h. 20). Dan beliau berkata dalam
kitabnya, Al Inshaf fi Bayan Asbab Al Ikhtilaf, (h. 97
[8]
Al Mustashfa 2/385
[9]
Alla Mazhabiyyah: Akhar bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah, h. 70-73,
Takhrij Ahadits Al Luma’ h. 348.
[10]
Al-Mizan Al-Kubra 1/62