Senin, 06 November 2017

SUAP DAN KORUPSI

Oleh Ust Hanif Lutfi Lc MA

Pada episode berikut dalam mata pelajaran Fiqih Muamalat ini, kita akan membahas mengenai Suap dan Korupsi.

Kita terlebih dahulu mengawali pembahasan mengenai Suap. Mengapa? Karena dalam bahasa Arab istilah suap sudah ada padanan katanya, sementara istilah korupsi para ulama masih berbeda pendapat mengenai padanan kata korupsi dalam bahasa Arab. Secara hukum di Indonesia, suap masuk ke dalam korupsi. Akan tetapi, pembahasaan korupsi lebih luas, diantaranya mencakup penyalahgunaan wewenang. Implikasi hukum pada masalah korupsi pun berbeda dengan mencuri. Apakah seseorang yang melakukan korupsi mendapatkan hukuman berupa potong tangan layaknya seseorang yang mencuri? Korupsi dalam syariat masuk dalam wilayah khianat ataukah ghulul? Jawaban tersebut akan dibahas dalam pasal koruptor pada segmen selanjutnya.

Berbicara mengenai suap dan korupsi sebetulnya sudah dianggap cukup jika tidak menggunakan dalil, atau istilah dalam bahasa Arabnya adalah istaf tiqal bakh artinya menanyakan ke dalam hati. Jika hati sudah tidak bisa memfilter, paling tidak setelah bertanya dalam hati, seseorang akan melihat dalam kacamata undang-undang positif. Hati nurani manusia memiliki kecenderungan untuk membenarkan dari undang-undang yang positif.

Orang-orang yang melakukan tindakan korupsi, hampir-hampir paham bahwa hukum melakukan suap adalah haram. Namun, ada nafsu yang menjadikan seseorang tergelincir dalam perbuatan haram tersebut. Bisikan-bisikan nafsu tersebut diantaranya adalah mudah mendapatkannya, tidak ada yang mengetahui perbuatannya, dan momen yang tepat. Sebetulnya sangat beruntung bagi koruptor yang diketahui perbuatannya. Patut bagi koruptor untuk mengucapkan rasa terimakasih kepada KPK. Ini merupakan tanda bahwa Allah masih memberikan kesempatan untuk bertaubat. Pada kasus lain, misalnya seorang perempuan yang menjual dirinya. Perempuan tersebut paham bahwa perbuatan tersebut haram hukumnya, tetapi tetap saja dilakukan karena berbagai alasan misalnya terdesaknya kebutuhan hidup.

Akhirnya, yang menjadi masalah adalah kemauan kuat seseorang untuk berubah, sehingga tidak akan terjadi seseorang menerima suap karena bukan keinginan tetapi paksaan. Dengan mempelajari fiqih mengenai suap dan korupsi ini, diharapkan masing-masing pribadi mengetahui dalil dan juga ancamannya (hukumannya). Ketika sudah berbicara mengenai pilihan hidup, maka sudah masuk pada tanggungjawab individu. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa hukuman ada dua, di dunia dan di akhirat. Dengan belajar fiqih muamalat ini menjadi penguatan untuk setiap individu, dikarenakan kelak kita akan mempertanggungjawabkan semua amal kita di akhirat.

Dalam hukum di Indonesia, suap masuk ke dalam bentuk korupsi.

Segi bahasa

Dalam bahasa Arab disebut ar risywah. Risywah berasal dari 2 huruf, yaitu ra dan syin. Dalam lisanul Arab dikatakan mayu’tha lighghadhain mashlihatin, malah artinya bagus, sesuatu yang diberikan kepada orang lain untuk menyampaikan sesuatu kebaikan, demi suatu kemashlahatan. Kemasalahatan ada tiga jenis, kemasalahatan yang diakui, kemaslahatan uang mursalah, dan kemaslahatan yang tidak diakui (mughlud).

Segi istilah

Para ulama memaknai risywah sebagai mayu’tha  liibthalil haqqin auli ihthaqibathilin, segala sesuatu yang diberikan untuk membatalkan sesuatu yang sebenarnya dia itu benar (liibthalil haqqin) atau untuk membenarkan sesuatu yang sebenarnya bathil (liihthaqibathilin). Ada sesuatu yang haq, gara-gara diberi sesuatu menjadi bathil, atau ada sesuatu yang bathil sebenarnya, gara-gara diberi sesuatu menjadi haq.

Kasus suap biasanya sering terjadi di pengadilan. Dia itu sebenarnya salah, akan tetapi menjadi benar karena dia menyuap hakim. Sementara pihak yang seharusnya benar, lantas menjadi salah, karena lawan telah menyuap hakim. Dalilnya adalah “mayu’tihi syahsyu lil hakim awghairihi liyahkumalahu awyahmilahu alamuyuriydu yang artinya segala sesuatu yang diberikan kepada hakim untuk dimenangkan hukumnya atau dimenangkan perkara sesuai yang diinginkan.

Suap tidak hanya terjadi dalam kasus di pengadilan, akan tetapi dalam semua sisi kehidupan dimungkinkan terjadi suap.

 Dalilnya bisa kita bagi menjadi dua, yang pertama adalah Al Qur’an dan yang kedua adalah Sunnah.

Dalil Al- Qur’an

Dalam surah Al Baqarah: 188 dikatakan,

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Kalian jangan memakan harta teman kalian dengan bathil dengan cara dia memberikan sesuatu (suap) kepada hakim. Barang itu aslinya milik orang lain. Akibat hakim memutuskan, “Tidak, ini milik dia.”, akhirnya barang itu menjadi milik dia.  Itu namanya termasuk memakan harta orang lain dengan bathil. Ini tentang kehakiman. Maksudnya adalah suatu putusan yang gara – gara hakim itu disuap, harta orang lain malah berpindah. Dengan kata lain, keputusan hakim tersebut dipengaruhi oleh suap.

Dalam surah Al Maidah: 42,

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Orang – orang Yahudi suka mendengar sesuatu hoax. Kadzib itu artinya bohong. Sekarang bahasa yang populer adalah hoax, kebohongan yang selalu disebarkan lewat media sosial. Mereka (Yahudi) makan sesuatu yang haram. Para ulama ahli tafsir menyebutkan bahwa as-Suhtu itu lebih kepada ar-Risywah atau suap menyuap. Artinya, as-Suhtu adalah sesuatu yang dibenci dan memang itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Akkaluuna li as-Suht artinya adalah akkaluna li ar-Risywah.

Dalil Sunnah

Dalam suatu hadits disebutkan, “Rasulullah SAW. melaknat orang yang memberi suap, dan orang yang menerima suap, dan dalam riwayat Ibnu Umar ditambahkan “dan orang yang jadi perantara.”

Rasulullah SAW. melaknat orang yang memberi suap dan orang yang menerimanya. Yang masyhur adalah hadits itu. Tetapi dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Imam al-Hakim, ditambahkan rooisy atau perantara juga termasuk orang yang dilaknat.

Orang pertama menjadi pejabat dan orang kedua memiliki proyek. Harusnya orang yang kedua tidak berhak. Kalau orang kedua menyuap orang pertama, dia menjadi berhak. Kadang – kadang, orang yang kedua ini tidak langsung memberikan suap kepada pejabat itu melainkan lewat ajudannya, istrinya, orang dekatnya atau perantara lain. Karena kalau langsung memberikan suap tersebut, media akan meliput. Ternyata rekeningnya masuk ke rekening orang lain. Sekarang, hal ini sangat mungkin terjadi. Ada proyek pemerintah dan harusnya semua orang memiliki kemungkinan yang sama. Kemudian ada seseorang yang menyuap. Kalau orang itu langsung menyuap ke rekening yang dituju, pasti akan sangat kelihatan. Sekarang modelnya orang yang menerima suap akan berkata, “Bangun kontrakan 50 pintu di sana atas nama istri saya.” Hal ini tidak terdeteksi karena orang membangunkan sesuatu untuk orang lain itu tidak terdeteksi. Sekarang sangat mudah untuk melakukan hal tersebut dengan model apapun. Tidak serta merta hanya memberikan langsung kepada orang yang berkepentingan. Itu namanya rooisy (ada perantara dalam suap menyuap) dan rooisy ini juga dilaknat Rasulullah SAW.

Kalau Rasulullah SAW sudah melaknat, ketika di akhirat nanti mau ikut siapa? Mau minta tolong kepada siapa? Ini adalah hadits yang masyhur. Kalau kita cari dalil hadits mengenai suap, pasti haditsnya seperti hadits yang sudah disebutkan sebelumnya. Misalnya dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, dan at-Tirmidzi, isinya sama dengan hadits sebelumnya. Hadits tentang suap memang hanya itu.

Ada hadits yang cukup spesifik yang berbicara tentang gratifikasi. Gratifikasi hampir sama dengan suap tetapi bedanya adalah bentuknya memberi hadiah kepada orang lain dalam rangka tugas. Dalam hadits Muttafaq ‘alaih, suatu ketika Rasulullah SAW. mengangkat karyawan untuk mengambil uang zakat yang bernama Ibnul Lutbiyah. Nabi SAW. biasa mengutus orang ke berbagai wilayah. Salah satunya adalah Ibnul Lutbiyah. Ketika Ibnul Lutbiyah datang kepada Nabi SAW., beliau berkata, “Ini adalah uang shodaqoh dan yang ini adalah hadiah dari orang – orang untuk saya.”   Kalau dipikir secara logika sederhana, salahnya dimana? Toh orang lain itu memang berniat untuk memberikan hadiah kepada Ibnul Lutbiyah yang harusnya halal. Namun ternyata Nabi SAW. bertanya seperti ini, “Kalau kamu hanya di rumah saja, tidak kemana – mana,  dan tidak menjadi pegawai zakat, kira – kira apakah kamu akan mendapat hadiah?” “Jelas tidak.” “Berarti kamu mendapat hadiah karena menarik zakat.”

Jika hal ini terjadi, maka ada kemungkinan apa? Dulu yang namanya amil zakat itu fungsinya untuk menghitung apakah zakat yang dikeluarkan sudah sesuai atau belum. Kalau amil sudah diberi hadiah, bisa jadi dia akan berkata, “Oh, ya sudahlah. Teman sendiri. Tidak perlu saya tulis semuanya.” Pasti hadiah tersebut berpengaruh kepada sikap amil. Kemudian Nabi SAW. berkhutbah, “Tadi saya mengutus satu orang untuk menjadi amil zakat. Dia mengatakan “Ini adalah hadiah untuk saya dan yang ini adalah uang shodaqoh.” Kalau dia diberi dan ternyata bukan hak semestinya, maka hadiah itu (yang dianggap risywah) akan ketahuan ketika di Yaumul Mahsyar. Dia akan menanggung hadiah tersebut di atas punggungnya. Orang – orang akan melihat dia yang berjalan bungkuk karena menanggung harta yang tidak halal.” Hadiah di zaman dahulu terkadang berupa unta, sapi, atau kambing. Ketika di Yaumul Mahsyar, dia akan berjalan sambil menggendong kambing atau sapi. Mengapa seperti itu? Karena dulu dia diberi kambing atau sapi gara – gara itu. Kalau yang diberi adalah apartemen, berarti dia menggendong apartemen. Misalnya diberi mobil Lamborghini, dia akan menggendong mobil itu kemana – mana. Kalau sekarang enak, mobil yang dia naiki. Besok, dia yang akan dinaiki mobil.

Hampir semua orang tahu apa konsekuensi risywah. Ketika seseorang dalam posisi tertentu yang karena posisi tersebut dia mendapat hadiah, Dia sebenarnya tahu mengapa orang – orang memberikan hadiah kepadanya. Hadiah yang sebenarnya dari sisi fiqih mu’amalat nya halal, akan berubah menjadi dilarang ketika orang yang diberi hadiah itu berada dalam posisi tertentu.

Dalam hukum postif Indonesia, hal tersebut dinamakan gratifikasi. Contoh gratifikasi adalah, ada seseorang yang memenangkan tender kemudian yang dimenangkan tender-nya itu ingin memberikan hadiah kepada orang yang sudah memenangkannya. Jika ada yang bertanya, “Hadiah itu untuk apa?” Dia menjawab, “Tidak untuk apa – apa, hanya ingin memberi saja.” Terlepas orang tersebut memberi hadiahnya dengan ikhlas atau tidak tetapi karena posisi orang yang diberi hadiah secara lahir seperti itu maka memberi hadiah kepada orang tersebut tetap dilarang.

Memang seperti itulah yang dijelaskan oleh Nabi SAW. dalam haditsnya. Karena Nabi SAW. mengatakan bahwa Ibnul Lutbiyah mendapat hadiah karena posisinya sebagai pegawai zakat. Ini adalah sikap kehati-hatian Nabi SAW. dalam menyikapi suatu kasus karena hal ini sangat rentan untuk disalahgunakan. Al Insan ‘abidul ihsan, artinya manusia itu menjadi hamba suatu kebaikan. “Ketika ada orang baik, masa iya dia tidak dikasih hadiah. Kasih hadiah saja.” Hal seperti ini sering terjadi sehingga Rasulullah SAW. sangat berhati – hati. Barangkali ini sebagai saddali dzari’ah.

Itulah hadits – hadits yang menjadi dalil tentang pengharaman risywah. Baik hadits la’ana rasululullah shollallahu ‘alaihi wa salam maupun hadits tentang zakat.

Berdasarkan dua dalil sunnah dapat diketahui bahwa Allah melaknat tiga orang diantaranya yakni yang memberi suap, menerima suap, dan perantara suap. Penerima suap terbagi menjadi dua, penerima yang sengaja meminta, dan penerima yang tidak meminta. Ketika ada yang meminta “Oh kamu mau ini ya? Tapi asal kamu tahu aja lah yang sebenarnya”. Sebetulnya orang yang meminta suap ini mengetahui hukumnya.  Yang kedua, penerima suap yang tidak meminta. Contohnya adalah penerima suap yang tiba-tiba ditawari mobil, misalnya, dan penerima mau dengan mobil tersebut. Anggapan penerima “Ya saya dikasih kok”, padahal maksudnya adalah menyuap. Nah, ini kadang-kadang yang mengagetkan. Tiba-tiba ada oot (operasi tangkap tangan), polisi tetap memvonis penerima bersalah. Artinya, secara hukum positif saja, penerima yang tidak sengaja meminta sudah dianggap salah. Dalam bahasa Arab, penerima kedua disebut ibnulud biha, artinya tidak meminta kok tapi dia tidak menolak. Dia berarti al murtasyi’. al murtasyi’ adalah maf’ul (objek). Jika dia meminta maupun tidak tetap sama kedudukannya menjadi objek, karena dia memiliki kemungkinan untuk menerima. Titik tekannya ada pada menerimanya itu. Contoh lain adalah penerima yang tidak menerima langsung, tetapi melewati oranglain. “Saya tidak menerima sih, tapi istri saya yang menerima”. Bisa jadi dalam undang-undang positif tercatat bukan dia seorang, tetapi partai atau organisasi. Dia tidak mendapatkan uang, tetapi sekolahan miliknya dibantu dalam pembangunannya. Artinya, sama juga ini termasuk ke dalam suap, karena harusnya haq jadi bathil ketika bathil jadi haq.

Pemberi bisa dibagi menjadi dua, pemberi yang sengaja dan pemberi yang terpaksa. Pemberi yang secara sengaja disebut ar rasyi’ atau bersengaja. Kesengajaan ini dilakukan karena dia nanti akan mendapatkan jatah yang lebih banyak meskipun harus berkorban sedikit. Misalnya ada proyek yang sebenarnya proyek ini bebas semuanya boleh ikut. Tapi gara-gara dia memberi, maka dia mendapatkan proyek. Perbuatan ini merupakan perbuatan mendzolimi orang lain, karena setiap orang memiliki kemungkinan yang sama untuk mendapatkan proyek. Kedua, pemberi yang terpaksa. Terpaksa memberi, artinya dia membenarkan sesuatu yang salah, atau menyalahkan sesuatu yang benar. Titik tekan terpaksa memiliki dua kemungkinan, antara mau membayarkan suapnya atau  mengurungkan niat untuk tidak jadi melakukan suap. Pemberi yang terpaksa masih memiliki pilihan. Artinya, dia tahu bahwa memberi adalah sebuah kesalahan, akan tetapi “ya udah kamu mau benar kan? Oke, kamu bayar sekian”. Hukumnya tetap saja sama, jika dilakukan, maka sudah dihukumi memberi.

Akan tetapi berbeda, jika pemberi terpaksa namun dalam posisi justru hal itu yang benar untuk dilakukan. Contohnya, dia memberikan sesuatu gara-gara dalam rangka memperoleh haknya. Misalnya saya memiliki masalah dengan oranglain terkait sengketa tanah. Oranglain mengotot kalau dia memiliki hak atas tanah tersebut. Akan tetapi, bukti surat menunjukkan oranglain tersebut tidak memiliki hak atas tanah tersebut. Maka, para ulama memperbolehkan melakukan pemberian dalam rangka memperjuangkan haknya. Dalil yang dijadikan landasan ulama dalam membolehkan perkara tersebut adalah fa amma ma yu’to tawasulli ilaa ahzi hakki, audaf’i dzulmi faghoiru daahili fiihi yang artinya pemberian kepada oranglain dalam rangka memperjuangkan haknya atau untuk menolak kedzoliman terhadap dirinya, maka itu tidak termasuk suap. Atau contoh lainnya adalah ketika oranglain yang salah, justru diri kita yang dihukum, maka boleh melakukan pemberian dalam rangka memperjuangkan hak atas diri kita yang seharusnya tidak dihukum. Beberapa ulama membolehkan dengan alasan berdasarkan ruya annabna mas’ud ukhida bi ardhil habasa. Suatu ketika Ibnu Mas’ud itu pernah tertangkap (tidak dijelaskan sebabnya) di Habasa. Dia tidak melakukan apapun.  Fi syai in dalam suatu perkara fa’tho dinaroini. Beliau itu memberikan dua dinar, hatta khulya sabiluhu sehingga dia itu dilepaskan. Dari sini para ulama itu menyebutkan bahwasannya ruya an jamaatin min a immatit tabi’in dalam kitab tuhfatul ahwalin nanti disebutkan qalu la ba’sa ayyu shonni ar rojulu an nafsihi wa maalihi idza khofa al dzulm.

Jika takut didzolimi, maka tidak masalah jika memberi. Misalnya, seharusnya dia tidak membayar, akan tetapi diancam jika tidak memberi maka akan dihukum lima tahun. Beberapa ulama jaman tabi’in itu membolehkan ketika dia terdzolimi, meskipun pendapat membolehkan memberi ini terkadang menjadi rancu, orang yang merasa berhak berbeda dengan benar-benar berhak. Misalnya pada kasus orang mau masuk polisi. Dia sudah latihan sebaik mungkin, dan yakin sudah memenuhi perssyaratan diterima menjadi polisi karena memenuhi beberapa syara, lulus SMA, tinggi mencukupi, renang, dan kesehatan cukup. Kemudian, dia melakukan memberi karena percaya diri pantas untuk diterima. Bisa juga pada kasus yang hampir sama yakni, seorang yang akan mendaftar PNS merasa yakin karena dia ranking satu di sekolahnya. Dia memberi uang supaya proses seleksi PNS bisa berjalan lancar. Statusnya dia sebetulnya belum tentu memiliki hak, karena dia memiliki banyak saingan yang juga memiliki peluang sama. Hal seperti ini tidak diperbolehkan, kecuali kasusnya adalah orang tersebut sudah masuk menjadi PNS, dan dia terancam dikeluarkan bukan sebab dia masalah. Beberapa tabi’in, memberikan rukhsah dalam rangka dharurat. Maka, ketika dharurat itu tuqaddaru bi qadriha dikira-kira sebagaimana mestinya. Bukan merasa berhak, tetapi memang benar-benar berhak. Masalah ini sangat riskan masuk ke dalam haram, makanya harus berhati-hati ketika menentukan diri sendiri memiliki hak. Kadang-kadang orang merasa berhak lantas memberikan sesuatu. Padahal itu bukan berhak tapi merasa berhak.

Kesimpulannya adalah suap belum tentu diharamkan. Pada kondisi tertentu atau terpaksa dan berhak maka ulama membolehkan. Terpaksa yang dimaksud adalah yang terdzolimi. Tapi perlu untuk hati-hati dalam menetapkan tingkat kedaruratan suatu masalah. Harus terukur jelas, sehingga bisa menyatakan dirinya berhak bukan merasa berhak. Undang-undang gratifikasi sudah diatur sedemikian rupa, sehingga orang yang menjadi pejabat publik agar tidak terkena hukum karena melakukan gratifikasi maka perlu untuk mempelajari ilmu mengenai hal ihwal pekerjaanya.

 Mari kita lanjutkan pembahasan kita mengenai korupsi. Apakah korupsi ini sama kedudukannya dengan suap? Ataukah berbeda? Kita simak penjelasan berikut.

Kata korupsi dalam bahasa latin disebut coruptio atau coruptos. Dalam bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam bahasa Belanda disebut corupty. Kata korupsi dimungkinkan diadopsi dari bahasa Belanda, karena Indonesia pernah dijajah Belanda selama kurang lebih 350 tahun. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata korupsi memiliki beberapa makna, diantaranya busuk, palsu atau suap.

Dalam kamus hukum korupsi adalah buruk, rusak, suka menerima sogok, menyelewengkan uang atau barang negara dan perusahaan. Misalnya menerima uang dengan jabatannya untuk kepentingan pribadi.

Para ulama menyebut istilah korupsi dengan khianat “‘idatu minal khianat” dan ghulul. Kata khianat ini diambil untuk menyebut istilah korupsi yang berarti menyalahgunakan wewenang. Jika seorang pejabat melakukan korupsi, artinya dia berkhianat terhadap jabatan itu sendiri. Ghulul adalah menggelapkan uang atau barang tanpa sepengetahuan oranglain.

Dalam ranah fiqih maupun hukum positif, korupsi dan mencuri memiliki implikasi hukum yang berbeda. Mencuri (sariqoh) memiliki implikasi hukum berupa dipotong tangan. Misalnya adalah pencurian ayam dan uang rakyat. Dua kasus pencurian, tetapi implikasi hukumnya berbeda.

Hukum korupsi berbeda-beda, tergantung bentuk korupsi yang dilakukan. Bentuk korupsi diantaranya adalah suap (risywah), dan menyalahgunakan wewenang. Dalam UU No 31 tahun 1999 dan UU No 22 tahun 2001 disebutkan tentang tindak pidana korupsi terdiri dari 30 jenis. Dari 30 jenis korupsi tersebut dispesifikan lagi menjadi beberapa bab diantaranya, ketika merugikan negara, ketika menerima suap, menggelapkan uang perusahaan atau negara dengan jabatannya, memeras menggunakan jabatan, ketika terjadi kecurangan, dan gratifikasi. Orang yang memeras mengancam dengan berbagai bentuk, misalnya “jika kamu tidak mau memberi uang ke saya, maka akan saya sebarkan di media sosial”. Kecurangan yang terjadi dalam pemerintahan, misalnya pengadaan barang suatu proyek atau tender. Orang tersebut menggelapkan uang tender atau dia tidak menggelapkan uang tender, tetapi mendapatkan suap dari orang yang nanti memenangkan tender. Jadi, dalam hukum positif Indonesia, korupsi memiliki berbagai macam bentuk, diantaranya adalah penyalahgunaan jabatan, menerima siap, menyulang jabatan, dan grativikasi.

Berbagai bentuk penyelewangan tersebut menjadi penting untuk dipelajari semua orang yang menjadi pejabat publik. Dalam kitab ta’limun muta’alim disebutkan afdholi ilmi ifduhal afdhodlalu amal ifduhal, sebaik-baik ilmu adalah ilmu hal. Ilmu hal adalah ilmu tentang pekerjaan yang sedang digeluti. Ketika seseorang menjadi pejabat, maka dia berkewajiban untuk mempelajari/menggeluti ilmu tentang pejabat. Sudah seharusnya perundang-undangan mengenai korupsi harus dihafal oleh para PNS agar tidak ditangkap polisi karena melakukan tindakan korupsi.

Kadang-kadang KPK melakukan penangkapan terhadap pelaku korupsi jika sudah tertangkap tangan. Seharusnya yang dilakukan adalah nahi munkar (pencegahan) sebelum terjadi. “Pak, jangan korupsi pak, nanti saya hukum lho” atau ketika ada yang datang bertamu membawa uang, dengan tegasnya berkata “Pak, nanti kalau uang ini diterima bapak akan terkena hukuman”. Nah, perbuatan yang seperti ini hampir-hampir tidak pernah dilakukan. KPK akan melakukan penangkapan setelah dikasih uang, lalu melaporkan ke polisi. Jika didetailkan lagi, sebetulnya jika pejabat sudah tahu perbuatan korupsi dilarang, apalagi juga sudah disumpah jabatan, maka dia tidak akan melakukan perbuatan curang.

Ulama menyebutkan bentuk korupsi paling tidak risywah, memberi atau diberi sesuatu dalam rangka ittholu haq atau ih qoqu al bathil. Ada dua pejabat yang berseteru, dan salah satunya dimenangkan oleh tender. Pejabat ini bisa berdalih “saya nggak korupsi kok, saya nggak makan uang negara kok, kalau saya makan 1 rupiah pun maka gantung saya di Monas”. Hal tersebut bisa jadi benar. Tetapi kenyataan pejabat tersebut tertangkap KPK karena dia memang tidak makan uang negara tetapi menerima uang dari orang lain.

Bentuk Korupsi

Ada tiga tanda-tanda munafiq (aayatul munafiq), salah satunya adalah ketika diberi kepercayaan dia berkhianat (idza’ tumina khaana). Misalnya, seseorang diberi kepercayaan untuk melayani rakyat malah yang dilakukan adalah menggelapkan uang rakyat. Letak khianatnya orang tersebut adalah karena dia menyalahgunakan jabatan, dan menggelapakan uang rakyat. Para ulama berpendapat bahwa khianat berbeda dengan mencuri. Khianat itu mengambil barang milik orang lain (institusi, atau milik teman) secara diam-diam dalam penjagaan dia sendiri. Sementara, mencuri, barang yang diambil tidak dia jaga sendiri, tetapi ada yang menjaga.

Para ulama tidak menjatuhkan hukum had kepada orang yang berkhianat. Berbeda dengan pencuri dan pezina. Hukum had bagi pencuri adalah dipotong tangan, sedangkan bagi pezina adalah dirajam atau dijilid. Para ulama menjatuhkan hukum ta’zir kepada orang yang khianat. Ta’zir ialah keputusan hukuman bagi khianat diserahkan kepada hakim.

Di dalam hadits riwayat Imam Turmudzi, “laisa ‘alaa khaainin wa laa muntahibin, wa laa mukhtalisin , qath’un”  yang artinya tidak ada bagi orang yang berkhiyanat itu qath’un (potong tangan).

Misalnya, saya menitipkan hp ke antum. Lalu, ketika saya meminta kembali hp saya, antum malah bilang begini, “nggak kok, kapan nitipinnya? Mana buktinya? ini hp saya kok”. Saya tidak memiliki bukti untuk menyatakan bahwa orang yang saya titipi hp bersalah. Orang tadi tidak dipotong tangannya karena dia termasuk berkhianat.

Hukuman ta’zir memang tidak dijelaskan macam-macamnya dalam syar’i. Tidak ada bentuk dari ta’zir, dan bentuknya diserahkan langsung kepada hakim. Seolah-olah dalam pandangan kita, hukuman ta’zir lebih ringan dari had. Padahal bisa jadi ta’zir itu berat, karena hakim yang menentukan bentuk hukumannya sesuai dengan kesalahan yang dibuat. Misalnya, orang yang melakukan korupsi seribu rupiah dengan satu juta mendapatkan hukuman yang berbeda. Hakim lah yang menentukan bentuk hukuman tersebut dari yang paling ringan misalnya push-up sampai paling berat bahkan boleh dibunuh. Hakim memiliki wewenang, diberikan kebebasan untuk berijtihad, hakim mendiagnosis jangkauan kerusakan, lalu menentukan bentuk hukuman yang tepat. Bisa penjara 10 tahun, bisa hukuman mati, bisa disetrum, dan seterusnya.

 Selain khianat, ada juga ghulul. Para ulama menjelaskan “akhdu syain minal ganimah qoblal qismah walau qolla awil khinah minal ghanimah qabla khauziah awil khiyanah minal maghna”. Istilah ghulul muncul untuk menyebutkan seseorang yang mengambil jatah ghanimah sebelum dibagikan oleh iman. “Wah bagus, saya kasih ke saku nih”. Ghulul sedikit mirip dengan khiyanat, namun barang tersebut milik bersama. Orang yang mengambil ghanimah sebetulnya juga memiliki hak dari ghanimah tersebut. Hanya saja orang tersebut telah mengambil hak ghanimah sebelum waktu yang ditentukan. Inilah yang disebut dengan ghulul. Misalnya, ada seseorang yang melakukan korupsi uang sebesar 3 juta rupiah. Sebetulnya dia memiliki hak untuk mendapatkan gaji sebesar 3 juta rupiah, hanya saja dia mengambil bukan pada waktu yang ditentukan.

Para ulama mengharamkan ghulul dengan landasan dalil berikut, “wa maa kaana linabiyyin ay yugalla  wa mayyaglul ya’ti bimaa ghalla yaumal qiyaamah, tsumma tuwaffa kullu nafsin ma kasabat wa hum laa yudzlamuun”. Dalil tersebut hampir sama dengan dalil pertama. “ wa man yaghlul ya’ti bimaa ghalla yaumil Qiyaamah” orang yang ghulul kelak di yaumul qiyamah akan diketahui barang-barang apa yang telah disembunyikan ketika di dunia.

Ketika berbicara mengenai korupsi, maka akan dijumpai beberapa bentuk. Pertama, menerima suap (risywah), kedua menyalahgunakan wewenang (khianat) dan ghulul. Hukuman terhadap orang yang melakukan korupsi ialah ta’zir atau diserahkan kepada hakim. Dalam hal ini, seorang hakim harus memiliki wawasan yang luas (up to date), karena permasalahan yang dihadapi bersifat dinamis. Seorang hakim juga tidak boleh korupsi. Makanya, Nabi Muhammad saw memberikan jaminan bagi seorang hakim. Jika dia benar dalam berijtihad, maka mendapat 2 pahala, dan jika salah dalam ijtihadnya, maka mendapat 1 pahala. Pada faktanya, 9 dari 10 hakim masuk neraka, dan hanya 1 yang masuk surga. Oleh karena itu, menjadi seorang hakim harus amanah. Menjadi seorang hakim bukan sebatas perkara memenangkan, tapi lebih dari itu, harus amanah dan menjalankan sesuai dengan syariat.

Di dalam fiqih muamalat 1 kita lebih dulu belajar mengenai hal-hal yang haram, karena kebanyakan hukum asal muamalah adalah halal, kecuali ada yang mengharamkan. Ketika kita sudah mengetahui yang haram, maka selain yang disebutkan dalam hal-hal haram berarti hukumnya halal.

Akan dilanjutkan dengan Fiqh Muamalat berikutnya.


Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar