Sabtu, 14 Juni 2014

PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA PADA SEBAGIAN SUMBER HUKUM

Assalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokaatuh

Banyaknya pendapat-pendapat para ulama terkait perbedaan status hukum suatu mu’amallah hingga ibadah sunnah semua terkait dengan perbedaan cara pandang dan mengistimbath suatu hukum yang ada di Al Quran maupun Hadits.

Hal ini sesungguhnya sudah ada sejak jaman dahulu, dimulai sejak jaman tabi’in hingga para imam madzhab dan sampai sekarang.

Untuk mengetahui, mengapa terjadi perbedaan pendapat tersebut, berikut ada tulisan ringkas, hasil rangkuman dari buku Tarikh Tasyri yang artinya secara singkat adalah Sejarah Penentuan Hukum Syariat yang diambil dari buku “Ikhtisar Tarikh Tasyri” karangan Dr H Abdul Majid Khon, M. Ag. Semoga bermanfaat.

PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA PADA SEBAGIAN SUMBER HUKUM

Secara umum, sumber hukum Islam ada yang disepakati (muttafaq ‘alaih atau mujma’ `alaih) dan ada yang diperselisihkan (mukhtalaf fih). Sumber hukum yang disepakati adalah Al Quran dan Hadits. Sedangkan sumber hukum yang diperselisihkan adalah ijma’, qiyas, istihsan, mashalih mursalah, istishhab, ‘urf, dan sya’u man qablana..

Berikut akan diuraikan mengenai sumber hukum secara satu persatu secara ringkas..

            1.       Al Quran.
Al Quran adalah wahyu dari Allah, tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang eksistensinya sebagai sumber hukum Islam karena petunjuknya bersifat tegas.

            2.       Sunnah
Sunnah yang dimaksud dalam hal ini adalah hadits.

            3.       Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi SAW mengenai hukum suatu peristiwa.

            4.       Qiyas.
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada teksnya di dalam Al Quran dan hadits, tetapi mempunyai alas an (‘illat) yang sama. Dengan kata lain, membandingkan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada ketentuan hukumnya atas dasar persamaan ‘illat. Misalnya : Minuman keras seperti, tuak, dan bir diqiyaskan dengan khamar karena memiliki ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Contoh lain adalah Haramnya memukul orang tua diqiyaskan dengan larangan berkata ah, sebagaimana disebutkan dalam QS Al Isra’(17);23.

            5.       Istihsan
Istihsan artinya memandang lebih baik. Istihsan menentukan hukum bukan berdasarkan qiyas yang jelas melainkan berdasarkan qiyas yang tidak jelas, karena maslahat menghendaki demikian. Misalnya air bekas minuman harimau itu najis. Akan tetapi, bekas minuman burung elang itu tidak najis. Perbedaannya, harimau minum dengan lidahnya, sementara burung elang dengan paruhnya.

            6.       Mashalih Mursalah.
Mashalih mursalah ialah maslahat yang tidak disebut dalam hukum. Hukum ditetapkan untuk keselamatan umum dan akan mengalami perubahan sesuai dengan berkembangnya zaman. Misalnya, hadirnya surat nikah atau surat cerai’ penumpasan orang-orang yang tidak mau membayar zakat pada masa Abu Bakar’ penjatuhan hukuman penjara kepada pencuri yang kelaparan, bukan hukuman potong tangan pada masa Umar bin Al Khaththab.

            7.       ‘Urf
‘Urf artinya adat atau tradisi masyarakat setempat yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits. Imam Malik banyak memakai ‘urf Madinah sebagai sumber hukum. Demikian juga Imam al Syafi’I, Fatwanya di Irak (Qaul Qadim) berbeda dengan fatwanya di Mesir (Qaul Jadid)
Beberapa contoh ‘urf antara lain membayar makanan atau minuman setelah habis disantap, membayar taksi setelah sampai tujuan, serta bolehnya transaksi jual-beli buah-buahan ketika sudah mulai tampak matan di pohon. (Wahbah Al Zuhaili, Al WQajiz fi Ushul Al Fiqh, hal 99-100)

            8.       Istishhab
Istishhab artinya berpegang pada hukum semula selama tidak timbul perubahan.  Segala sesuatu di ala mini memiliki hukum ibahah (boleh) selama tidak ada dalil Al Quran, hadits atau dalil lain yang membatalkannya. Contoh-contoh lain seperti berikut ini.
           a.       Orang yang yakin punya air qudhu, tetapi ragu sudah berhadas atau belum; dianggap suci menurut jumhur, selain Malikiyyah.
           b.       Orang yang meragukan benda suci yang dapat mengubah air, baik itu sedikit maupun banyak, air tersebut tetap suci. (Wahbah Al Zuhaili, Al WQajiz fi Ushul Al Fiqh, hal 116-117)

           9.       Syar’u man Qablana.
Syar’u man Qablana artinya syariat sebelum Nabi Muhammad SAW. Hukum untuk ahli kitab ini tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Sementara itu, sebab-sebab perbedaan pendapat pada sumber hukum adalah sebagai berikut.

Berikut adalah factor-faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat pada sumber hukum.
          1.       Perbedaan Menilai shahih.
Keshahihan suatu hadits kadang-kadang diperdebatkan ulama. Ada ulama yang menerima keshahihan suatu hadits, dan ada pula yang menlolaknya.

          2.       Perbedaan dalam memahami nash
Dalam suatu nash, baik Al Quran maupun hadits, kadang-kadang terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarak) dan majasi (metafora), sehingga arti yang terkandung didalamnya tidak jelas. Misalnya kata quru’ dalam QS Al Baqarah (2);228 yang mempunyai 2 arti, yaitu masa suci dan masa haid.

          3.       Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan.
Untuk memutuskan nash tsb, ulama biasanya memilih nash yang lebih kuat atau mencari titik temu diantara nash-nash tersebut. Dalam mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya ulama berbeda pendapat.

          4.       Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath.
Dalam memilih suatu hadits atau mencari suatu dalil, para mujtaqhid mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Ada mujtahid yang mengambil perkataan sahabat dalam memecahkan masalah, tetapi  ada pula mujtahid yang menolaknya. Begitu pula dengan amaliah penduduk Madinah, ada mujtahid yang menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menolaknya.

          5.       Perbedaan dalam perbendaharaan hadits.
Para sahabat memiliki perbendaharaan hadits yang berbeda-beda, karena mereka tidak mungkin selalu bersama Nabi. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam mengambil kesimpulan suatu hukum.

          6.       Perselisihan tentang ‘illat suatu hukum.
Perselisihan tentan ‘illat ini juga merupakan salah satu sebab perbedaan pendapat dalam fiqh. Sebagai contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah. Para mujtahid  berbeda pendapat tentang siapa jenasazah itu’ orang Islam, orang kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-duanya. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah orang kafir. Karena dalam sebuah hadits diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah SAW bertemu dengan jenazah orang Yahudi. Beliau lalu berhenti dan berdiri.

Selanjutnya, ulama Madzhab berbeda-beda dalam menentukan sumber hukum Islam.

        1.       Abu Hanifah : Al Quran, Sunnah, ijma’ qiyas dan istihsan.
        2.       Malik : Al Quran, sunnah, ijma, amaliah ahli Madinah, dan mashalih mursalah.
        3.       Al Syafi’I ; Al Quran, sunnah, ijma’, qiyas, dan istidlal (kesimpulan/pendapat sahabat)
        4.       Ahmad bin Hambal; Al Quran, Sunnahy, ijma’, qiyas, dan fatwa sahabat.

Ada 3 hal yang mendasari perbedaan pendapat di kalangan ulama mujtahidin, yaitu dasar-dasar tasyri’, kecenderungan ber istinbath dan prinsip bahasa.

        1.       Dasar-dasar tasyri’. Hanafi dan ashab[nya berhujjah dengan hadits mutawatir dan masyhur saja. Ia juga menarjih hadits dari fuqaha yang terpercaya. Ulama lain berhujjah dengan hadits dari perawi yang adil dan terpercaya baik, dari kalangan fuqaha atau bukan, baik sesuai dengan amalan ahli Madinah maupun tidak. Pengaruhnya dalam tasyri’ menimbulkan perbedaan dalam menerima atau menolak suatu hadits serta perbedaan dalam memandang hadits yang unggul dan yang lemah.

         2.       Kecenderungan ber istinbath. Ahli hadits membatasi ra’yu, sedangkan ahli ra’yu tidak membatasinya. Berikut ini letak perbedaan ulama dalam beristinbath.

         a.       Imam Malik mengambil fatwa yang dipandang kuat, tidak terpaku pada fatwa satu orang saja dan tidak mau menyalahi fatwa
         b.       Imam Al Syafi’I terkadang mengambil salah satu fatwa sahabat, tetapi terkadang berfatwa menyalahi fatwa sahabat, karena menurutnya sahabat itu tidak maksum.
         c.        Golongan Syiah dan Zhahiriyyah menolak qiyas, sedangkan jumhur ulama menerimanya.

         3.       Perbedaan dalam bahasa. Sebagian ulama menetapkan hukum pada manthuq-nya (pemahaman tersurat) dan sebagian lagi pada mafhumnya (pemahaman tersirat). Sebagian ulama lagi menetapkan hukum pada lafal umum yang ditakhsis atau pada hal mutlak yang dikaitkan dengna muqayyad. Al Syafi’I menjelaskan bahwa makna perintah dalam Al Quran dan hadits ada yang bermakna boleh, petunjuk, wajib serta larangan.

Demikian ringkasan dari sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat ulama pada sebagian sumber hukum. Bila kita telah mengetahuinya, ada baiknya kita tidak mudah “menyalahkan orang lain” yang berbeda dalam memandang suatu masalah, ataupun berbeda pendapat dengan kita. Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah fiqh harus disikapi dengna arif dan bijaksana. Kita tidak boleh apriori dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya. Sikap Apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fiqh adalah masalah-masalah furu’ (cabang), bukan masalah pokok. Oleh karena itu mempertajam perbedaan pendapat dalam masalah cabang ini hanyalah membuang-buang waktu dan energy.

Untuk lebih detail penjelasan tentang permasalahan timbulnya perbedaan pendapat ini bisa merujuk pada buku Ikhtisar Tarikh Tasyri, yang ditulis oleh Dr H Abdul Majid Khon M.Ag.


Wallahua’lam bishowab.

Enif