Rabu, 26 Maret 2014

Madzhab Syi'ah yang benar

Apakah benar ada Syi'ah yang mirip atau hampir sama dengan Ahlu Sunnah?
Apakah memang semua Syiah sesat dan tidak ada yang benar?

Ternyata tidak semua Syi’ah sesat. Ada Syi’ah yang memang mendekati ahlu sunnah.
Berikut ada tulisan dari Ust Ahmad Zarkasyi Lc tentang Syi’ah yang memang mendekati Ahlu Sunnah.
Silahkan dibaca, semoga bermanfaat.

Madzhab Fiqih Zaidiyah

Kalau mendengar fiqih syiah, mungkin yang terlintas di fikiran kita nikah mut’ah. Memang benar bahwa umumnya fiqih syiah mengakui adanya kawin kontrak alias nikah mut’ah.

Menarik untuk dicatat, ternyata dalam litelatur fiqih Zaidiyah –salah satu dari golongan syiah- nikah mut’ah justru ditentang dan tidak dibenarkan. Dan penting juga untuk diketahui, bahwa syiah tidak hanya satu kelompok saja melainkan terdiri dari banyak kelompok, mazhab fiqih dan juga golongannya. Salah satunya mazhab fiqih Zaidiyah yang akan kita bahas ini.

Madzhab Fiqih Zaidiyah adalah madzhab Fiqih para pengikut Imam Zaid bin Ali Zainal-Abidin. Beliau adalah salah satu imam ahli bait (keluarga Nabi), yang merupakan cucu dari sayyidina Ali bin Abi thalib dari jalur Husain.

Keberadaan fiqih madzhab Zaidiyah ini secara keseluruhan diakui dan diterima para ulama ahlussunnah sebagai mazhab fiqih resmi. Artinya madzhab fiqih Zaidiyah adalah madzhab fiqih yang diterima dan boleh diamalkan oleh muslim dimana saja, karena sudah mendapat pengakuan.

Sebagaimana kita ketahui setidaknya ada 7 madzhab fiqih yang diakui keberadaan oleh ulama dan telah disepakati atas kebolehan mengikuti madzhab-madzhab tersebut. Mereka adalah:

Madzhab Imam Abu Hanifah An-Nu’man (150 H)
Madzhab Imam Zaid bin Ali (122 H)
Madzhab Imam Ja’far Al-Shadiq (148 H)
Madzhab Imam Anas bin Malik (179 H)
Madzhab Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (204 H)
Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
Madzhab Imam Abu Daud Al-Dzahiri (270 H)
Kemudian, dalam kitab Ushul Al-Madzahib Al-Islamiyah, Syeikh Muhammad Abu Zahrah menambahkan satu madzhab lagi, yaitu madzhab Imam Ibnu Taimiyyah (728 H). Namun sejatinya beliau adalah pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.

Tidak Banyak Berbeda Dengan Ahlu Sunnah

Madzhab fiqih Zaidiyah adalah madzhab fiqih syiah yang paling dekat dengan ahli sunnah, sebagaimana umumnya pengakuan banyak ulama.

Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik dalam kitabnya  Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, menyebutkan alasan kenapa madzhab Zaidiyah banyak diterima oleh Ahlu sunnah. Alasan yang paling utama karena madzhab ini tidak sama sekali menghina Shaikhan; Abu Bakar dan Umar bin Khathtab. Mereka hanya lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.

Ulama mencatat setidaknya hanya ada 3 perbedaan mendasar dimana fiqih madzhab Zaidiyah menyelisihi para ulama ahlussunnah. Dan ini juga yang dituliskan oleh Sheikh Al-Hafnawi dalam kitabnya Al-Fath Al-Mubin fi Ta’riif Musthalah Al-Fuqaha’ wa Al-Ushuliyiin.

Mereka tidak mengakui masyru'iyah al-mashu ‘ala al-khuffain (mengusap dua khuf).
Mereka juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan seorang wanita kitabiyah, baik Nasrani atau Yahudi. Sedangkan madzhab fiqih Ahli Sunnah membolehkan itu.

Mereka mengharamkan sembelihan selain muslim, sedangkan madzhab fiqih ahli sunnah membolehkan memakan sembelihan Ahli Kitab.

Hanya di ketiga masalah ini saja madzhab fiqih Zaidiyah berselisih dengan madzhab fiqih Ahli Sunnah.

Madzhab fiqih Zaidiyah ini termasuk madzhab Syiah yang tidak diskriminatif dalam menerima hadits. Mereka juga menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh selain pengikut syiah itu sendiri. Mereka menerima riwayat tsiqah (orang terpercaya) dari kalangan ahli sunnah, sebagaimana mereka juga menerima riwayat tsiqah dari kalangan mereka sendiri.

Bukan hanya menerima, mereka juga menjadikannya sebagai dalil atas sebuah hukum. Disinilah letak titik penyebab kenapa banyak pendapat Imam Zaid atau madzhab Zaidiyah secara keseluruhan tidak banyak berbeda dengan madzhab-madzhab Fiqh Ahli sunnah. Ternyata ada kesamaan jalur riwayat yang digunakan.

Berbeda dengan madzhab Syiah Imamiyah yang tidak mau menerima riwayat tsiqah selain dari kalangannya sendiri. Jadi wajar saja, banyak pendapat fiqih Syiah Imamiyah yang berbeda dengan madzhab Ahli Sunnah, bahkan dengan madzhab Zaidiyah sekalipun.

Imam Zaid Menerima Riwayat Dengan Adil

Salah satu faktor yang membuat Imam Zaid begitu adil menerima periwayatan dari kalangan ulama ahlusunnah karena pandangannya yang memang berbeda dari kelompok syiah lainnya, khususnya tentang Imamah.

Kelompok syiah mayoritas berkeyakinan bahwa kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat itu seharusnya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib dan bukan Abu Bakar atau Umar. Dalam aqidah yang tertanam di dada mereka, Nabi SAW telah mewasiatkan tongkat khilafah kepada Ali secara langsung, dan bukan dengan dipilih atau musyawarah.

Dalam pandangan mereka, hanya keturunan Alawiyin-lah yang pantas menduduki kursi kepimpinan. Sementara Abu Bakar dan Umar dianggap telah merampas kepimpinan dari tangan Ali. Karena itu mereka berdua layak mendapat ejekan dan hinaan. Bahkan kebenciannya melebar sampai memusuhi juga siapa pun yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Salah satu bentuknya adalah menolak semua periwayatan hadits dari seluruh shahabat nabi ridhwanullahi 'alaihim, kecuali hanya beberapa orang yang mereka anggap sebagai ahlulbait.

Ini jelas berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh Imam Zaid bin Ali. Beliau memang masih memandang bahwa yang seharusnya mendapat kursi kepimpinan selepas wafatnya Nabi SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Tetapi tidak mengapa juga kalau bukan Ali yang jadi khalifah, cuma dianggap kurang afdhal. Dalam pandangan mereka, Ali tetap yang terbaik.

Imam Zaid memandang bahwa Ali adalah sebaik-baik sahabat, tetapi tidak mencela atau mencaci-maki Abu Bakar atau Umar. Dan tentunya juga tidak mengkafirkan. Justru pemikiran seperti itu adalah objek yang selalu diluruskan oleh Imam Zaid kepada pengikutnya.

Kita akan takjub dengan apa yang dilakukan oleh Imam Zaid kalau kita tahu bagaimana kerasnya upaya beliau dalam meluruskan pandangan para kelompok syiah terhadap Abu Bakar dan Umar. Imam Al-Syihristani dalam kitabnya Al-Milal wa Al-Nihal (1/153) menyebutkan hal ini dengan tegas.

Maka masuk akal kalau mazhab Zaidiyah sama sekali tidak mempermasalahkan periwayatan hadits dari semua shahabat, walaupun tidak mendukung Ali sebagai khalifah. Yang terpenting ialah hadits itu diriwayatkan oleh orang yang tsiqah dan mendapat rekomendasi dari tsiqah lainnya yang sezaman. Maka hadits itu mereka terima apa adanya.

Al-Majmu’ Al-Kabir

Banyak dari para pendiri mazhab fiqih yang tidak menuliskan sendiri  fatwa dan ijtihadnya. Tetapi para muridnya yang kemudian menuliskan dan membukukan fatwa serta ijtihad para Imam tersebut.

Imam Abu Hanifah tidak menuliskan fatwa-fatwa Fiqihnya. Akan tetapi madzhab Imam Abu Hanifah terbukukan oleh muridnya yaitu Ya’qub Abu Yusuf (182 H) dan Muhammad (bin Hasan Al-Syaibani (189 H).

Hal yang sama terjadi dalam madzhab Zaidiyah ini. Imam Zaid bin Ali tidak menuliskan sendiri pendapat-pendapat fiqihnya. Madzhabnya kemudian tersebar atas jasa salah seornag muridnya, Abu Khalid bin Amr bin Khalid Al-Wasithy[1]. Beliau lah yang membukukan riwayat-riwayat Imam Zaid bin Ali.

Riwayat haditsnya disebut dengan Majmu’ Al-hadits, sedangkan riwayat fiqih-nya (fatwa dan ijtihad) disebut dengan Majmu’ Al-Fiqh. kedua kitab induk ini disebut oleh kebanyakan ulama Zaidiyah dengan istilah Al-Majmuu’ Al-Kabiir.

Dan kitab ini mendapat sambutan baik dari hampir seluruh ulama zaidiyah di zamannya dan zaman setelahnya, bahkan sampai sekarang.

Zaidiyah Bukan Rafidhah

Banyak orang kurang cermat dengan menyama-ratakan seluruh kelompok syiah, bahwa semuanya sesat dan jahat. Padahal kalau agak teliti sesungguhnya syiah dan kelompok-kelompok yang dinisbatkan sebagai syiah penuh dengan pernak-pernik.

Memang umumnya kelompok syiah menempatkan Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekuasaan. Dan umumnya mereka meyakini bahwa kursi khilafah hanya boleh diduduki hanya oleh Alawiyin saja. Yang lain tidak boleh.

Tetapi syiah Zaidiyah lain sendiri. Mereka justru menentang itu semua. Imam Zaid bin Ali berseberangan pandangan dengan kelompok Rafidhah (artinya: penolak/penentang). Justru mereka menolak semua penghinaan kepada Abu Bakar dan Umar. Dan malah sebutan rafidhah  itu sendiri disematkan oleh Imam Zaid bin Ali kepada mereka yang menentang kemuliaan sahabat Abu Bakr dan Umar.

Dalam kitab Musnad Imam Zaid bin Ali (hal. 11) diceritakan bahwa beliau (Imam Zaid) pernah didatangi sekelompok orang dari kalangan syiah yang sangat membenci Abu Bakar dan Umar. Mereka berkata:

“Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakr dan Umar). Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai Imam!”

Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua (Abu Bakr dan Umar)”. Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.

Imam Zaid tanpa basa basi menjawab,"Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”

Sejak saat itulah istilah 'rafidhah' digunakan bagi mereka yang membenci dan menentang sayyidina Abu Bakr dan sayyidina Umar. Dan nama 'zaidiyah'  digunakan bagi mereka yang mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.

Cerita ini juga dinukil oleh Sheikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam kitabnya, Al-Sirah Al-Halabiyah (2/49).

Imam Zaid bin Ali   

Beliau hidup di masa yang sama dengan Imam Abu Hanifah, yaitu ketika pergolakan politik dan perpindahan kekuasaan antara Bani Umayah dan Ahl Bait. Yang menyedihkan ialah beliau hidup di zaman banyak dari keluarga dibunuh, termasuk kakek beliau sendiri yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Karena itu banyak sejarawan menyebut bahwa hidupnya Imam Zaid penuh dengan air mata dan kesedihan.     

Beliau lahir antara tahun 75 – 80 Hijriyah, dan besar dalam lingkungan para ahli agama dari kalangan alawiyin. Tak tahan dengan tekanan yang diberikan oleh pemerintahan Bani Umayah yang ketika itu dipimpin oleh Hisyam bin Abd. Malik, akhirnya beliau pindah ke Syam dan juga Madinah dan menetap lama di kota Nabi SAW itu.

Beliau berguru dalam fiqih ahlulbait kepada Imam Muhammad bin Al-Hasan yang merupakan sepupu ayahnya, Imam Ali Zainal-Abidin bin Al-Husain. Dan juga mengambil ilmu dari kakaknya, Imam Muhammad Al-Baqir, seorang ahli fiqih Syiah ketika itu.

Hebatnya, beliau tidak hanya bergaul dengan kalangan alawiyin saja tetapi juga kepada semua kalangan. Maka wajar kalau muridnya pun banyak yang bukan dari kalangan alawiyin, diantara yang masyhur ialah Imam Abu Hanifah, dan juga Sufyan Al-Tsauri.

Tentang kecerdasannya, Imam Al-Zirikly, dalam kitabnya Al-A’lam menukil pujian Imam Abu Hanifah kepada Imam Zaid. Imam Abu Hanifah berkata:

“Aku tidak melihat ada yang lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak menemukan orang yang bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan, serta lugas penjelasannya”

Beliau wafat tahun 122 Hijriyah dalam peperangan di kufah.

Wallahu a’lam.


[1] Tidak dipastikan tahun wafat beliau. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqriib Al-Tahdziib mengatakan bahwa beliau meninggal setelah tahun 120 H. sedangkan Imam Abu Zahroh mengatakan bahwa ia wafat antara tahun 150 – 175 Hijriyah.


Ahmad Zarkasih, Lc

Kamis, 20 Maret 2014

Mengenal Madzhab-Madzhab Fiqh (Imam Abu Hanifah) bagian 2

Imam Abu Hanifah Dalam Istinbath Hukum

Sangat keras sekali apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabut (150 H) dalam menjaga kesucian dan kemurnian syariah ketika masa hidupnya ketika itu dari berbgai macam propaganda pemalsuan hadits.

Walaupun pergolakan politik ketika itu sudah lewat lebih dari setengah abad (40 H), yaitu perpindahan kekuasan dari Imam Hasan bin Ali karramallahu wajhahu kepada Mu’awiyah bin ABi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang dikatakan diambil secara paksa. Tetapi pengaruh gesekan politik itu masih punya peran dalam metodologi pengambilan hukum syariah (istinbath). Sehingga Imam Abu Hanifah sangat selektif sekali dalam mengambil hadits yang memang ketika itu banyak beredar di kalangan masyarakat.

Sampai-sampai pada masanya sang Imam, perbendaharaan hadits yang dikenal oleh masyarakat dan dijadikan sandaran hukum sangat minim sekali. Itu bukan karena sebab, karena memang itu dilakukan untuk menjaga keumurnian dan kesucian syariah itu sendiri dari propaganda pemalsuan hadits.

Memanasnya pergolakan politik di awal tahun 40 Hijrah, ketika pucuk kepimpinan khalifah berpindah dari sang cucu Nabi Muhammad saw, Imam Hasan bin Ali karromallahu wajhahu kepada Mua’wiyah bin Abi Sufyan, memberikan pengaruh cukup besar dalam sejarah terbentuknya madzhab.

Dalam kitabnya Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Imam Muhammad Al-Khudhori Bik menjelaskan, bahwa kondisi politik seperti itu membuat masing-masing kelompok, -baik dari kalangan Syiah yang mendukung Ali bin Abi Thalib serta keluarganya untuk kepemimpinan dan juga kelompok yang mendukung Muawiyah- sangat antusias sekali agara apa yang mereka ambil dalam pandangan politik mereka itu didukung oleh setempel agama, baik dengan ayat-ayat suci, hadits serta juga fatwa ulama ahli Al-Diin.

Karena itu, muncul banyak hadits-hadots palsu yang dinisbatkan kepada Nabi, padahal sejatinya bukan hadits, yang berselewiran diantara masyarakata tentang perihal dukungan kepada masing-masing kelompok. Ini adalah salah satu factor utama tersebarnya hadits-hadits palsu ketika itu.

Sheikh Musthafa Al-Siba’i, dalam kitabnya yang masyhur Al-Sunnah wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’ Al-Islami mengatakan dengan tegas bahwa kelompok syiah lah yang paling banyak menyumbangkan hadits-hadits palsu di tengah masyarakat. Banyak hadits-hadits palsu yang beredar dengan kandungan makna tuntutan kepada seorang muslim untuk tetap mencintai dan setia kepada keluarga Ali bin Abi Thalib.

Dan hadits-hadits palsu itu menyebar terus dan terwarisi sampai masanya Imam Abu Hanifah AL-Nu’man yang lahir di tahun 80 Hijrah. Jadi cara pengambilan hukum dari hadits yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah memang agak berbeda dengan para Imam lain. Ini dilakukan karena banyaknya propanganda hadits serta untuk melindungi dan memurnikan syariah dari berbagai distorsi.

Salah satunya ialah metode Imam Abu Hanifah dalam pengambilan hadits Mursal.    

Imam Abu Hanifah dan Hadits Mursal

Lihat bagaimana kedekatan masa Imam Abu Hanifah dengan para masa sahabat ridhwanullah ‘alaihim yang hanya dibatasi oleh masa tabi’in yang mereka semua adalah gurunya. Itu indikasi bahwa menjadi tidak masalah dalam madzhab ini mengambil hadits mursal.

Hadits mursal ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in tanpa disebutkan sanad pada tingkat sahabt, tapi langsung kepada Nabi saw. Jadi ada satu tingkatan yang hilang, yaitu tingkatan sahabat. Padahal tidak mungkin tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi saw karena masanya berbeda, dan tabi’in tidak ada yang bertemu Nabi saw. 

Ingat bagaimana pergolakan hadits di masa Imam Abu Hanifah, yang ketika itu terjadi pergolakan politik dan perebutan politik yang akhirnya memicu banyaknya hadits palsu. Banyak hadits berseliweran di antara mereka tapi kesemuanya palsu, bukan hanya sanad, akan tetapi juga matan (teks) hadits itu sendiri.

Sehingga, menjadi sangat aman buat Imam Abu Hanifah untuk mengambil hadits mursal.

Mungkin menjadi pertanyaan yang cukup membingungkan, bagaimana bisa pada masa banyaknya pemalsuan hadits, Imam Abu Hanifah justru mengambil hadits mursal yang mana sanadnya itu terputus?

Harus diingat masa Imam Abu Hanifah itu sendiri, bahwa masanya sangat dekat sekali dengan tabi’in, yang mana mereka semua adalah gurunya Imam Abu Hanifah. Dan penerimaan Imam Abu Hanifah teradap hadits mursal tidaklah tanpa syarat. Mereka hanya mengambil hadits mursal yang itu adalah riwayat-riwayat para Imam Ahli Iraq, diantara: Al-Nakho’i, Al-Sya’bi (103 H), juga Hasan Al-Bashri (110H), dan juga guru beliau Hammad bin Abi Sulaiman.

Hadits Mursal Lebih Aman

Maka menerima hadits-hadits dari mereka itu jauh lebih aman karena mereka semua adalah orang yang tsiqh  dan tidak mungkin berdusta. Dibanding asal mengambil hadits dari orang yang tidak dikenal, walaupun sanadnya sampai ke Nabi saw. Karena bisa jadi itu adalah hadits yang dipalsukan.

Dengan menerima hadits mursal yang memang kesemuanya dari guru sang Imam, beliau bisa langsung menanyakan periwayatan hadits mursal ini, benarkah tidak ada sahabat yang meriwayatkan sehingga langsung kepada Nabi saw?

Dan perlu diketahui bahwa ketika zaman itu, para Tabi’in, yang juga termasuk gurunya Imam Abu Hanifah terbiasa dengan periwayatan langsung kepada Nabi saw jika memang itu sudah diriwayatkan oleh lebih dari 4 sahabat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim An-Nakho’i bahwa beliau tidak akan meriwayatkan sebuah hadits denagn irsal (tanpa menyebut sahabt) langsung ke Nabi kecuali memang itu diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat. [Dijelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahroh di Ushul Al-Madzahib Al-Islamiyah, hal. 281]

Jadi hadits mursal ketika zaman Imam Abu Hanifah memang berbeda dengan zaman setelahnya seperti masa Imam Al-Syafi’i (204 H) atau juga Imam Ahmad bin Hanbal (247 H) yang memasukkan hadits mursal kedalam golongan hadits lemah (dhoif).

Begitulah cara Imam Abu Hanifah, memurnikan syariah ini dengan begitu strick dalam memilih sebuah hadits karena khawatir akan masuknya hadits palsu kedalam syariah ini.

Benarkah tuduhan bahwa Imam Abu Hanifah banyak meninggalkan hadits dan beralih ke qiyas?

Imam Abu Hanifah dan Qiyas

Seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal dari serial artikel “Mengenal Madzhab-Madzhab Fiqih” ini, bahwa tema besar yang diangkat ialah “Tak Kenal maka tak sayang!”, melihat banyaknya tuduhan miring kepada para imam madzhab dalam metodologi pengambilan hukum yang mereka pakai.

Sayangnya, yang membenci itu hanya melihat dari satu sisi saja, hanya melihat dari apa yang ia punya tanpa mau berkenalan dengan siapa yang ia kritik. Akhirnya kritiknya menjadi justifikasi dan menghakimi.

Nah, salah satu yang sering disinggung dalam masalah ini ialah madzhab Imam Abu Hanifah yang dikatakan sering sekali meninggalkan hadits dan beralih ke ra’yu (logika) dalam bentuk qiyas atau istihsan.

Banyak yang mengkrtik beliau bahwa madzhab Imam Ahl Iraq ini lebih mendahulukan qiyas dibanding dengan hadits itu sendiri. Padahal qiyas adalah produk ijtihad manusia yang sangat rawan kesalahan, sedangkan hadits adalah produk suci wahyu Allah swt kepada Nabi saw.

Tapi, apa benar seorang Imam Abu Hanifah lebih memilih qiyas yang mana itu adalah pekerjaan otak (ra’yu) dibanding mengambil kesimpulan hukum dari hadits Nabi saw?

Imam Abu Hanifah Mendahulukan Ra’yu Dibanding Hadits?

Sebelum kita menilai yang macama-macam dan tidak jelas arahnya, maka baiknya dan memang seharusnya kita dengar apa kata Imam Abu Hanifah sendiri sebagai Imam Madzhab Hanafi dalam mengambil kesimpulan hukum. Apakah benar seperti yang dituduhkan?

Dalam kitabnya Tarikh Baghdad (13/368), Imam Al-Khathib Al-Baghdadi meriwayatkan perkataan Imam Abu Hanifah dalam metodenya menyimplkan sebuah hukum:

آخذ بكتاب الله فما لم أجد فبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم فان لم أجد في كتاب الله ولا سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم أخذت بقول أصحابه آخذ بقول من شئت منهم وأدع من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم فأما إذا انتهى الأمر أو جاء إلى إبراهيم والشعبي وبن سيرين والحسن وعطاء وسعيد بن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فاجتهد كما اجتهدوا

“Aku mengambil (hukum) dengan kitab Allah swt (al-Quran), dan apa yang aku tidak dapati di Al-Quran, aku mengambil dari hadits-hadits Nabi saw. Kalau aku tidak menemukannya di Al-Quran dan juga tidak di hadits Nabi saw, aku mengambil dari fatwa (perkataan) para sahabat Nabi saw, aku mengambil dari mereka yang aku mau, dan aku tingalkan yang aku mau (memilih), akan tetapi aku tidak keluar dari perkataan mereka kepada selain mereka (sahabat).

Kalau dari para sahabat juga aku tidak menemukan, atau perkara ini sampai pada Ibrahim Al-Nakho’i, SUfyan Al-Tsauri, Al-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, ‘Atho, dan Said bin Al-Musayyib dan beberapa orang lain (dari kalangan tabi’in), maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad!”

Begitu juga dengan redaksi yang sama disebutkan oleh Imam Al-Mizi dalam kitabnya Tahdzib Al-Kamal (29/443). Begitu oleh Imam Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya Al-Intiqo’ fi Fadhoil Al-Tsalastah Al-Aimmah Al-Fuqoha’ )hal 144).

Dari perkataan sang Imam, bisa disimpulkan bahwa metode penagmbilan hukum madzhab Imam Abu Hanifah adalah:

1.   Al-Quran

2.   Hadits

3.   (Ijma’)

4.   Perkataan/Fatwa Sahabat

5.   Qiyas

Ini tidak seperti yang dituduhkan orang bahwa beliau mendahulukan qiyas daripada hadits Nabi saw. Terlihat jelas bahwa memang Imam Abu Hanifah lebih mnedahulukan hadits daripada QIyas itu sendiri yang merupakan produk ijtihad akal.

Jawaban Atas Tuduhan

Memang dalam pendapat madzhab madzhab Hanafi ini kita akan dapati bahwa sang Imam dalam beberapa masalah memakai qiyas padahal pada perkara tersebut ada hadits-nya.

Dalam masalah ini, bisa dijawab dengan beberapa jawaban:

Pertama: Ketat Dalam Menerima Hadits

Yang perlu diketahui sejak awal ialah kita harus menerima kenyataan bahwa pen-statusan sebauh hadits menjadi shahih dan dhaif itu adalah perkara jtihad juga yang di dalamnya terdapat perbedaan. Pada ulama A hadits ini bisa dikatakan shahih, namun pada ulama B hadits itu bisa berubah lagi setatusnya.

Dalam masalah Imam Abu Hanifah ini, sebagaimana kita singgung sebelumnya bahwa beliau hidup di masa kerasnya propaganda terhadap hadits sehingga muncul banyaknya pemalsuan hadits. Karena itu beliau (Imam Abu Hanifah) sangat ketat sekali dalam menerima hadits. (kecuali hadits mutawatir yang diriwayatkan dari jalur yang qath’iy) 

Hadits-hadits Ahad yang diterima tidaklah asal terima, semua dicek sehingga tidak meninggalkan keraguan sedikitpun bahwa ini benar hadits shahih yang bisa dijadikan dalil.

Imam Al-Sarakhsi (483 H) dalam kitab Ushul-nya menyebutkan beberapa kriteria hadits yang bisa diterima sebagai dalil dalam madzhab Imam Abu Hanifah, diantara:

1.   Hadits ahad tidak boleh bertantangan dengan dasar-dasar pokok syariah yang sudah disepakati atau yang ditetapkan dengan jalur qath’iy.

2.   Hadits Ahad tidak boleh menyelisih kandungan umum ayat quran.

3.   Hadits Ahad tidak boleh menyelisih hadits yang masyhur atau yang diriwayatkan secara mutawatir.

4.   Perawi Hadits Ahad tidak boleh menyelisih apa yang diriwayatkan. Kalau ada hadits yang perawinya menyelisih apa yang diriwayatkan, hadits itu menjadi tidak terpakai dalam hukum.

5.   Kalau perkara itu adalah perkara yang terjaid setiap hari dan semua orang tahu, hadits yang menjelaskan tentang itu haruslah mutawatir atau masyhur, kalau tidak maka tidak bisa menjadi dalil.

Apa yang disyaratkan ini bukanlah perkara yang asal jadi, melainkan kesemuanya syarat tersebut dibuat dengan alasan yang objektif dan demi menjaga kemurnian syariah ditengah banyaknya pemalsuan hadits ketika itu.

Jadi, ketika ada suatu masalah yang dihadapi oleh sang Imam, beliau lebih dulu mencari ayat yang membahas ini. jika tidak ada, ia mencari dari para sahabatnya dan gurunya yang lain apakah ada hadits yang menerangkan perkara yang sedang dihadapi atau tidak.

kalau memang ada, maka parameter yang disebutkan di atas itu tadi menjadi patokan diterima atau tidaknya hadits tersebut. Ketika hadits itu tidak lolos uji, maka yang dilakukan oleh sang Imam adalah berijtihad.

Kedua: Hadits Shahih Tidak Mesti Jadi Dalil

Dalam menentukan hukum, seorang mujtahid tidak hanya punya satu buah hadits di atas meja beliau, melainkan lebih dari satu bahkan puluhan bahkan juga lebih.

Hadits yang shahih menurut seorang mujtahid bisa saja tidak dijadikan dalil sebuah hukum karena alasan tertentu. bisa saja ada hadits yang jalurnya lebih kuat yang menyelisih, atau juga hadits shahih ini kandungannya umum da nada hadts lain yang mengkhususkannya. Atau juga bisa jadi hadits ini sudah di-mansukh oleh hadits lain atau ayat Al-Quran. Jadi banyak kemungkinan.

Nah, begitu juga yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah, beliau bisa saja meninggalkan hadits yang dianggap shahih oleh orang lain, tentu karena sebab yang orang lain tidak mengetahuinya. Dan ini juga kita temui di imam-imam lain selain Imam Abu Hanifah, bahwa banyak hadits-hadits shahih yang mereka tinggalkan karena melihat adanya hadits lain yang mengkhususkannya (takhshis), atau lebih kuat dari segi sanad dan perawinya atau karena hadits itu telah di-mansukh.

Jadi perkara hukum bukanlah perkara hadits saja melainkan bagaimana ber-isitidal dan menyimpulkan suatu hukum dari banyak hadits yang ada. Ini juga yang membedakan antara ahli hadits dan ahli fiqih yang berijtihad.

Ini juga yang menjadi sindiran beliau (Imam Abu Hanifah) kepada mereka yang hanya mengumpulkan hadits, tapi tidak mengerti maksud hadits tersebut. Dalam perkataan beliau yang masyhur:

مثل من يطلب الحديث ولا يتفقه كمثل الصيدلاني يجمع الأدوية ولا يدري لأي داء هي، حتى يجيء الطبيب .. هكذا طالب الحديث لا يعرف وجه الحديث حتى يجيء الفقيه

“Perumpamaan orang yang mencari hadits tapi tidak memahami (maksud hadits tersebut) itu bagaikan apoteker yang mengumpulkan banyak obat akan tetapi ia tidak tahu untuk penyakit apa obat itu, sampai datang seorang dokter. Begitu juga seorang yang mencari hadits, ia tidak mengerti maksud hadits tersebut sampai datang seorang faqih (Ahli Fiqih)”

Kita tutup pembahasan ini dengan perkatan sheikhul-Islam Ibnu Taimiyah Al-Harani (278 H):

وَمَنْ ظَنَّ بِأَبِي حَنِيفَةَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُمْ يَتَعَمَّدُونَ مُخَالَفَةَالْحَدِيثِ الصَّحِيحِ لِقِيَاسِ أَوْ غَيْرِهِ فَقَدْ أَخْطَأَ

“siapa yang mengaanggap bahwa Imam Abu Hanifah atau Imam lainnya menyengaja meninggalkan (menyelisih) hadits Nabi saw dan beralih kepada qiyas atau lainnya, maka ia telah keliru!” (Majmu’ Al-fatawa 20/304)  

Wallahu a'lam

Ahmad Zarkasih, Lc


Mengenal Madzhab-Madzhab Fiqh (Imam Abu Hanifah) bagian 1.

“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang mak tak cinta”

Ini adalah pribahasa Indonesia paling populer sepanjang masa perjalanan sejarah bangsa ini yang mengartikan bahwa sebuah cinta tidak bisa datang tiba-tiba dalam diri seseorang kepada orang lain. Kalau mau bisa cinta, cara untuk menuju kesitu harusnya dengan mengenalnya lebih dalam.

Mungkin pribasaha ini juga cocok bagi mereka yang sepertinya atau memang memandang madzhab-madzhab fiqih sebagai momok yang harus dijauhkan karena banyaknya perbedaan diantara mereka yang memicu perpecahan.

Atau mungkin bagi mereka yang sering sekali menganggap bahwa madzhab-madzhab fiqih itu sudah terlalu jauh meninggalkan Quran dan sunnah, karena terlalu banyak berdalil dengan akal para imam mereka sendiri. Beranggapan seakan-akan para imam madzhab tidak mengerti ayat dan hadits.

Dan masih banyak lagi faktor yang membuat seseorang –hingga saat ini- masih memandang madzhab fiqih sebagai sesuatu yang tidak perlu, karena yang dibutuhkan itu ialah mengerjakan segala sesuatu dalam ibadah dengan dalil al-Quran dan Sunnah saja tanpa harus melauli madzhab.

Akhirnya ini yang membuat mereka benci dengan fiqih itu sendiri, madzhab lebih khususnya. Karena beranggapan madzhab fiqih hasil olahan manusia yang ‘bisa salah’, berbeda dengan al-Quran dan sunnah yang memang turun dari Allah swt melalui manusia yang makshum dari kesalahan; Muhammad saw.

Mereka tanpa sadar bahwa mereka juga memahami al-Quran dan sunnah dengan pamahaman mereka sendiri yang sejatinya adalah mereka manusia yang sangat rentan terjerumus dalam kesalahan.

Harusnya mereka sadar, kalau saja bukan karena para imam tersebut, mereka pastinya tidak akan tahu bagaimana caranya beribadah kepada Allah swt? Anehnya mereka masih bisa mengejek fatwa-fatwa para imam!?

Mungkin Karena Tidak Kenal

Mungkin kebencian mereka itu karena memang mereka tidak tahu atau tidak mau tahu tentang siapa itu imam-imam madzhab fiqih. Seandainya mereka tahu dan mempelajarinya, bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri, siapa imam-imamm madzhab yang memang diakui sejagad ini, niscaya bukan benci yang ada, tapi justru cinta yang akhirnya membawa mau ber-husnudzonn kepada para imam madzhab fiqih itu sendiri.

Jadi, obat satu-satunya ya harus mengenal dulu siapa mereka sebetulnya? Bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri? Lalu bagaimana Allah swt menjadikan mereka punggawa-punggawa yang membumikan syariat-Nya di muka bumi? Lalu seperti apa perjuangan mereka membentengi umat dari serbuan pemikiran yang menggerus syarah di setiap zaman mereka hidup? Ini yang semuanya mesti di kaji.

Para imam madzhab bukan tidak mengerti ayat dan hadits, justru mereka adalah orang-orang yang paling mengerti ayat dan hadits di zamannya. Meninggalkannya mereka akan ayat dan hadits yang secara kasat mata kita itu adalah dalil yang shahih, itu bukan berarti mereka tidak mengerti. Justru kita yang tidak mengerti bagaimana cara mereka beristimbath dan berdalil atas sebuah hukum.

Maka menjadi penting untuk kita mengetahui bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri dan bagaimana mereka berdalil dalam setiap hukumnya.

Ibnu Mas’ud = Imam Ahli Fiqih Iraq

Mestinya kita tahu proses pengutusan sayyidina Ibnu Mas’ud (32 H) oleh sayyidina Umar bin Khaththab (23 H) ke Kuffah sebagai qadhi (Hakim) ketika Islam sudah mulai berkembang sampai Persia. Dari sinilah bibit madzhab fiqih mulai ter-design.

Karena seorang hakim, mau tidak mau pasti berijtihad. Bagaimana tidak? toh setiap hari sayyidina Ibnu Mas’ud selalu dihadapkan kepada suatu masalah masyarakat. Apakah seorang hakim diam saja tanpa menggunakan akalnya untuk memberika solusi bagi konsekuennya?

Dari ijtihad-ijtihad sayyidina Ibnu Mas’ud ini menjadi patokan dasar fiqih madrasah al-Kufa, (yang nantinya akan menjadi madzhab hanafi) yang dikumpulkan dan diamalkan kembali oleh Alqamah bin Qais (62 H).

Dari Alqamah, kemudian warisan fiqih kufah itu diwariskan kepada muridnya, yaitu Ibrahim Al-Nakho’i (96 H), lalu turun lagi ke murid beliau, yaitu Hammad bin Abi Sulaiman (120 H), dan akhirnya sampai kepada Imam Abu Hanifah Al-Nukman bin Tsabit (150 H).

Umar dan Ibnu Umar = Bibit Fiqih Ahli Madinah

Begitu pun dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khathtab itu sendiri ketika menjawab khalifah sekaligus qadhi (hakim) di madinah. Tentu banyak masalah yang dihadapi, banyak pengaduan dan banyak problem keagamaa yang mesti dicari jalan keluarnya ketika itu.

Itu kenapa yang banyak kita dengar dari kalangan sahabat ialah sayyidina Umar yang paling banyak ijtihadnya. Ya tentu. Karena beliau adalah Hakim dan khalifah, terlebih lagi bahwa masa kepimpinannya jauh lebih lama dibanding khalifah yang lain.

Tentu banyak masalah yang dipecahkan oleh beliau dengan ijtihad-ijtihadnya. Tentu itu pada masalah yang memang tidak tersentuh secara langsung oleh al-Quran dan hadits. Karena tidak mungkin seorang khalifah berijtihad pada sesuatu yang sudah ada ketetapnnya dalam 2 teks suci itu. 

Nah, ijtihad-ijtihad Umar bin Khthtab inilah yang disebut dengan istilah maslahah [المصلحة] dalam ilmu ushul, yang menjadi patokan dan rujukan terbentuk madrasah fiqih Ahli Madinah (yang kemudian menjadi madzhab Al-Maliki). Dan kemudian juga diwarisi oleh anaknya sendiri, yaitu Abdullah bin Umar (74 H).

Setelah itulah muncul beberapa hali fiqih madinah yang hampir kesemuanya menjadi penesehat khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). para ahli fiqih madinah ini, sering disebut oleh para sejarawan dengan sebutan 7 Ahli fiqih madinah. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya madzhab Imam Malik bin Anas, karena memang Imam Malik mewarisi ijtihad-ijtihad mereka.

Kenal dan Cinta

Intinya memang ketika mempelajari suatu pendapat madzhab, tidak cukup hanya melihat luarannya saja, tidak cukup hanya melihat fatwanya saja. Perlu didalami juga bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri, dan bagaimana metode yang dipakai dalam mengistinbath sebuah hukum. Sehingga kita tidak gampang mencela sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para imam itu.

Kita mempelajari ushul Al-Madzahib, dan bagaimana masa-masa ijtihad dari zaman sahabat, Tabi’in, sampai terbuntuknya madrasah Al-Kufah dan juga Madrasah Al-Hijaz, yang kemudian menelurkan banyak mujtahid serta para ahli fiqih serta madzhab-madzhab fiqih yang terbentuk.

Kalau kita mempelajari sejarahnya para Imam madzhab, kita akan tahu bagaimana mulianya mereka memperjuangkan syariah dan membumikan syariah di bumi Allah ini. dan kita juga tahu apa hikmah kenapa Allah memilih mereka untuk menjaga syariah-Nya. itu yang akhirnya membuat kita cinta mereka, yang dengan cinta ini akhirnya kita bisa menghargai ijtihad dan fatwa ulama itu sehingga tidak gampang mencela.

Tidak asal berbicara: “mereka juga manusia yang bisa salah!”

7 Ahli Fiqih Madinah

Di madinah setelah wafatnya Ibnu Umar pada tahun 74 H, dan mulai putusnya masa sahabat setelah kematian beliau, muncul kemudian masa tabiin.

Dan di Madinah, ada beberapa ulama yang memang mewarisi fiqih ahli madinah dari Umar bin khaththab, sayyidah ‘Aisyah, Ibnu Abbas serta Ibnu Umar itu sendiri.

Ulama menyebutnya dengan sebutan 7 Ahli Fiqih dari Madinah, dengan redaksi [فقهاء المدينة السبعة]. Dan mereka inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal terbentuknya Madrasah Ahl Al-Hijaz yang kemudian menjadi madzhab Imam Malik bin Anas. 

Lalu siapakah 7 orang yang dikatakan sebagai 7 Ahli Fiqih dari Madinah itu?

Mereka adalah para Tabi’in yang hidup di madinah, dan menjadi patokan serta rujukan ilmu serta fatwa dalam masalah syariah setelah wafatnya para sahabat –Ridhwanullah ‘alaihim-, baik bagi para penduduk madinah atau juga selain madinah.

Dan mereka inilah yang menjadi penasehat (Mustasyar) bagi Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan umat semasa kepemimpinannya akan khalifah ketika itu di madinah. Mereka adalah:

[1] ‘Urwah bin Zubair bin Awwam

Seorang tabi’in yang terkenal sebagai salah satu punggawa ulama Madrasah Al-Hijaz. Beliau lahir tahun 22 Hijrah diakhir masa kepimpinan Umar bin Khaththab, dan wafat tahun 93 Hijrah di madinah.

Beliau adalah salah satu tabi’in ­yang mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah. Sempat pindah ke bashrah, lalu ke Mesir selama 7 tahun dan akhirnya kembali ke madinah dan wafat di sana.

[2] Sa’id bin Al-Musayyib

Lahir di tahun ke 13 Hijrah dari kalangan bani Makhzum, salah satu qabilah masyhur dari kalangan quraisy, dan wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.

Karena kecerdasan dan kezuhudannya, beliau dijuliki sebagai sayyid Al-Tabi’in (Penghulunya para Tabi’in). selain itu beliau juga dijuliuki sebagai rawiyah Umar [راوية عمر] (Perawinya sayyidina Umar), disebut demikian karena beliau adalah orang madinah yang paling hafal dengan ijtihad-ijtihadnya umar serta qadha’-qadha’-nya

Diriwayatkan bahwa belaiau hidup dengan berjualan minyak wangi di madinah, dan sama sekali tidak pernah mau menerima hadiah, pemberian Cuma-Cuma.

[3] Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Al-Shiddiq

Beliau juga salah satu tabi’in ­yang mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah, karena memang setelah ayahnya, Muhammad bin Abi Bakr meninggal dunia, Al-Qasim kemudian dirawat oleh bibinya, Sayyidah ‘Aisyah.

Lahir di Madinah tahun ke 37 hijrah dan wafat di qadid, salah satu tempat antara Madinah dan Mekkah ketika sedang berhaji pada tahun 107 Hijrah. Beberapa hari atau bulan sebelum meninggal dunia, beliau kehilangan penglihatannya.

Dan perlu diketahui, bahwa beliau lah kakek dari Imam Madzhab Fiqih Ja’fari dari kalangan Syiah, yaitu Imam Ja’far Al-Shadiq (80 – 148 H).

[4] Khorijah bin Zaid bin Tsabit Al-Anshari

Ulama berselisih tentang statusnya, apakah ia seorang tabi’in atau juga seorang sahabat, karena itu beberapa ulama menyebutkan bahwa ia seorang sahabat dan yang lain menyebutnya sebagai tabi’in.

Tapi beliau lebih dekat dengan status tabi’in, melihat tahun kelahiran beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Zirikly dalam Al-I’lam. Beliau lahir di tahun ke 29 Hijrah, dari kalangan bani Khozraj dan wafat di madinah tahun ke 99 hijrah. 

Beliau lebih terkenal ketika itu dengan ijtihad dan fatwa beliau dalam masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan dibahas sebelumnya oleh yang lain. Selain itu, beliau juga sering menjadi rujukan penduduk madinah dalam masalah waris.

[5] ‘Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud

Mendapat julukan Mufti Al-Madinah (Muftinya negeri Madinah), dan juga disebut sebagai A’lam Al-Tabi’in [أعلام التابعين] (paling cerdasnya tabi’in). Ulama tidak mensepakati di tahun berapa beliau lahir, sempat pindah ke bashrah namun akhirnya kembali ke madinah dan beliau wafat di situ tahun ke 98 Hijrah.

Diantara banyaknya ulama madinah ketika itu, beliaulah yang menjadi pengajar langsung Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan sastra (adab), karena memang kegemerannya akan sastra.

[6]Abu Bakr bin Abdirrahman bin Al-Harits Al-Makhzumi

Salah satu petinggi tabi’in yang mnedapat julukan sebagai Rahib Quraisy, (Pendetanya kaum Quraisy) karena ke­-waro’an-nya yang sering sholat dan banyak puasa. Wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.

[7] Sulaiman bin Yasar

Lahir dari seorang ayah yang seorang Farsi (Persian) pada masa khilafah Utsman bin Affan, di tahun 34 Hijriyah. Dan wafat di madinah tahun ke 107 Hijrah.

Selain terkenal sebagai orang cerdas, beliau juga terkenal sebagai orang yang waro’, lagi rajin berpuasa sunnah. Karena kecerdasannya, Sa’id bin Al-Musayyib ketika dimintai fatwa oleh seseorang, beliau selalu mengatakan:

“datanglah kau ke Sulaiman bin Yasar, beliau orang yang paling cerdas yang tersisa pada zaman ini”.

Dalam kitabnya Al-Muqaddimah fi Ulum Al-Hadits (179), Imam Ibnu Sholah meriwayatkan adanya perbedaan ulama tentang ahli fiqih madinah ke-6 sebelum Sulaiman bin Yasar ini, antara 3 nama:

[-] Abu Bakr bin Abdirrahman

[-] Abu Salamah bin Abdirrahman bin ‘Auf (w. 104 H)


[-] Salim bin Abdillah bin Umar bin Khathtab (w. 106 H)

Wallahua'lam

Ahmad Zarkasih Lc

Selasa, 18 Maret 2014

Hukum Yang Punya Sebab

Kalau ada orang yang mencintai kekasihnya masih karena "karena"; karena dia ini, karena dia itu, karena cantik, karena tampan, dan karena yang lainnya. Itu bukan cinta namanya, tapi hanya sekedar kagum, begitu kata kebanyakan orang.

Kalaupun dia mengatakan itu cinta, ya pasti cintanya tak bertahan lama dan kemungkinan besar pasti berakhir. Karena cintanya bergantung pada "karena" itu tadi. Ketika "karena"-nya itu hilang maka hilang juga cintanya.

Cinta "karena" tampan, cantik, berwibawa, berharta, berpangkat. Ketika semua yang di-"karena"-kan itu hilang, maka inti cinta pun entah kemana. Karena sudah tidak ada tempat lagi bagi cinta untuk bergantung ketika yang digantungkannya itu sudah tak ada. "Karena" tak ada, cinta pun tak ada.

Hukum Fiqih Yang Ada Karena-nya

Begitu juga hukum-hukum fiqih yang termaktub dalam teks-teks syariah. Beberapa nash-nash syariah baik dari Al-Quran dan Hadits Nabi saw ada yang mempunyai "karena" untuk hukum yang dihasilkan.

Jadi hukum yang ada dalam nash tersebut bergantung pada "karena"-nya. Dalam bahasa ulama ushul fiqih, "karena" itu disebut dengan istilah "‘illat" [علة] atau sebab hukum.

Cinta = Hukum, "karena" = ‘illat (sebab)

Artinya bahwa hukum tersebut keberadaannya bergantung atas "‘illat" (sebab) tersebut. Kalau "‘illat" (sebab)-nya tidak ada maka hilang juga hukumnya, sama seperti cinta yang hilang ketika "karena"-nya lenyap.

kaidah ushul fiqih-nya ialah:

الحكم يدور مع العلة المأثورة وجودا وعدما

 "Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'‘illati Wujudan wa 'Adaman"

(keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan "‘illat" (sebab)-nya. Ada "‘illat" ada hukum, tak ada "‘illat" tak ada hukum.

Macam-Macam ‘‘illat

"‘illat" (sebab) dalam teks syariah ada 2 macam;

[1] Manshushoh (tertulis), dan

[2] Mustanbanthoh (Teristimbat/Ter/Disimpulkan).

‘‘illat Manshushah

‘illat Manshushoh ialah ‘illat (sebab) yang memang tersebut bersama hukumnya dalam satu susunan redaksi teks syariah itu sendiri. Contohnya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

"Allah swt tidak melihat kepada siapa yang menjulurkan pakaian-nya dengan sombong" (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits ini jelas menerangkan tentang kemurkaan Allah terhadap mereka yang memakain pakaian dengan menjulurkan atau memanjangkannya dengan nada sombong dan sejenisnya. Atau biasa yang dikenal degan istilah "Isbal". Dan hadits semacam ini banyak redaksinya bukan hanya ini saja.

Karena ini kemurkaan, maka hal ini (menjulurkan panjang kain) itu menjadi haram hukumnya. Akan tetapi Ulama menyimpulakn bahwa "ancaman" kemurkaan Allah itu hanya kepada mereka yang melakukannya karena "sombong".

Ulama berpendapat bahwa keharamannya itu bergantung kepada ‘illat-nya yaitu "khuyala'" (sombong). Jadi ketika ‘illat-nya itu hilang maka hilang juga keharamannya.[1]

‘‘illat Mustanbathah

Sedangkan ‘illat Mustanbathoh itu ialah ‘illat yang tidak tersebut dalam nash syariah namun, keberadaannya bisa disimpulkan dari redaksi nash syariah itu. Karena nash syariah-nya sangat menjurus ke arah itu.

Yang jadi pertanyaan kemudian adalah; “siapa yang bisa menyimpulkan?”

Tentu yang punya wewenang menyimpulkan itu ialah para ulama mujtahid yang memang punya kapasitas dan mengerti tentang dalil beserta madlul-nya. bukan hanya sekedar bisa bahasa arab, tapi lebih dari itu.

Contohnya: hadit nabi saw:

لَا يَقْضِي الْقَاضِي بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ

"Tidaklah seorang Hakim Memberikan putusan hukum ketika ia sedang dalam keadaan marah" (HR Ibnu Majah)



Dalam hadits terdapat larangan bagi seorang hakim untuk memberikan putusan hakim ketika ia sedang marah. Artinya seorang hakim harus netral baik fisik atau pun psikis dalam memberikan putusan.

Ulama dalah hal ini berpendapat bahwa larangan tersebut bukan karena semata-mata "Marah". ‘illat larangannya bukan karena marah saja, akan tetapi ‘illat larangannya tersebut ialah karena marah itu bisa menggangu konsentrasi seorang hakim dalam menentukan putusan, dan bukan hanya marah.

Jadi segala sesutau yang bisa menganggu pikiran Hakim ketika menentukan putusan itu yang menjadi ‘illat larangannya. Bisa jadi karena lapar, mengantuk dan sebagainya.

Dengan kesimpulan tersebut, maka dilarang bagi hakim untuk menentukan putusan ketika ia sedang dalam keadaan lapar, atau sedang mengantuk karena itu bisa menganggu pikirannya.

Jadi "Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'‘illati Wujudan wa 'Adaman" keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan "‘illat" (sebab)-nya. Ada "‘illat" ada hukum, tak ada "‘illat" tak ada hukum.

Tidak Semua Hukum Ada ‘Illat-nya

Tapi perlu diperhatikan juga, bahwa tidak semua hukum syariat itu ada “karena”-nya, tidak semua hukum syariat itu bergantung pada sebuah ‘Illah. Ada beberapa hukum, bahwa banyak sekali yang disyariatkan oleh Allah untuk orang muslim ini tanpa ada sebab dan kenapanya.

Contoh yang paling populer ialah hukum wajibnya sholat 5 waktu. Kenapa sholat 5 waktu wajib? Ya jawabannya tidak ada kenapa-nya, semua itu karena Allah swt yang memang menghendaki itu wajib dan setiap muslim punya beban untuk menunaikannya.

Ini yang disebut dengan istlah Al-Hukm Al-Ta’abbudi [], hukum ritual yang memang tidak ada kenapa-nya, dan tidak bisa dijelaskan kenapa. Jawabannya yang tepat ialah, karena Allah swt menghendaki itu!

Ada lagi hukum air kencing bayi yang belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya. Syariat ini membedakan antara bayi laki dan bayi perempuan, kalau bayi laki-laki, cara mensucikannya cukup dengan dipercikan saja, tanpa dicuci. Berbeda dengan air kencing bayi perempuan, itu harus dicuci dan harus dihilangkan sifatnya.

قَالَ اَلنَّبِيُّيُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلامِ

“Nabi SAW bersabda"Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja”. (HR. Abu Daud An-Nasai dan Al-Hakim)

Kenapa dibedakan, padahal sama-sama air kencing bayi? Jawabannya ya tidak kenapa-kenapa! Itu karena syariat ini memang membedakannya, dan bagi muslim diharuskan taat dengan apa yang sudah ditetapkan oleh syariah.

Wallahu a’lam


[1] Syarhu An-Nawawi Lil-Muslim 14/62

Ahmad Zarkasih, Lc