Kamis, 20 Juni 2013

Rancunya Bahasa Terjemahan



By : Ahmad Sarwat, Lc., MA -

Bahasa Arab memang tidak mudah diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa Indonesia. Tidak semua kata atau frasa ada padanannya, sehingga bahasa terjemahan yang harfiyah tentu tidak mampu menyampaikan isi pesan yang seutuhnya.

Para penerjemah bahasa asing, khususnya dari bahasa Arab memang harus pandai dan cerdas. Selain harus mengerti betul gaya bahasa aslinya, juga harus pandai mencarikan padanan kata atau ungkapan yang punya makna setara atau minimal agak mendekati aslinya. Kalau tidak demikian, maka pada gilirannya malah bisa jadi malapetaka.

Ittaqillah

Dalam bahasa Arab, kalau ada orang berkata kepada kita ittaqillah (اتق الله), maknanya bukan sekedar bertaqwalah atau takutlah kepada Allah. Tetapi kalimat itu sudah mengandung ancaman, atau setidaknya sebuah tuduhan bahwa kita ini bersalah dalam pandangannya.

Sehingga kalau sampai orang Arab bilang ittaqillah kepada kita, harus dipahami bahwa orang itu menyalahkan kita dan ungkapan dalam bahasa kita kurang lebih menjadi 'jangan begitu', 'awas', 'hati-hati' dan sejenisnya.

Aku Mencintaimu di Jalan Allah

Menarik juga ungkapan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada kita untuk disampaikan kepada sesama muslim, yaitu inni uhibbuka fillah (أني أحبك في الله). Kalau kita menghormati seorang dosen atau tokoh ulama di kalangan orang-orang Arab, maka ungkapan ini termasuk salah satu sopan santun yang tinggi.

Tetapi jangan sekali-kali ungkapan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiyah. Apalagi kalau sampai digunakan di tengah pergaulan sesama anak bangsa. Sebab terjemahannya akan jadi lain dan jauh sekali.

Kalau sampai ada seorang laki-laki berkata kepada teman sesama laki-laki,"Aku mencintaimu karena Allah", maka dahi temannya itu pasti akan berkerut sepuluh lipatan tanda bingung. Dan boleh jadi dalam hatinya dia curiga. Jangan-jangan orang ini hombreng, masak sesama lelaki bilang cinta-cintaan segala?

Yakhrabbetak

Orang Mesir punya makian khas kalau lagi berseteru dengan sesama mereka. Bahasa itu tentu saja ammiyah dan bukan bahasa fushah.

Yakhrab betak!!

Terjemahan apa adanya adalah rumahmu musnah, rusak atau terbakar. Sebagaimana bisa kita baca di dalam Al-Quran tentang rumah yang musnah :

Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka. Mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu'min. (QS. Al-Hasyr : 2)

Tentu saja makian atau umpatan itu tidak ada kaitannya dengan rumah yang musnah. Itu hanya bahasa ungkapan, ketika kita terjemahkan menjadi rumahmu musnah tentu akan lucu dan tidak enak didengar.

Barangkali mirip dengan makian khas Betawi. Tidak mungkin makian pale lo ijo diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan ra'suka ahdhar. Begitu juga tidak mungkin menerjemahkan ungkapan muke lu jauh dengan wajhuka ba'id.

Dan ungkapan khas orang Jawa mbok yo ngene juga tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ibu ya begini, atau ke dalam bahasa Inggris menjadi mother yes like this, atau ke dalam bahasa Arab menjadi ummu na'am ha kadza.

Terjemah Istilah Dalam Nash-nash Syariah

Terjemahan ungkapan ringan macam di atas, bila hasilnya salah kaprah kita masih boleh senyum-senyum. Tetapi bayangkan kalau kesalahan fatal itu terjadi ketika memahami nash-nash syariah. Kalau sampai salah kaprah, bisa-bisa yang haram jadi halal dan sebaliknya yang halal jadi haram.

Menerjemahkan bahasa Arab modern kadang kita masih kesulitan, apalagi menerjemahkan ungkapan-ungkapan yang hanya digunakan pada 14 abad lampau, tentu lebih sulit lagi untuk dipahami. Parahnya, tidak semua orang Arab hari ini bisa paham ungkapan-ungkapan khas di masa Nabi SAW.

Taribat Yadaka

Seperti ungkapan Nabi SAW ketika menyebutkan empat alasan memilih istri, dimana salah satunya karena agamanya, lalu beliau mengatakan taribat yadaaka (تربت يداك).

Apa maksud kalimat taribat yadaaka ini?

Kalau secara harfiyah kata taribat itu bentukan dari kata turab yang artinya debu. Sedangkan yadaaka artinya kedua tanganmu. Tetapi apa benar taribat yadaaka itu berarti kedua tanganmu berdebu? Apa hubungannya dengan memilih istri karena faktor agama?

Bahasa Tubuh

Yang lebih sulit lagi untuk dipahami adalah bahasa tubuh Nabi SAW. Kadang dalam memberi fatwa, beliau tidak menggunakan kata secara verbal, melainkan dengan menggunakan bahasa tubuh. Salah satunya adalah tertawa hingga terlihat putih giginya.

Kasusnya terjadi ketika Amar bin Ash berijtihad meninggalkan mandi janabah dan menggantinya dengan tayammum, karena alasan takut mencelakakan dirinya saat di musim dingin. Mendengar itjihad shahabatnya itu, beliau SAW pun tertawa, hingga terlihat putih giginya.

Nah yang ini jelas membingungkan sekali. Apa makna tertawanya seorang Nabi SAW yang berkebangsaan Arab dan hidup di abad keenam Masehi. Masalahnya bahasa tubuh tiap bangsa itu beda-beda.

Bisa saja beliau tertawa karena memang mentertawakan tindakan shahabatnya itu yang mungkin keliru. Seperti kita suka mentertawakan orang-orang yang keliru dan bersalah. Itu budaya kita, kalau lihat ada orang salah atau keliru, kita terbiasa untuk mentertawakan.

Tetapi ternyata tertawanya Nabi SAW itu bukan meledek atau mentertawai kekeliruan orang lain. Tidak, justru tertawanya itu bermakna pembenaran atas ijtihad meninggalkan mandi janabah menjadi tayammum. Dan itulah yang secara umum dipahami oleh para ulama sepanjang zaman.

Disinilah terbukti bahwa urusan memahami syariat bukan sekedar menguasai bahasa saja. Seorang asli Arab di zaman kita pun belum tentu paham maksudnya. Kita harus belajar lebih dalam ilmu bahasa Arab yang lebih klasik lagi, yang boleh jadi di kamus-kamus modern tidak tercantum.

Dan lebih dari itu, kita perlu merujuk ke kitab-kitab syarah hadits untuk mengetahui apa yang dipahami para ulama di masa lalu tentang ungkapan asing itu. Dan kalau ungkapan itu ada di dalam ayat Al-Quran, tentu kita perlu membuka kitab tafsir.

Dan salah satu manfaat ilmu fiqih adalah memahami makna tiap istilah yang digunakan dalam nash-nash syariah secara lebih mendalam. Sebab kekeliruan dalam memahaminya akan melahirkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan hukum. Dan kekeliruan seperti itu sangat mungkin terjadi, bila yang melakukannnya hanya orang yang awam seperti kita yang bukan termasuk orang yang berada dalam derajat para mujtahid.

Wallahu a'lam

Buku Fiqih Yang Tidak Fiqih

By : Ahmad Zarkasih, S.Sy. – 

Ceritanya bermula pada kelas fiqih di salah satu fakultas yang berada di universitas Islam terkenal Jakarta. Seperti kebiasaan pada umumnya, Prof. A masuk dan langsung memberikan judul-judul yang nantinya menjadi tugas makalah bagi para mahasiswa. 

Salah satu mahasiswa mendapat tugas dengan tema "Al-Qiradh" [القراض] yang dalam litelatur Fiqih dikenal sebagai "Al-Mudharabah" [المضاربة] yaitu istilah untuk akad Bagi Hasil Dalam Perdagangan atau sejenisnya. Bedanya hanya dalam istilah saja, kalau istilah "Al-Qiradh" [القراض] dipakai oleh mazhab Maliki dan Syafi'i, sedangkan istilah "Al-Mudharabah" [المضاربة] dipakai oleh mazhab Hanafi dan Hambali. Tetapi intinya sama saja.

Datanglah hari dimana si mahasiswa "Al-Qiradh" mempresentasikan apa yang telah ia kumpulkan dalam makalah "Al-Qiradh"-nya. Karena memang bahasa pengantar yang dipakai itu bahasa Indonesia, ya makalahnya pun berbahasa Indonesia. Dan pastinya si mahasiswa pun meng-"copas" makalahnya dari makalah atau buku berbahasa Indonesia juga. 

Dari awal pemaparan sang dosen nampak kebingungan melihat apa yang dibicarakan oleh mahasiswanya. Belum selesai persentasi dipaparkan, beliau langsung menyela sambil bilang,"Kok masalah Qiradh tapi dari tadi ngomongin hutang-piutang?. Padahal tema Qiradh itu pembahasan soal kerjasama bagi hasil antara dua belah pihak, yaitu pemilik modal dan pekerja. 

Si mahasiswa menjawab,"Yang saya dapat di Kitab memang begitu, Prof!". Pak dosen malah tambah menunjukkan wajah bingungnya sambil bertanya. "Dari kitab apa kamu dapat ini?"

Tanpa menjawab, si mahasiswa langsung menyodorkan buku ke dosennya. Rupayanya materinya itu disadur dari buku terjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq. Setelah diperiksa, rupanya 'musibah' ada pada buku terjemahan itu. Rupanya penerjemah buku itu hanya sekedar bisa bahasa Arab sebatas hanya dalam skala menterjemahkan, tapi ia tidak mengerti ilmu fiqih itu sendiri, yang menjadi esensi materi buku.

Sehingga penerjemah tidak bisa membedakan antara al-Qiradh [القراض] dan Al-Qardh [القرض]. Memang keduanya punya dimensi pembahasan yang sama yaitu sama-sama dalam term fiqih muamalat. Al-Qardh [القرض] itu ialah salah satu bab dalam kitab fiqih yang membahsa tentang hutang piutang.  Sedangkan tema al-Qiradh [القراض] dalam fiqih muamalat maksudnya tidak lain adalah akad mudharabah [المضاربة] yaitu istilah untuk akad bagi hasil .

Tentu saja akad hutang piutang tidak sama dengan akad kerjasama bagi hasil dalam usaha bersama. Pantas saja keliru dan bisa-bisanya mahasiswa dikasih judul al-Qiradh tapi ketika membuat makalah dan pembahasan, ternyata yang dibahas malah hukum hutang piutang, al-Qardh [القرض].

Dan biang masalahnya karena si penerjemah tidak ngudeng ilmu fiqih. Dia menganggap tidak ada bedanya aL-Qiradh dan al-Qardh. Dan lebih parahnya, ternyata si mahasiswa kelas fiqih ini juga tidak tahu mana al-Qardh dan mana aL-Qiradh. *tepok jidat

Cerita ini saya dapet langsung dari si Prof. A pelaku kejadian itu, karena memang beliau juga dosen saya di sekolah Pasca di Universitas yang sama.

PENERBIT TIDAK PUNYA PENERJEMAH MUMPUNI

Ini buruknya yang banyak terjadi di penerbit-penerbit kita, di Indonesia. Mereka punya banyak penerjemah, bahkan saking banyaknya, banyak penerjemah yang statusnya freelance dari si penerbit itu.

Tapi sayangnya, penerjemah yang ada hanya mampu menterjemahkan bahasa saja, tetapi mereka tidak menguasai ilmu materi yang diterjemahkan. Padahal dalam menterjemah sebuah kitab, selain tahu kaidah bahasa Arab, si penerjemah dituntut untuk mengerti istilah-istilah yang dipakai dalam kitab tersebut.

Kalau menerjemahkan kitab fiqih, seharusnya si penerjemah juga mengerti ilmu fiqih. Karena banyak istilah fiqih yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih itu mempunyai arti berbeda jika istilah itu berada dalam kitab tafsir atau ilmu hadits.

Contoh paling kecil ialah istilah 'sunnah'. Dalam disiplin ilmu hadits, istilah 'sunnah' ini punya pemahaman tersendiri dan akan jadi lain pengertiannya kalau digunakan dalam ilmu ushul. Dan akan jadi berbeda lagi maknanya dalam kitab Fiqih.

Kalau kurang-kurang mengerti, alih-alih mau menterjemahkan, yang ada malah bisa menyesatkan banyak orang dengan buku terjemahannya itu. Parahnya jika si pembacapun bukan seorang yang mengerti. Orang awam yang mau belajar, tiba-tiba bertemu dengan buku terjemah yang si penerjemahnya pun bias dan tidak mengerti dengan apa yang ia terjemahkan.

Sayangnya lagi, setelah terjemahan rampung, naskah masuk ke meja penyunying. Dan si penyunting atau editor juga bukan seorang ahli dalam disiplin ilmu yang ada di buku terjemahan itu. Karena ternyata penyuntingnya hanya seorang ahli bahasa,  yang bisa cuma mengoreksi bahasa-bahasa yang keliru.

Lengkaplah sudah penderitaan para penuntut ilmu yang larinya ke buku terjemahan. Lihat berapa juta orang yang sudah di-bodohkan dengan buku 'sesat' ini?

Dalam kasus salah paham mahasiswa dan dosen di atas, masih untung ada yang mengoreksi kesalah-pahaman ini. Bayangkan bila buku itu dibaca oleh khalayak muslim yang tidak punya guru atau dosen, kayak apa jadinya.

JANGAN BELAJAR DARI BUKU TERJEMAH

Cara paling selamat untuk terhindar dari kesesatan ini ialah, ya jangan belajar dari buku terjemahan. Kalau memang mau belajar serius, jangan jadikan sebuah buku sebagai pegangan satu-satunya.

Belajar-lah langsung dari beliau-beliau yang memang mumpuni dalam bidang tersebut. Beliau yang telah melewati riwayat pendidikan panjang dalam disiplin ilmu tersebut, bukan mereka yang juga "alumni" dari sekolah buku terjemah.

Datangi langsung guru, kiyai, ustadz, atau apapun sebutannya, asalkan yang memang ahli di bidangnya. Entah itu ikut kuliahnya (jadi mahasiswa) atau datangi setiap majlis yang beliau menjadi pembicara. Bukan hanya menjadikan buku sebagai guru teladan, apalagi cuma buku terjemahan yang bias.

Lain halnya bila buku itu ditulis dengan bahasa Indonesia dari penulis Indonesia. Tidak jadi masalah karena tidak ada perubahan bahasa disitu. Tapi kalau buku aslinya itu berbahasa asing, kemudian diterjemahkan, sudah menjadi sebuah keniscayaan kalau ada perubahan bahasa dan hilang juga nuansa keilmuan yang sudah dibentuk oleh si penulis asli dalam bukunya.

Buruknya lagi si penerjemah cuma bisa menterjemahkan tapi tidak ngudeng dengan ilmu yang disampaikan dalam buku tersebut. Ya tidak mesti expert memang, tapi setidaknya, penerjemah harusnya mengerti dengan istilah-istilah yang dipakai dalam dispilin ilmu tersebut.

Terus berguru dengan buku terjemah tidak akan memuaskan pun tidak akan membuat kita makin tahu, dan ilmu yang sampai pun menjadi tanggung, tidak menyeluruh. Nah, Justru ilmu yang tanggung itu jauh lebih berbahaya daripada tidak tahu sama sekali.

Karena lebih baik tidak tahu, dari pada tahu tapi "nanggung".

Wallahu a'lambishshawab.

Minggu, 02 Juni 2013

BATASAN MINIMAL YANG DISEPAKATI TENTANG JILBAB



Jilbab adalah pakaian syari’ah bagi wanita Muslimah. Fenomena Jilbab ini sudah menjamur ke seluruh lapisan masyarakat, dari yang mulai Jilbab yang Trendy / mengikuti mode (ada yang mengatakannya mode Hijabers),  model yang sederhana, hingga mereka yang menggunakan Cadar.

Ada sebagian kalangan yang berpendapat, bahwa Jilbab yang syar’I adalah jilbab yang menutup seluruh aurat kecuali muka dan tangan saja. Ada yang mengatakan bahwa yang syar’I adalah seluruh anggota tubuh, kecuali sepasang mata. Ada yang mengatakan bahwa Jilbab itu sendiri adalah cukup menutupi aurat seperti kepala dan seluruh tubuh (kecuali muka dan tangan), namun masih boleh tidak mengapa memakainya dengan mengikuti mode seperti digunakan dengan ketat, memperlihatkan bentuk tubuh, dan lain sebagainya.

Namun diluar perbedaan pendapat itu semua, ada hal yang memang seluruh ulama sepakat tentang pakaian yang sesuai syari’ah untuk kaum wanita.

Berikut ini saya tuliskan hasil ringkasan dari buku tentang Jilbab, karangan Prof. Quraish Shihab, yang memang isinya cukup jelas dan gamblang, hasil penelitian beliau tentang kaidah Jilbab itu sendiri, batasan-batasan dan syarat/ketentuan yang telah disepakati oleh Jumhur ulama.

Diluar dari Pro dan Kontra mengenai penulis buku ini (Prof. Quraish Shihab), kita harus mencermati isinya yang memang bagus dan mengandung kebenaran.

Berikut adalah penjelasannya, semoga bisa bermanfaat.

Beberapa Ketentuan Dalam Hal Berpakaian

Prof Quraish Shihab dalam beberapa tulisannya tentang Jilbab, telah memaparkan pandangan beberapa ulama dan cendekiawan menyangkut aurat wanita. Apapun yang Anda pilih, yang ketat sehingga menutup semua badan serta tidak menampakkan kecuali pakaian luar yang tidak mengundang perhatian, atau hanya menampakkan wajah dan telapak tangan, atau menampakkan lebih dari itu secara terhormat, tidak mengundang rangsangan dan usilan, "apapun yang Anda pilih," namun yang pasti ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan agar pakaian dan tingkah laku Anda tidak dinilai bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.

1)    Jangan ber-tabarruj!

Anda masih ingat firman Allah yang ditujukan kepada wanita-wanita yang telah memasuki usia senja dan tidak berminat lagi untuk kawin Kepada mereka pun, Allah mengingatkan bahwa hendaknya mereka:, (ghaira mutabarrijaatin bi ziinah) (QS. an-Nuur [24]: 60) dalam arti, jangan sampai mereka menampakkan "perhiasan" dalam pengertiannya yang umum, yang biasanya tidak ditampakkan oleh wanita baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai. Seperti make up secara berlebihan, berbicara secara tidak sopan, atau berjalan dengan berlenggak-lenggok dan segala macam sikap yang mengundang perhatian pria.

Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak ditampakkan kecuali kepada suami dapat mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil. Jangan berkata bahwa hanya sedikit yang terlihat atau diperlihatkan, karena seringkali menampakkan yang sedikit justru menimbulkan rangsangan yang lebih besar daripada menampakkan yang banyak.

2)    Jangan mengundang perhatian pria!

Kalaulah kita menemukan perbedaan pendapat tentang makna ayat 31 surah [24]:

"Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali apa yang tampak darinya,"

maka lanjutan pesan ayat itu yang menyatakan:

“Dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”

Pesan ayat ini tidaklah diperselisihkan. Penggalan ayat ini berpesan bahwa segala bentuk pakaian, gerak-gerik, ucapan, serta aroma yang bertujuan atau dapat mengundang fitnah (rangsangan berahi) serta perhatian berlebihan adalah terlarang. Dalam konteks ini juga, Nabi saw. bersabda: -

"Siapa yang memakai pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada Hari Kemudian, lalu dikobarkan pada pakaian(nya) itu api" (HR. Abu Dawud dan Ibn Májah).

Yang dimaksud di sini adalah bila tujuan memakainya mengundang perhatian dan bertujuan memperoleh popularitas. Adapun jika yang bersangkutan memakainya bukan dengan tujuan itu, lalu kemudian melahirkan popularitas akibat pakaiannya, maka semoga niatnya untuk tidak melanggar dapat menoleransi popularitas yang lahir itu.

Pemakai jilbab dengan cara dan model jilbab yang dipakai dapat dicakup oleh ancaman di atas, jika niat dan tujuan memilih mode atau cara memakainya mengundang perhatian dan popularitas. Di sisi lain, perlu dicatat bahwa peringatan di atas bukan berarti seseorang dilarang memakai pakaian yang bersih dan indah. Seorang sahabat Nabi saw. bertanya bahwa, "Bila ada seseorang yang senang pakaiannya indah, alas kakinya indah, apakah itu termasuk kesombongan?" Nabi saw. menjawab, "Sesungguhnya Allah Maha Indah (dan) menyenangi keindahan. Keangkuhan adalah menolak yang haq dan melecehkan manusia" (HR. Muslim melalui Abdullah Ibn Mas`ud), dan Yang Maha Kuasa itu "Senang melihat dampak anugerah-Nya kepada seseorang" (HR. at-Tirmidzi) antara lain melalui pakaian yang dipakainya. Itu semua, selama tidak disertai dengan rasa angkuh, berlebihan, atau melanggar norma agama.

3)    Jangan memakai pakaian transparan!

Jangan mengenakan pakaian yang menampakkan kulit, juga jangan memakai pakaian yang sangat ketat sehingga menampakkan lekuk-lekuk badan. Pakaian yang transparan dan ketat, pasti akan mengundang bukan saja perhatian, tetapi bahkan rangsangan. Rasul saw. bersabda bahwa:

"Dua kelompok dari penghuni neraka yang merupakan umatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang berbusana (tetapi) telanjang serta berlenggak-lenggok dan melanggak-lenggokkan (orang lain); di atas kepala mereka (sesuatu) seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak juga menghirup aromanya. Dan (yang kedua adalah) lelaki-lelaki yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi. Dengannya mereka menyiksa hamba-hamba Allah" (HR. Muslim melalui Abu Hurairah).

Berbusana tapi telanjang, dapat dipahami sebagai memakai pakaian tembus pandang, atau memakai pakaian yang demikian ketat, sehingga tampak dengan jelas lekuk-lekuk badannya. Sedang berlenggak-lenggok dan melenggak-lenggokkan dalam arti gerak-geriknya berlenggak-lenggok antara lain dengan menari atau dalam arti jiwanya miring tidak lurus atau dan memiringkan pula hati atau melenggak-lenggokkan pula badan orang lain. Adapun yang dimaksud dengan punuk-punuk unta adalah sanggul-sanggul mereka yang dibuat sedemikian rupa sehingga menonjol ke atas bagaikan punuk unta.

Ada sementara orang yang memakai pakaian mini lalu menutupi kepalanya dengan topi, lehernya dengan syal (kain pembebat leher) dan betis serta pahanya dengan stoking (kaus kaki) yang serupa dengan kulit betisnya. Pakaian semacam ini pada hakikatnya tidaklah sejalan dengan norma-norma agama, walaupun semua badannya telah ditutupi.

4)    Jangan memakai pakaian yang menyerupai pakaian lelaki!

Dalam konteks ini Nabi saw. bersabda:

‘’Allah mengutuk wanita-wanita yang meniru (sikap) lelaki dan lelaki-lelaki yang meniru (sikap) wanita" (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah).

Di kali lain Rasul saw. bersabda:

‘’Allah mengutuk lelaki yang memakai pakaian perempuan dan mengutuk perempuan yang memakai pakaian lelaki" (HR. al-Hakim melalui Abu Hurairah)

Perlu dicatat bahwa peranan adat kebiasaan dan niat di sini, sangat menentukan. Ini, karena boleh jadi ada model pakaian yang dalam satu masyarakat dinilai sebagai pakaian pria sedang dalam masyarakat lain ia menyerupai pakaian wanita. Seperti halnya model pakaian jallabiyah di Mesir dan Saudi Arabia yang digunakan oleh pria dan wanita, sedang model pakaian itu mirip dengan long dress yang dipakai wanita di bagian dunia yang lain. Bisa jadi juga satu model pakaian tadinya dinilai sebagai menyerupai pakaian lelaki, lalu, karena perkembangan masa, ia menjadi pakaian wanita. Nah, ketika itu yang memakainya tidak disentuh oleh ancaman ini, lebih-lebih jika tujuan pemakaiannya bukan untuk meniru lawan jenisnya. Suatu ketika Nabi saw. menghadiahkan kepada Usamah Ibn Zaid ra. pakaian buatan Mesir, lalu Usamah ra. memberinya kepada istrinya. Setelah sekian lama, Nabi saw. bertanya kepada Usamah:

"Mengapa engkau tidak memakai pakaian Mesir (yang kuhadiahkan itu)?" Dia menjawab: "Kuberikan istriku untuk dipakainya." Kemudian Nabi saw. bersabda: "Katakanlah kepadanya agar meletakkan di bawah pakaian itu pelapis, karena aku khawatir (karena halusnya bahan pakaian itu, jika tidak diberi pelapis) sosok tulangnya (lekuk-lekuk badannya) akan tergambar" (HR. Ahmad dan al-Baihaqi).

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada halangan bagi wanita memakai pakaian yang tadinya dibuat untuk pria, atau dari negeri atau budaya non-Islam (karena ketika itu Mesir masih belum memeluk agama Islam), "tidak ada halangan" selama niat dan tujuannya bukan untuk menyerupai mereka dan selama batas-batas agama terpenuhi yang dalam konteks hadits di atas adalah tidak taransparan sehingga menampakkan kulit atau lekuk-lekuk badan.

Sementara ulama bersikap sangat ketat menyangkut hal ini. Mereka lupa bahwa Rasul saw. pun pernah memakai pakaian-pakaian yang bersumber dari negeri-negeri non-muslim dan yang dihadiahkan kepada beliau. Tentu saja, ketika itu beliau memakainya bukan karena ingin menyerupai mereka atau kagum kepada nilai-nilai dan budaya mereka yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Beliau memakainya, karena itu beliau anggap baik untuk dipakai dan sesuai dengan fungsi-fungsi pakaian yang dikehendaki oleh nilai-nilai Islam, walaupun harus diakui pula bahwa bahwa Rasul saw. seringkali menekankan perlunya memelihara identitas keislaman dan Syakhshiyat al-Muslim (kepribadian Muslim atau Muslimah).

Mufassir dan pakar hukum Islam al-Qurthubi menyatakan bahwa pendapat yang mengecualikan wajah dan telapak tangan dari tubuh wanita yang harus ditutup, merupakan "pendapat yang lebih kuat atas dasar kehati-hatian dan mempertimbangkan kebejatan manusia."

Lalu atas dasar itu pulalah dan tanpa mengabaikan pandangan sementara ulama dan cendekiawan kontemporer, kiranya masih sangat relevan untuk menyatakan bahwa kehati-hatian dalam melaksanakan tuntunan agama, mengundang setiap Muslim dan Muslimah untuk menganjurkan pemakaian jilbab sesuai dengan pendapat mayoritas ulama, apalagi pemakainya sama sekali tidak terhalangi untuk melakukan aneka aktivitas positif baik di dalam maupun di luar rumah, baik untuk kepentingan pribadi dan keluarga, maupun kepentingan bangsa dan umat manusia." Keindahan dan kecantikan pun sama sekali tidak terabaikan dengan pemakaian apa yang dinamai busana Muslimah itu.

Jika Anda bertanya "Apakah pendapat itu (aturan dan batasan pemakaian jilbab) merupakan hak yang tidak diragukan lagi?" Jika Anda bertanya demikian, maka penulis (Prof. Quraish Shihab) hanya dapat mengulangi jawaban Imam Abu Hanifah ra. (w. 150 H/767 M) yang berkata ketika ditanya seperti pertanyaan itu bahwa: "Demi Allah, saya tidak tahu, boleh jadi itu (yakni pendapat yang dikemukakannya) adalah bathil yang tidak ada keraguan di dalamnya." Beliau kemudian berkata: "Apa yang kami kemukakan itu adalah pendapat. Kami tidak memaksakannya pada seorang pun, kami juga tidak berkata bahwa seseorang harus menerimanya secara terpaksa. Siapa yang memiliki (pendapat yang) lebih baik daripada apa yang kami sodorkan, maka hendaklah dia menghidangkannya."

Dalam riwayat lain beliau berkata: "Maka dia lebih wajar dinilai benar daripada kami."

‘’Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali" (QS. Hud [11]: 88).

Semoga Allah mengampuni dosa penulis (Prof. Quraish Shihab), kedua orang tua, keluarga penulis dan para pembaca serta seluruh kaum muslimin.

Wallahua’lam