Rabu, 29 Mei 2013

Perbedaan Istimbath Hukum Ahli Hadits dan Ahli Fiqh



Sering kali kita temukan, bahwa banyak terjadi perbedaan hukum terkait hasil ijtihad maupun pendapat dari ustadz “ahli hadits” dengan ustadz “ahli fiqh”.

Dampak dari perbedaan pendapat ini, hingga sampai keluar statement “bid’ah” dari kalangan ustadz ahlu hadits, dikarenakan beberapa amalan memang tidak ada haditsnya yang menjelaskan secara khusus, namun bagi ustadz “ahli fiqh” mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah bid’ah, disebabkan memang ada dalil umum tentang kebolehan sesuatu amalan tersebut.

Berikut ada sebuah penjelasan, tentang perbedaan istimbath (pengambilan kesimpulan / kaidah hukum) dari ahli hadits, dan ahli fiqh, yang mudah-mudahan bisa bermanfaat.

PERBEDAAN ISTIMBATH HUKUM AHLI HADITS DAN AHLI QITH.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

Pada dasarnya, pada sisi sumber pokoknya tidak ada perbedaan antara para ulama dalam menyimpulkan hukum pada sebuah permasalahan.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 3/6) sumber-sumber dalam pengambilan hukum adalah (secara ringkas):

1. Al Quran, telah disepakati oleh para imam dan seluruh kaum muslimin, tak ada yang menentangnya kecuali orang sesat

2. Sunah , yang tidak bertentangan dengan zhahir ayat Al Quran, tetapi menafsirkan Al Quran, seperti jumlah shalat, jumlah rakaat, nishab zakat, manasik haji, Umrah, dan hukum-hukum lainnya.

3. Ijma’ (kesepakatan), ini disepakati umumnya kaum muslimin dari kalangan ahli fiqih, ahli hadits, sufi, ahli kalam. Sedangkan ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah menolaknya. Sebagian ulama mengatakan ijma’ hanya bisa terjadi pada masa sahabat saja, ada pula yang mengatakan, bisa pada masa sahabat dan tabi’in.

4. Qiyas (analogi) terhadap nash dan Ijma’, ini diakui oleh mayoritas ahli fiqih, bahkan kaum rasionalis berlebihan dalam menggunakannya, sampai mereka membantah nash. Sedangkan kaum zhahiri (tekstualis) menolaknya.

5. Al Istish-hab, hukum asal dari sesuatu selama belum ada ketetapan yang merubahnya, yang halal adalah halal selamanya jika tidak ada alasan yang merubah statusnya, begitu pula yang haram.

6. Al Mashalih Mursalah, yaitu pendapat seorang mujtahid bahwa sebuah perbuatan memiliki manfaat yang kuat dan nash syara’ tidak melarangnya. Para fuqaha berbeda pendapat kebolehan menggunakan metode ini. (selesai dari Imam Ibnu Taimiyah)

Sementara ulama lain menambahkan dengan Al Istihsan (perbuatan yang dipandang baik), Al ‘Urf (tradisi), Asy Syar’u man qablana (syariat orang terdahulu), Al Qaul Ash Shahabiy (pendapat sahabat), Al ‘Amal ahlul Madinah (perbuatan penduduk Madinah) dan Dzari’ah (menolak yang mubah untuk menghindar keharaman).

Point satu sampai tiga (Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’) yang disebutkan Imam Ibnu Taimiyah, telah disepakati oleh semua ulama dari berbagai disiplin ilmu. Ada pun point lain setelahnya diperselisihkan oleh mereka, sebagaimana dirinci dalam berbagai kitab Ushul Fiqh. Nah, perbedaan mereka dalam penerimaan terhadap sumber-sumber selain tiga point itu, berdampak pada perbedaan hasil hukum yang mereka ijtihadkan. Perbedaan itu terjadi walau dengan sesama ahli fiqih.

Ingin saya tegaskan di sini, dahulu para ulama yang concern dengan hadits, mereka juga perhatian dan memahami fiqih dengan baik. Sebagaimana para ahli fiqih juga sangat perhatian dengan hadits. Oleh karena itu nama-nama seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Al Bukhari, Imam At Tirmidzi, atau yang setelah mereka seperti Imam Ibnu Hazm, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Hajar, dan banyak lagi, mereka adalah lautan dalam ilmu hadits, tetapi mereka juga bintangnya para fuqaha (ahli fiqih).

Juga nama-nama seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Al Auza’i, Imam Al Laits bin Sa’ad, dan lainnya, mereka adalah lautan dalam ilmu fiqih, tetapi mereka juga bintangnya para ahli hadits.

Bahkan Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengancam akan memukul dengan pelepah kurma, orang yang belajar hadits tetapi tidak memahami fiqih, atau orang yang belajar fiqih tetapi tidak memahami ilmu hadits. Sebab, bagaimana mungkin seorang belajar fiqih tanpa mendalami hadits, sebab dari hadits-lah berbagai permasalahan fiqih paling banyak dibahas. Dan, bagaimana mungkin pula seorang belajar hadits tanpa mendalami fiqih hadits tersebut, bagaikan seorang memiliki barang berharga tetapi tidak mengerti nilai, harga, dan kegunaan barang tersebut. Oleh karenanya, seharusnya ahli fiqih dan ahli hadits bukanlah dua kelompok yang di posisikan vis a vis (saling berbenturan), namun mereka adalah satu kesatuan yang saling menguatkan. Jika pun nantinya tetap ada perbedaan, maka itu merupakan bagian dari keragaman yang memang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan.

Kenyataan hari ini, tak bisa diingkari, seakan keduanya adalah hal terpisah. Ahli fiqih ada di sebuah lembah, ahli hadits ada di lembah lain. Sampai-sampai dianggap bahwa para ahli hadits adalah orang yang miskin fiqihnya dan berbahaya mengambil ilmu fiqih dari mereka. Mereka dianggap kelompok yang gegabah dalam memahami fiqih, hanya dari hadits tanpa menimbang berbagai variabel lain, padahal untuk melahirkan keputusan fiqih mesti melihat dari berbagai sisi (holistik), seperti kaidah, maqashid-nya, kondisi dan kebiasaan masyarakat. Sebaliknya, sebagaian menganggap bahwa para ahli fiqih adalah orang bodoh dalam hadits, maka curigailah kekuatan dalil dan argumentasinya, karena mereka bagaikan pencari kayu bakar di malam hari (maksudnya, tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan dhaif, bagaikan pencari kayu bakar yang tidak bisa membedakan mana kayu bakar mana rumput basah). Lalu, masing-masing pihak punya pendukung fanatiknya. Jika mengutip fiqih mereka lebih suka mengambil dari Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Musthafa Az Zarqa’, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, dan fuqaha lainnya. Jika mengutip hadits manusia yang lain lebih tenang mengutip dari Syaikh Al Albani, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Abdul Fatah Abu Ghuddah, Syaikh Habiburrahman Al A’zhami, dan muhaddits kontemporer lainnya. Namun kita yakin dan percaya, bahwa para ulama ini adalah manusia yang juga mempelajari fiqih dan hadits sekaligus, hanya saja nama mereka sudah terlanjur dikenal di masyarakat sebagai ahli fiqih saja, atau ahli hadits saja, padahal tidak demikian. Dan, seharusnya memang jangan sampai diposisikan dua pihak adalah pihak yang selalu berseberangan.

Kita berharap –walaupun sangat sulit mencari yang mumpuni dikeduanya- paling tidak masih bisa memadukan kedua kelompok ini. Syaikh Muhammad Al Ghazali Rahimahullah menganologikan hubungan antara ahli hadits dan ahli fiqih, bagaikan pemiliki barang bangunan dan tukang bangunan. Pemilik bangunan adalah pihak yang paling tahu barang mana yang paling bagus, kuat, dan layak dipakai, sedangkan tukang bangunan yang paling tahu memanfaatkan barang-barang bangunan untuk jadi apa, di bentuk bagaimana, dan seterusnya, sehingga layak dihuni dan indah dipandang. Itulah ahli hadits – si pemilik barang bangunan- dan ahli fiqih –si tukang bangunannya.

Bisa juga diumpamakan seperti tukang sayur yang paling tahu kualitas sayur dan berbagai bahan makanan, dengan juru masak yang paling tahu bagaimana mengolah sayur dan bahan makanan tersebut menjadi makanan lezat dan sehat. Itulah ahli hadits dan ahli fiqih.

Wallahu A’lam

Ditulis oleh Ust Farid Nu’man

Rabu, 08 Mei 2013

Jangan Sembarang Menuduh Sesama Muslim



Assalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokaatuh…

Akhir-akhir ini marak sesama jama’ah islam saling melontarkan tuduhan buruk kepada sesama saudaranya (saudara muslim), sampai dengan saling membid’ahkan nya. Apakah hal ini yang diinginkan dalam pelajaran akhlak dan keimanan seorang muslim? Apakah kita boleh seenaknya saja melontarkan tuduhan kepada saudara kita sesama muslim, padahal banyak ayat dalam qur’an mengatakan bahwa sesama muslim adalah saudara, dan dalam hadits juga banyak disebutkan, bahwa haram kehormatan saudara muslim kita hinakan..

Berikut ada hadits-hadits terkait yang mudah-mudahan bisa membantu kita untuk tidak saling melontarkan tuduhan buruk kepada saudara kita sesama muslim.

Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapa saja berkata kepada saudaranya, "Wahai kafir," maka salah satu dari keduanya kembali dengan perkataan kufur itu jika memang seperti yang dia ucapkan. Akan tetapi jika tidak, maka ucapan itu kembali kepada dirinya sendiri." (HR Muslim 111/60)

Dari Abu Dzarr, dia telah mendengar Rasulullah shallallahu wasallam bersabda, "Tidak ada seorang lelaki yang mengakui (orang lain) yang bukan ayahnya (sebagai ayah) padahal dia mengetahui hal itu, maka dia telah kafir. Barangsiapa mengakui sesuatu yang tidak dia miliki, maka dia bukan termasuk golongan kami, dan hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan sebutan kufur atau mengatakan, "Wahai musuh Allah," padahal orang tersebut tidak seperti itu, maka (perkataan itu) akan kembali kepada dirinya sendiri." (HR Bukhari (VI/3508) dan Ibnu Majah (11/2610) dari riwayat Sa'ad dan Abu Bakrah)

Makna hadits diatas sesuai dari kitab Syarh Shahih Muslim Imam Nawawi (salah satunya) adalah makna hadits tersebut ditakwilkan pada kekufuran. Sebab bentuk-bentuk kemaksiatan sebagaimana yang telah mereka katakan [sangat mengkhawatirkan] bisa mengakibatkan kekufuran. Bahkan kekufuran tersebut dikhawatirkan benar-benar terealisasi pada orang yang sering mempraktekkan hal tersebut. Pendapat ini diperkuat dengan riwayat yang disebutkan Abu Awanah Al Isfarayini di dalam kitabnya Al Mukharraj 'Ala Shahih Muslim, "Jika yang diajak bicara itu memang telah berstatus kafir, [maka tidak ada masalah]. Sedangkan kalau tidak, maka kekufuran itu akan kembali kepada dirinya." Dalam riwayat juga disebutkan,
(Jika dia berkata kepada saudaranya, "Wahai kafir," maka kekufuran wajib mengenai salah satu di antara keduanya).

Sungguh sangat jelas dengan penjelasan hadits diatas, bahwa kita harus berhati-hati dalam melakukan claim/ tuduhan kepada saudara kita sesama muslim. Bila kita salah menuduh / menuduh tanpa bukti, maka bisa saja tuduhan itu berbalik kepada kita.

Islam sangat lah melindungi hak asasi orang lain. Contoh yang paling sederhana saja, dan cukup krusial, bahwa kita tidak boleh menuduh zina kepada orang lain. Bila kita menuduh seseorang berbuat zina, maka kita diharuskan menghadirkan 4 orang saksi (An Nuur: 4 dan 13). Bila tuduhan kita (terhadapa pezina) tersebut tidak terbukti, maka kita wajib di hokum dengan hukuman cambuk (An Nuur:4).

Maka saudaraku, berhati-hatilah terhadap mulut kita itu. Jangan pernah kita menuduh seseorang tanpa bukti, apalagi sampai dengan mentakfir, mengkafirkan orang lain, menuduh ahli bid’ah, dll yang hal tersebut dapat menyakiti hati orang tersebut.

Cukuplah kita ingat dengan pesan Baginda Rasulullah, “Dari Anas, dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam, beliau bersabda, ‘Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak beriman sampai dia mencintai tetangganya (atau Rasulullah telah bersabda, "[sampai dia mencintai] saudaranya) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR Muslim /72)

Sudah sangat jelas tentang hadits diatas, bagaimana kita bisa dikatakan beriman, bila dengan mudahnya kita melontarkan tuduhan-tuduhan tanpa saksi yang jelas apalagi bukti yang jelas kepada yang kita tuduhkan. Sungguh sangat mengherankan, saat ini, dimana banyak para penimba ilmu, maupun para pengajar ilmu, dengan mudahnya melontarkan tuduhan kepada orang lain, tanpa melakukan tabayyun, mencari saksi maupun bukti. Selama tindakan orang yang mereka tuduh adalah tidak sama dengan kelompoknya, maka mereka akan melontarkan tuduhan Kafir / Ahli Bid’ah, dll.

Perlu diingat, bahwa, kita tidaklah pernah tahu akhir hayat kita. Boleh jadi tuduhan tersebut bisa benar adanya. Namun kita tetaplah harus berhati-hati, karena kita tidak lah pernah tahu akhir dari hayat orang tersebut, maupun akhir dari hidup kita. Tentunya kita masih ingat, tentang seorang pembunuh, yang telah membunuh banyak orang, namun dikarenakan dirinya bertobat, maka Allah memasukkan dirinya kedalam Surga (Al Hadits). Cukuplah hadits dibawah ini menjadi renungan bagi kita.

Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anh, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga. [HR Bukhari no. 3208, Muslim no. 2643]

Sungguh…sangat besar faedah dan pelajaran yang dapat diambil dari hadits diatas.
Janganlah pernah kita merasa bahwa kita lebih baik dari orang lain, kita merasa amal ibadah kita diterima, kita merasa sudah paling benar dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW, padahal sesungguhnya masih banyak Sunnah Rosulullah SAW yang lainnya, yg belum kita lakukan.

Seharusnya kita mengingat perkataan Istri Rasulullah SAW, Aisyah RA, yang mengatakan bahwa “Ahlak Rasulullah adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim).
Dengan ini kita seharusnya lebih mengerti tentang al Qur’an, tentang dilarang berlaku zhalim, harus adil, baik sesama muslim maupun kepada non muslim, dilarang menggunjing saudaranya, dilarang berdusta, dll , yang semuanya disebutkan di dalam Al Qur’an.
Sering kali kita merasa sudah berbuat baik yang banyak, padahal, kita masih suka bergunjing, kadang masih berdusta, kadang juga tidak bisa menahan pandangan, sering tidak adil, dan banyak hal yang mengakibatkan kita terjerumus kedalam dosa.

Marilah kita mulai saat ini menahan dari komentar-komentar yang tidak baik kepada saudara kita. Cukuplah kita selalu mendoakan saudara kita sesama muslim, bila melihat perbuatan mereka yang salah, dan akan lebih baik bila kita bisa memberitahukannya tentang kesalahannya tersebut, daripada kita sibuk mencela saudara kita dengan member cap Ahlu Bid’ah, Kafir, dll.

Semoga kita semua bisa menahan lisan dan menggunakannya dengan lebih bijak….amin..

Wallahua’lam bishowab…