Selasa, 20 Maret 2012

KETIKA KEBERKAHAN DICABUT

Assalamu'alaikum Wr Wb..

Sudah hampir tidak dipungkiri, bahwa saat ini kita sudah memasuki tanda-tanda akhir zaman. Begitu banyak kerusakan merajalela, orang-orang baik dijauhi, orang-orang tidak berilmu dijadikan panutan dan dimintakan fatwanya, dan masih banyak lagi tanda-tanda lainnya tentang akhir zaman tersebut.

Berikut ada sebuah tulisan tentang penjelasan salah satu tanda-tanda kecil tentang dekatnya hari Kiamat, yaitu tentang semakin singkatnya Waktu.

 Bila kita hanya sekedar membaca hadits ini, mungkin kita akan "mengeryitkan" dahi, dikarenakan cukup rumitnya makna dari Hadits ini.

Benarlah julukan Rosulullah SAW, bahwa beliau adalah nabi yang dianugerahkan memiliki kalimat yang sederhana namun penuh makna.

Semoga dengan membaca penjelasan dibawah ini, Insya ALlah kita akan semakin berusaha untuk memanfaatkan waktu kita, dalam rangka mencari keberkahan waktu, serta mempersiapkan diri kita menuju hari dimana hanya amal sholeh diri kita yang akan membela kita di akhirat dan menemani kita di alam barzakh.


Wallahua'lam

KETIKA KEBERKAHAN DICABUT.

Rasulullah Saw menyebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari kiamat adalah waktu yang terasa semakin singkat. Hadits tentang hal ini cukup banyak, misalnya hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan tiba hari kiamat hingga waktu semakin singkat. Satu tahun bagaikan satu bulan, satu bulan bagaikan satu minggu, satu minggu bagaikan satu hari, satu hari bagaikan satu jam. Dan satu jam bagaikan api yang membakar daun kurma.

Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah juga bahwa Nabi Saw bersabda, “Waktu akan semakin singkat, harta akan berlimpah ruah, fitnah akan menyebar, dan akan banyak terjadi pembunuhan.

Para ulama tidak menafsirkan “singkatnya waktu” dengan bertambahnya kecepatan perputaran bumi sehingga jumlah masa dalam satu hari berkurang menjadi 23 jam misalnya. Penafsiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan logika. Sebab jika kita memutar sebuah bola di sebuah titik tertentu, tentulah kecepatannya semakin lama semakin berkurang, bukan semakin bertambah. Oleh karena itu, para ulama hadits seperti Qadhi ‘Iyadh, Al-Nawawi, Ibn Abi Jamrah dan lain-lain menafsirkan singkatnya waktu ini dengan hilangnya keberkahan. Mereka berkata, “Maksud dari singkatnya waktu adalah hilangnya keberkahan dalam waktu tersebut. Sehingga satu hari misalnya tidak mampu dimanfaatkan melainkan seperti satu jam saja.” Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari. Ia berkata, “Pendapat yang benar adalah (hadits ini) bermaksud bahwa Allah Swt mencabut semua keberkahan dari segala sesuatu, termasuk keberkahan waktu. Dan ini merupakan salah satu tanda dekatnya kiamat.”

Makna Berkah

Secara bahasa, kata “berkah” (barakah) bermakna bertambah (al-ziyadah) dan berkembang (al-nama). Kata ini lalu digunakan untuk menunjukkan “kebaikan yang banyak” seperti dalam firman Allah Swt: “kitab penuh berkah” dan “malam penuh berkah”, yakni penuh kebaikan yang banyak. Rasulullah Saw juga sering kali mendoakan para sahabatnya agar Allah Swt memberkahi mereka, seperti doa beliau untuk Abu Qatadah, “Ya Allah, berkahilah kulit dan rambutnya.” Sejak saat itu, kulit dan rambut Abu Qatadah tidak pernah berubah meski usianya makin bertambah. Al-Hafiz Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq bercerita bahwa Abu Qatadah wafat pada usia 70 tahun namun kulit dan rambutnya bagaikan anak berusia 17 tahun.

Kita dapat berkata bahwa keberkahan dalam sesuatu maknanya:kualitas sesuatu itu berkembang sehingga melampaui kuantitasnya. Jika sebelum makan kita meminta agar Allah memberkahi makanan kita, maknanya: kita meminta agar makanan itu menjadi sarana perbaikan untuk kualitas tubuh dan ibadah kita. Kuantitas dan bentuk makanan itu -begitu juga rasanya- mungkin tak berubah, namun kesan positif yang diakibatkannya akan segera dirasakan berbeda di tubuh dan perilaku orang yang memakannya. Tubuhnya akan semakin kuat dan terjaga dari berbagai penyakit, juga jiwanya terasa lebih ringan untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.

Saya tidak mengingkari bahwa kadang kala Allah juga memberikan keberkahan dalam makanan dengan mengembangkan jumlah kuantitas bersama kualitas makanan tersebut sebagai mukjizat bagi nabi-Nya dan karamah bagi hamba-hamba pilihan-Nya. Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak dan masyhur sehingga tidak perlu disebutkan lagi pada kesempatan ini.

Keberkahan yang paling penting adalah keberkahan di dalam hidup dan waktu kita. Sebab, demi Allah, kita diciptakan untuk sebuah tugas maha penting, dan waktu adalah modal yang paling utama agar kita dapat menunaikan tugas tersebut dengan baik. Tanpa keberkahan dan manajemen waktu yang baik, seseorang tidak akan dapat menunaikan tugas itu dengan sempurna. Oleh karena itu, bagi mata hamba-hamba Allah yang sejati, waktu jauh lebih mahal dan lebih berharga daripada uang dan harta benda apapun di dunia ini. Keberkahan dalam waktu menjadi dambaan mereka melebihi yang lainnya.

Imam Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Andai seseorang kehilangan sekeping emas, ia akan menyesal dan memikirkannya sepanjang hari. Ia mengeluh: Inna lillah, emas saya hilang. Namun belum pernah seseorang mengeluhkan: satu hari telah berlalu, apa yang telah aku lakukan dengannya?”

Orang-orang seperti ini selalu menyesal jika sebuah detik dari waktunya berlalu tanpa manfaat. Seorang ahli hadits kenamaan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi sering kali terlihat sedang membaca sambil berjalan sebab ia tidak ingin membuang waktunya percuma. Imam Ibn Rusyd, ahli fiqih dan filsafat terkenal, juga diceritakan tidak pernah meninggalkan membaca buku dan mengajar sepanjang hidupnya kecuali dua malam saja: yaitu ketika ia menikah dan ketika bapaknya meninggal dunia.
 
Imam Abdul Wahab Al-Sya’rani bercerita tentang gurunya Syeikh Zakaria Al-Anshari (pelajar fiqh mazhab Al-Syafii pasti mengenal nama ini), “Selama dua puluh tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat beliau dalam kelalaian atau melakukan sesuatu yang tak berguna, baik siang ataupun malam hari. Jika seorang tamu berbicara terlalu panjang kepadanya, beliau segera berkata dengan tegas: ‘Kau telah membuang-buang waktuku.’

Keberkahan waktu dapat kita lihat di sejarah hidup tokoh-tokoh Islam sejak masa sahabat. Mereka berhasil melahirkan prestasi besar hanya dalam masa yang sangat singkat sehingga agak sukar diterima logika “zaman hilang-berkah” kita ini. Zaid bin Tsabit, misalnya, berhasil melaksanakan perintah Nabi Saw untuk menguasai bahasa Yahudi (Suryaniah) –percakapan dan tulisan- hanya dalam 17 hari saja. Padahal pada saat itu belum ada alat bantu modern audio visual seperti sekarang ini. Bandingkan dengan diri kita yang memerlukan masa bertahun-tahun untuk mempelajari bahasa Arab atau Inggris tanpa memperoleh hasil yang membanggakan.
 
Para penulis bioghrafi menceritakan bahwa Al Hafiz Ibn Syahin (seorang ulama hadits kenamaan) menulis 330 judul buku, salah satunya kitab tafsir Al Qur’an setebal seribu jilid. Di akhir hayatnya, ia meminta tukang tinta untuk menghitung berapa banyak tinta yang telah digunakannya untuk menulis. Ternyata jumlahnya mencapai 1800 liter tinta. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa Syeikh Abdul Ghaffar Al Qushi menulis sebuah kitab fiqih dalam mazhab Syafii setebal seribu jilid di kota Akhmim.

Begitu juga, Imam Ibn Al-‘Arabi (ahli hadits dan fiqih mazhab Maliki asal Andalusia) berhasil menulis berbagai buku-buku besar dan penting, salah satunya sebuah tafsir setebal delapan puluh ribu lembar halaman. Imam Jalaluddin Al-Suyuthi berkata bahwa pemimpin Ahlusunnah wal jama’ah Syeikh Abul Hasan Al Asy’ari pernah menulis sebuah tafsir sebanyak 600 jilid. Al-Suyuthi berkata, “Sekarang buku itu masih berada di perpustakaan Al-Nizhamiah di Baghdad.”

Belum lagi Imam Al-Ghazali yang hanya hidup 55 tahun, dan Al-Nawawi yang hidup hanya 45 tahun, namun berhasil menulis banyak buku berharga berjilid-jilid. Juga Imam Ibn Al-Jauzi yang dikatakan Imam Al-Dzahabi, “Aku tidak mengetahui seorang ulama yang menulis sebanyak tulisan orang ini.”
 Siapa yang pernah mencoba menulis buku pasti tahu betapa besar keberkahan yang Allah berikan kepada waktu para ulama ini. Sebagai manusia biasa, mereka memiliki waktu sama dengan kita: satu bulan terdiri dari empat minggu, satu minggu terdiri dari tujuh hari, dan satu hari terdiri dari 24 jam. Namun keberkahan dalam waktu memungkinkan mereka berkarya dan membuahkan prestasi lebih banyak dari kita. Keberkahan waktu benar-benar kita rasakan telah hilang pada masa kita ini sehingga sering kali sebuah buku tidak dapat kita selesaikan meski berbulan-bulan telah berlalu.

Sebab Keberkahan Dicabut 

Kehilangan berkah dalam waktu adalah keluhan utama orang-orang kafir di akhirat. Seringkali Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika kiamat terjadi, semua manusia merasa bahwa hidup mereka di dunia sangat singkat. Sebagian mereka merasa hidup di dunia hanya sepuluh hari saja (Qs. Thaha [20]: 103) Sebagian yang lain merasa hanya satu hari atau setengah hari saja, “Allah bertanya: berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab: kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari..” (Qs Al-Mukminun [23]: 112-113).

Di antara mereka ada juga yang berkata bahwa masa hidup mereka di dunia hanya beberapa jam saja, “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (Qs. Al-Nazi’at [79]: 46). Sebagian yang lain bahkan berani bersumpah di hadapan Allah Swt bahwa mereka hanya tinggal di dunia satu jam saja, “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; mereka tidak berdiam (di dunia) melainkan sesaat (saja).” (Qs. Al-Ruum [30]: 55).

Apakah yang menyebabkan hilangnya keberkahan dalam waktu mereka (juga kita) ini? Imam Ibn Abi Jamrah dalam Syarh Al-Bukhari berkata, “Penyebabnya adalah lemah iman dan menyebarnya berbagai pelanggaran syariat di berbagai bidang, salah satunya dalam hal makanan. Kita semua tahu sifat haram dan syubhat yang terdapat di makanan kita. Seringkali manusia tidak peduli (tentang hal ini) sehingga tanpa ragu-ragu mengambil makanan yang haram setiap kali ada kesempatan. Padahal keberkahan dalam waktu, rizki dan tumbuhan hanya datang melalui kekuatan iman dan ketundukan terhadap perintah dan larangan. Dalilnya firman Allah ta’ala: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (Al-A’raf [7]: 96).

Lemah iman memang membawa kepada berbagai maksiat dalam pekerjaan seperti melakukan korupsi, menerima rasuah dan lain-lain. Padahal perbuatan ini hanya memberi keuntungan semu yang akan sirna dalam masa singkat. Seorang wali Allah pada abad kesepuluh hijrian di Mesir Syeikh Afdhaluddin pernah berkata, “Pengkhianatan (dalam pekerjaan) menghapus berkah sebagaimana haram menghapus halal. Barangsiapa berkhianat dalam satu dirham, Iblis akan menyeretnya untuk berkhianat dalam seribu dirham. Begitu juga pencurian. Setiap pencuri yang kami temui, kami melihat bahwa keberkahan hilang dari usia, harta dan agamanya.”


Tak ada keberkahan selama haram menjadi santapan kita. Sebab makanan yang haram atau syubhat selalu menghalangi manusia untuk menggunakan waktunya dengan efektif. Fenomena malas dan tidur ketika beribadah, menuntut ilmu dan bekerja lahir akibat konsumsi makanan seperti ini. Imam ahli hakikat Syeikh Abu Al-Hasan Asy Syadzili berkata, “Kami telah membuktikan bahwa tak ada obat yang paling mujarab untuk mengusir kantuk selain memakan halal dan menjauhi haram atau syubhat. Barangsiapa memakan haram dan syubhat, banyak tidurnya.”

Dan barangsiapa yang banyak tidurnya, berarti ia telah membuang-buang waktunya dengan sia-sia. Para ulama sepakat bahwa tidur yang melebihi kebutuhan dapat merusak mental dan kesehatan pelakunya, juga meluputkan dirinya daripada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu, Imam Al-Sya’rani berkata, “Aku selalu menyesal untuk setiap tidur yang aku lakukan baik waktu siang ataupun malam. Sebab semua kesempurnaan berada dalam kesadaran dan terjaga. Barangsiapa yang suka tidur, berarti ia menyukai kekurangan, meniru orang mati, lalai dari amal kebaikan dan melewatkan keuntungan duniawi dan ukhrawinya.”

Tak ada keberkahan selama riba menjadi sumber rizki kita. Sebab Allah Swt berjanji, “Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 276). Imam Fakhruddin Al-Razi di dalam Tafsir-nya berkata, “Ketahuilah bahwa Allah memusnahkan riba; dapat terjadi di dunia juga di akhirat. Adapun di dunia, dapat terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya; orang yang mengambil riba meskipun hartanya berlimpah biasanya ia akan jatuh miskin pada akhir hayatnya dan hilang keberkahan dari hartanya. Nabi Saw bersabda: Riba meskipun banyak akan mengecil.”

Sayyid Qutb menulis, “Orang yang hendak memikirkan hikmah Allah dan kesempurnaan agama ini dapat melihat kebenaran firman Allah ini lebih jelas daripada orang-orang yang mendengar firman ini pertama kali. Realitas dunia di depan matanya membenarkan setiap kalimat dari ucapan ini. Berbagai bangsa yang sesat dan memakan riba tertimpa berbagai musibah yang membinasakan sistem etika, agama, kesehatan dan perekonomian mereka.”
  
Sikap Kita

Jika kita telah menyadari bahwa keberkahan telah hilang, maka sungguh merugi jika kita membuang-buang waktu yang memang sudah sedikit itu. Sebaliknya, kita harus mampu menggunakan waktu ini dengan baik untuk berprestasi di dunia dan mengumpulkan bekal hidup di akhirat. Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Segala sesuatu yang ingin kau bawa ke akhirat, siapkan dari sekarang. Dan sesuatu yang tidak ingin kau bawa, tinggalkan dari sekarang.”

Apalagi Rasulullah Saw memberitakan bahwa kondisi ini akan bertambah buruk pada masa-masa yang akan datang. Beliau bersabda –sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Anas bin Malik, “Tidaklah datang kepadamu sebuah zaman, melainkan zaman yang setelahnya lebih buruk dari itu hingga kamu berjumpa dengan tuhanmu.

Beliau juga bersabda, “Cepatlah kalian beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti kegelapan malam. Pada saat itu, seseorang mukmin pada pagi hari lalu kafir petang harinya. Ia mukmin pada petang hari lalu kafir pada pagi harinya. Ia menjual agamanya demi sedikit harta dunia.” (Ibn Hibban dan Al-Hakim dari Abu Hurairah).

Wallahua'alm

Senin, 19 Maret 2012

PENGERTIAN PERKATAAN IMAM SYAFI'I "HADITS SHAHIH ADALAH MAZHABKU"

Oleh : Ust Umar M. Noor

Seringkali kita mendengar kalimat yang dikutip dari Imam Syafi'i yaitu "Hadits Shohih adalah mazhabku". Nah, apakah maksud dari perkataan diatas tersebut? Apakah bila memang ditemukan hadits shohih dalam pengambilan hukum Fiqh dari Mazhab Imam Syafi'i, berarti langsung menggugurkan hukum fiqh yang sudah ada? Terlampir ada penjelasan, yang mudah-mudahan cukup jelas, sehingga kita semua bisa mengerti maksud dari perkataan Imam Syafi'i tersebut...Wallahua'lam.

Perbahasan di bawah ini merupakan salah satu bahasan yang satu cantumkan dalam buku saya (Ust Umar M Noor) [yang belum rampung hingga hari ini karena kesibukan yang tak henti-henti] bertajuk ”Imam Al-Syafii dan hadis Nabi”. Sengaja saya tuliskan di sini semoga bemanfaat untuk para pembaca. Saya sangat mengharapkan/menantikan setiap masukan/input yang konstruktif dan diskusi ilmiah yang akan memperkaya bahasan ini. Selamat membaca.

Makna Ucapan Imam Al-Syafii, Apabila sebuah hadis sahih, maka ia adalah mazhabku

Al-Syafi'i sadar keterbatasannya sebagai manusia biasa bahwa sekeras apapun upayanya melahirkan ijtihad-ijtihad yang sejalan dengan hadits Nabi Saw tetap terbuka kemungkinan bahwa sebagian ijtihad atau fatwanya itu berbenturan dengan hadits-hadits yang selama ini belum pernah didengarnya. Apalagi hadits di masanya belum sepenuhnya sempurna dikumpulkan dari semua ulama umat yang tersebar di berbagai negeri.

Justru, ia berpesan kepada murid-muridnya, "Jika kalian menemukan di dalam kitabku pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan pendapatku." Beliau juga berkata, "Setiap orang pasti terluputkan sunnah Nabi Saw atau tidak sampai kepadanya. Maka jika aku berpendapat atau membangun sebuah hukum yang bertentangan dengan hadits Nabi Saw, maka sabda Nabi Saw itu pendapatku." Beliau juga berkata, "Setiap masalah yang aku sampaikan, ternyata hadits yang dinilai sahih oleh ahli hadits bertentangan dengannya, maka aku menarik kembali ucapan itu selama aku hidup atau setelah aku mati." [AlBaihaqi, "Manaqib Al-Syafi'i" 1/472-475.]

Tugasan tidak mudah

Ucapan Al-Syafi'i yang mengungkapkan hal ini sangat banyak dan masyhur diriwayatkan oleh murid-muridnya di Mekah, Irak dan Mesir sehingga menunjukkan keseriusan dirinya tentang hal ini. Namun perintah ini ternyata tidak terbuka untuk dilakukan oleh sembarang ahli hadits atau ahli fiqh, apalagi sembarang orang yang tidak menguasai ilmu hadis dan fiqh dengan mendalam. Al-Hafiz Ibn Al-Shalah berkata, "Tugas ini tidak mudah. Tidak semua faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah." ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, edit: M. Najib Al-Muthi'i, [Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-'Arabi 1415 H=1995 M] 1/105]

Tidak semua hadits, walaupun sahih sanadnya, siap diamalkan untuk membangun sebuah hukum halal dan haram. Tidak terhitung ucapan para ulama yang menegaskan bahwa mengamalkan hadits tanpa didahului kajian seksama tentang status sanad dan isi matannya sering kali menyesatkan pelakunya. Sufyan bin 'Uyainah berkata, "Hadits menyesatkan kecuali untuk para ahli fiqh." ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal. 139]

Syarat Melakukan Tugasan ini

Untuk itu, para ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang menjalankan pesan Al-Syafi'i ini. Abu Syamah –ahli fiqh mazhab Al-Syafi'i di Damaskus dan salah seorang murid Ibn Al-Shalah- berkata:

"Setiap hadits sahih dari Nabi Saw yang berisi hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-Syafi'i, maka hadits itu mazhabnya tanpa ragu-ragu sebagaimana ucapannya ini. Adapun jika ada ucapannya yang bertentangan dengan hadits tersebut, maka (kondisinya) terbagi dua. Pertama, beliau tidak mengetahui hadits ini. Maka hukumnya seperti yang pertama, yakni ucapannya harus ditinggalkan dan hadits itu harus diterima sebagai mazhabnya. Hal ini jika teks hadits dengan jelas menunjukkan hukum tersebut. Adapun jika tidak jelas, atau dapat digabungkan antara isi hadits itu dengan pendapat Al-Syafi'i, maka tidak boleh (menolak pendapatnya).

Kedua, ia pernah mendengar hadits itu dan mengetahui kesahihannya lalu ia mentakwilnya, maka harus diperhatikan ucapannya. Jika ucapan itu jangan jelas dan kuat alasannya, maka ucapan itu tidak boleh ditolak, akan tetapi hadits tersebut harus ditafsirkan seperti penafsirannya. Seperti hukum membaca basmalah di dalam shalat dan penafsirannya terhadap hadits Anas yang sangat jelas menafikan bacaan itu. Begitu juga hadits batalnya puasa orang yang berbekam, sebab ia mengatakan bahwa hadits tersebut mansukh. Jika ucapannya terbuka untuk ditolak, maka hadits tersebut harus diterima seperti penafsirannya tentang kewajiban membasuh tangan hingga ke siku dalam tayamum.

Dan tidak ada yang mampu melakukan hal ini kecuali orang yang berilmu dan diakui ijtihadnya. Kepada orang ini lah Al-Syafi'i menujukan ucapannya "Jika kalian menemukan di dalam kitabku pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan pendapatku." Jadi, ucapan ini bukan untuk sembarang orang." ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal.133-136.]

Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, "(Ucapan Al-Syafi'i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi'i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi'i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi'i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya."

Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, "Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya." Ia berkata, "Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal." ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]

Syarat Satu Lagi

Menurut saya, kita harus menambahkan syarat lain yang belum disebutkan oleh kedua imam ini. Dalam kajian-kajian buku ini [maaf, buku ini belum diterbitkan], kita telah melihat kapasitas Al-Syafi'i dalam kritik hadits dan pengakuan ulama atas keunggulan metodenya dalam memilah hadits-hadits yang layak diterima atau harus ditolak. Metode yang digunakan Al-Syafi'i kadang berbeda dengan metode yang diterapkan ahli hadits yang lain. Misalnya, beliau menilai hadis-hadis riwayat Ikrimah adalah lemah, sementara Imam Al-Bukhari mensahihkannya. beliau juga berpendapat bahwa riwayat Sulaiman bin Yasar dari Aisyah adalah mursal [terputus], sementara Al-Bukhari dan Muslim menilainya bersambung. Begitu juga berbagai permasalahan lain yang telah saya sebutkan dalam artikel bertajuk "Antara Al-Syafii dan Al-Bukhari".

Oleh itu, jika kita menemukan sebuah hadits yang disahihkan sekelompok ahli hadits, dan isinya tampak bertentangan dengan pendapat Al-Syafi'i, maka kita wajib memperhatikan dengan seksama: apakah metode mereka dalam menilai hadits itu sejalan dengan metode Al-Syafi'i atau tidak? Kita harus membayangkan: andai Al-Syafi'i benar-benar tidak pernah mendengar hadits ini sebelumnya, lalu sekiranya ia mendengar hadits ini; apakah ia akan mensahihkan hadits itu seperti ulama-ulama hadits yang mensahihkannya atau tidak? Syarat ini menurut saya sangat berat dilakukan oleh ahli fiqh yang tidak menguasai ilmu hadits dengan sempurna.

Singkat kata, tanpa memenuhi semua syarat ini perkiraan seseorang bahwa pendapat Al-Syafi'i telah bertentangan dengan hadits, lalu ia segera meninggalkan pendapat itu dan mengamalkan hadits, tidak dapat dibenarkan sama sekali. Apalagi jika ia melakukannya sambil mengira tengah melaksanakan wasiat Al-Syafi'i yang telah diabaikan oleh para pengikut mazhab Al-Syafi'i sendiri. Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah dan Ibn Al-Mundzir sering kali melakukan hal ini sehingga pendapat mereka ditolak oleh ulama-ulama mazhab Al-Syafi'i dan tidak diakui sebagai bagian dari mazhab ini.

Pendapat Ditolak

Begitu juga yang berlaku kepada Abu Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad Al-Naisaburi ketika mengamalkan hadits "orang yang berbekam dan yang dibekam batal puasanya" dan meninggalkan mazhab Al-Syafi'i yang mengatakan bahwa bekam tidak membatalkan puasa. Hadits ini ditinggalkan Al-Syafi'i dengan sengaja karena dianggapnya mansukh oleh hadits lain. ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal. 100 dan 110]

Begitu juga ketika Muhammad bin 'Abd Al-Malik Al-Karaji meninggalkan qunut dengan alasan, "Hadits bahwa Nabi Saw meninggalkan qunut di shalat subuh sahih menurut saya." Taqy Al-Din Al-Subki berkata, "Setelah aku membaca kisah ini, aku meninggalkan qunut di shalat subuh beberapa lama. Kemudian aku melihat bahwa qunut yang ditinggalkan Nabi Saw adalah doa untuk kabilah Ra'l dan Dzakwan, juga bukan di shalat subuh. Adapun (untuk masalah) meninggalkan doa secara mutlak setelah berdiri di shalat subuh ada hadits 'Isa bin Mahan. Mengenai hadits ini ada diskusi-diskusi cukup panjang –sekarang bukan masa untuk menguraikannya. Aku lalu kembali ke qunut sampai sekarang." ["Thabaqat Al-Fuqaha Al-Syafi'iyyin" 1/283]

Ulama mazhab Al-Syafi'i lain yang sering berfatwa sesuai dengan hadits walau harus keluar dari mazhab adalah Abu Al-Qasim 'Abd Al-'Aziz bin 'Abdillah Al-Dariki (w. 375 H). Ia berkata, "Berpegang kepada hadits lebih baik daripada berpegang dengan ucapan Al-Syafi'i atau Abu Hanifah." ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal. 122-124] Namun ucapan ini tentu saja tidak diterima selama tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas.

Ulama Melaksanakan Tugas ini

Jika benar terbukti bahwa Al-Syafi'i tidak mengetahui hadits yang diriwayatkan tentang suatu masalah, lalu ia membangun ijtihadnya dengan qiyas atau cara lain sehingga kesimpulannya menyalahi hadits itu, maka para ulama mazhab Al-Syafi'i menerima koreksi pendapat itu dengan senang hati.

Beberapa belas masalah di Mazhab Qadim yang ditarjih atas Mazhab Jadid misal yang sangat jelas untuk hal ini. Abu Bakar bin Al-Atsram berkata, "Suatu hari kami bersama Al-Buwaithi. Aku lalu menyebutkan hadits 'Ammar bin Yasir tentang (cara) tayamum. Al-Buwaithi lalu mengambil pisau dan menghapus (sebuah kata) dari kitabnya dan merubahnya menjadi 'satu pukulan'. Ia lalu berkata: Ini adalah wasiat guru kami (Al-Syafi'i). Jika kalian (ahli hadits) mensahihkan sebuah hadits, maka itu adalah pendapatku." ["Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi" hal. 122-124]

Al-Syafi'i berpendapat bahwa tayamum harus dua kali pukulan; satu pukulan untuk wajah, dan satu lagi untuk tangan. Ulama-ulama mazhab Al-Syafi'i kemudian memperbolehkan bertayamum dengan satu pukulan karena hadits ini walaupun dengan dua pukulan lebih sempurna.

Al-Baihaqi sering kali melakukan koreksi mazhab Al-Syafi'i dengan hadits sahih di buku-bukunya tanpa melahirkan kritikan dari ulama-ulama mazhab Al-Syafi'i karena keluasan ilmunya dan kemahirannya dalam mengkaji pendapat-pendapat Al-Syafi'i. Al-Baihaqi berkata tentang puasa enam hari di bulan Syawal, "Mazhab Al-Syafi'i mengikuti sunnah jika sahih (sanadnya), dan sunnah ini telah sahih." ["Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar" 6/380] Ia juga berkata tentang hadits qadha puasa orang yang telah meninggal dunia, "Andai Al-Syafi'i melihat semua sanad-sanad hadits ini, ia tidak akan menyalahinya." ["Al-Sunan Al-Kubra" 4/256]

Semua kasus/masalah ini menunjukkan bahwa perintah Al-Syafi'i untuk mengoreksi mazhabnya benar-benar dilaksanakan oleh para pengikutnya, namun tentu saja, dengan mengikuti aturan-aturan teliti yang telah digariskan.

Wallahu a'lam.

Selasa, 13 Maret 2012

Anti Madzhab.



Seringkali kita dengar di pengajian-pengajian “tertentu”, para Ustadz/Muballigh mengatakan bahwa, kita harus bermadzhab kepada Qur’an dan Hadits saja. Haram hukumnya bermadzhab kepada Imam yang 4, karena tidak ada dalil / tuntunan yang jelas-jelas mengatakan bahwa kita harus Bermadzhab. Bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan, bahwa Mengikuti Imam Madzhab  itu bid’ah, karena  tidak ada tuntunannya / dalilnya dari Rosulullah SAW.

Berikut ada pembahasan yang cukup detil, tentang mengapa ada “golongan tertentu” yang anti Madzhab. 

Yang paling utama adalah, semoga kita tidak secara mudah mengatakan “bid’ah” kepada pihak yang memiliki pemahaman “berbeda” dengan kita, selama mereka memiliki dalil-dalil yang shohih dan bisa dipertanggungjawabkan. 

Mohon maaf bila tidak sepaham, Semoga  bermanfaat.

Dalil – dalil Kaum anti Madzhab

Penulis : Ust Tabligh.

Ada orang yang mengemukakan dalil-dalil untuk mengharamkan taqlid, tapi dalil-dalil yang dikemukakannya itu kebanyakan dari ucapan-ucapan Imam Mujtahid itu sendiri, bukan perkataan Allah dan Rasul. Orang-orang inilah yang dinamakan kaum ANTI MADZHAB. Tidak dimengerti sikap yang macam ini dari orang-orang yang anti Madzhab. Ia tidak mengetahui bahwa dengan sendirinya dalam praktek ia telah langsung bertaqlid kepada Imam-imam Mujtahid, yaitu dengan mengemukakan ucapan Imam-imam ini untuk menjadi dalil-dalil menguatkan fatwanya.

Kesatu

Dikatakannya ucapan Imam Hanafi, begini :

قَالَ الْإِمَامُ أَبُوْحَنَفِيَّةَ : إِنْ كَانَ قَوْلِى يُخَلِفُ كِتَابَ اللهِ وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ فَتْرُكُوْاقَوْلِى

Artinya : " Berkata Imam Abu Hanifah : Kalau ada perkataan saya bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya itu".

Kedua

Dikemukakannya ucapan Imam Malik :

قَالَ الْإِمَامُ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللهِ: إِنَّمَااَنَابَشَرٌأُخْطِىءُوَأُصِيْبُ فَانْظُرُوْافِى رَأْيِى, :كُلَّ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْابِهِ وَمَالَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ

Artinya : "Berkata Imam Malik : Saya  adalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Perhatikanlah pendapat-pendapna saya. Sekalian yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, peganglah. Dan apa yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, tinggalkanlah".

Demikianlah dengan bangga dikemukakan oleh orang-orang yang ANTI MADZHAB.
Ucapan-ucapan Imam Hanafi dan Imam Maliki ini tidak tepat kalau dikemukakan untuk larangan bertaklid. Arti ucapan Imam-imam ini biasa saja. Beliau-beliau itu menyatakan bahwa kalau ada pendapatnya yang berlawanan dengan Quran dan Hadits Nabi maka pendapatnya itu harus ditinggalkan. Kitabullah dan Sunnah Rasul itu harus dipegang teguh. Juga seluruh Imam yang berempat mengatakan perkataan yang maksudnya hampir serupa ini, yaitu : "Kalau ada ijtihad saya yang berlawanan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah ijtihad saya dan ambillah Kitabullah dan Sunnah Rasul".

Dalam hal ini kita bertanya, apakah ada ijtihad Imam-imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul? Jawabannya adalah
Tidak ada dan tidak mungkin ada, karena :

1. Imam-imam Mujtahid itu tidak akan berijtihad, tidak akan mengeluarkan pendapatnya kalau dalam satu masalah yang dihadapinya itu ada nash dari Quran dan Sunnah Rasul. Mereka baru berijtihad kalau tidak ada nash yang rerang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Ijtihad itu datang sesudah tidak ada nash dari Quran dan hadits.

Mereka sepakat menentukan ukuran :
لاَاجْتِهَادَفِى النَّاصِّ

Artinya : "Tidak ada ijtihad kalau ada nash (yang sudah terang)."

Tiap-tiap ijtihad Imam Mujtahid bersumber kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Itulah sebabnya maka ijtihad itu dibenarkan dalam agama dan bahkan dianjurkan dan diberi pahala, walaupun ijtihad itu pada hakikatnya tidak tepat. Di dalam ukuran atau norma ijtihad pada Madzhab Syafi’i dijelaskan bahwa ijtihad itu mesti bersumber kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak boleh bersumber kepada akal, karena agama itu tidak dibina oleh akal, tetapi oleh Allah Yang Maha Menciptakan dan Maha Menetapkan Ketentuan bagi seluruh makhluknya.

Imam-imam Mujtahid yang berempat ini terkenal orang-orang yang tha'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh umurnya digunakan untuk mentha'ati Allah dan Rasul. Apakah masuk akal kalau mereka mendurhakai Allah dan Rasul? Tidak masuk akal dan tak mungkin! Kalau ada orang yang menuduh bahwa Imam-imam Mujtahid membuat hukum Agama dengan melawan Allah dan Rasul, maka tuduhan itu adalah tuduhan yang keji, fitnah yang dibuat-buat. Di samping itu ada kemungkinan lain. Imam-imam Mujtahid ini dengan ucapan-ucapan beliau tersebug menyuruh orang bertaqlid atau mengikut kepada mereka bukan melarang. Beliau-beliau yakin bahwa ijtihadnya tidak satupun yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Beliau-beliau menentang: “Cobalah periksa ijtihad saya ini, adakah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, kalau ada jangan dipakai, tapi kalau tidak ada pertentangan, pakailah dan pegang teguhlah”.
Ketiga

Ada dalil ketiga yang dimajukan kaum ANTI MADZHAB :

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ, لاَتُقَلِّدْنِى وَلاَتُقَلِّدْمَلِكًاوَلاَالثَّوْرِيَّ وَلاَالْأَوْزَاعِيَّ وَخُذُوْامِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا

Artinya : Berkata lmam Ahmad bin Hanbal, "Jangan taqlid kepada saya, juga jangan kepada Imam Maliki, juga jangan kepada kepada lmam As Tsauri, juga jangan kepada Auza'i. Ambillah dari tempat mereka mengambil".

Inilah dalil yang kuat, kata orang ANTI MADZHAB.

Kalau benar Imam Hanbali mengatakan ini maka tujuan perkataan ini pasti ditujukan kepada orang-orang yang sudah sampai tingkatnya ke tingkat Imam Mujtahid, bukan kepada orang banyak. Buktinya, Imam Hanbali menyuruh mengambil hukum dari Al Quran dan Hadits sebagaimana dikerjakan oleh Imam-imam Mujtahid. Hal ini tidak mungkin dapat dikerjakan oleh orang banyak karena mereka itu banyak sekali yang tidak tahu arti Quran dan Hadits. Kalau kepada orang yang sudah dalam dan luas ilmunya memang ucapan Imam Hanbali ini logis, masuk akal. Tetapi kepada orang umum tidak logis.

Imam Ahmad bin Hanbal sendiri telah mempraktekkan ucapan beliau ini karena pada mulanya beliau adalah murid Imam Syafi'i rahimahullah, tetapi kemudian setelah beliau mempelajari ilmu tafsir, ilmu hadits dan lain-lain, sudah menghafal ratusan ribu hadits, maka beliau berijtihad sendiri,lepas dari fatwa Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah, yangtelah dipelajarinya lebih dahulu.

Keempat

Dikemukakan oleh kaum ANTI MADZHAB untuk memperkokoh fahamnya yaitu ucapan Imam Syafi'i rahimahullah yang terkenal berbunyi begini :

قَالَ الْإِمَامُ الشَّفِعِيُّ, إِذَاصَحَّ الْحَدِيْثِ فَهُوَ مَذْهَبِى

Artinya : (Menurut mereka) Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Apabila hadits itu shahih maka itulah madzhabku.”

Selanjutnya mereka memberi keterangan dan komentar lagi, "Nah, lihatlah, Imam Syafi'i sendiri mengatakan bahwa hadits-hadits yang sahih itu adalah Madzhab beliau, bahwa itulah pada hakikatnya madzhab beliau. Bukanlah yang tersebut dalam kitab Minhaj karangan Imam Nawawi, bukan yang tersebut dalam Nihayah karangan Ramli". Obrolan ini dilanjutkan terus : "Orang-orang sekarang fanatik kepada kitab-kitab Syafi’i dan Syafi’iyah, mereka meninggalkan hadits, padahal "induk semangnya" Imam Syafi'i sendiri mengatakan bahwa sekalian hadits yang sahih adalah madzhabnya." Oleh karena itu, kata mereka seterusnya : "Janganlah pakai kitab-kitab fiqih yang tidak berdalil, pakailah kitab-kitab hadits seperti hadits Bukhari, hadits Muslim dan lain-lain kitab hadits, karena hadits-hadits yang sahih itulah pada hakikatnya yang madzhab Syafi’i".

Sampai-sampai ada di antara mereka, yang mengarang buku dengan judul "FIKIH SYAFI'IYAH", yang pada permulaan halaman dari buku itu ditonjolkan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah tersebut, yaitu : "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi". (Apabila hadits itu sahih maka itulah Madzhab saya). Kalau diteliti buku itu ternyata banyak di dalamnya berisi bukan fiqih Syafi’i, nama bukunya adalah FIQIH SYAFI'IYAH. Tidak sesuai nama dengan isi!

Kembali kita pada pokok pembicaraan, yaitu tentang perkataan Imam Syafi’i rahimahullah "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi". Marilah kita teliti persoalan ini :

1. Arti yang dikemukakan oleh kaum ANTI MADZHAB dari ucapan Imam Syafi'i ini adalah tidak benar, karena Imam Syafi’i rahimahullah tidak pernah berpendapat bahwa sekalian hadits yang sahih adalah madzhab beliau, karena hadits adalah perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Quran dan Hadits adalah sumber hukum. Bagaimana Imam Syafi'i rahimahullah akan berpendapat bahwa hadits-hadits sahih adalah madzhab beliau, karena yang dikatakan madzhab adalah fatwa fiqih yang digali dari hadits-hadits sahih bukan hadits-hadits iru sendiri.

2. Orang-orang ANTI MADZHAB memberikan arti perkataan Imam Syafi’i ini, bahwa sekalian fatwa yang digali dari hadits yang sahih adalah Madzhab Imam Syafi'i. Bukan hanya fatwa-fatwa yang termaktub dalam kitab-kitab Umm, kitab Minhaj, kitab Taufah, kitab Nihayah saja. Demikian keterangan mereka. Keterangan ini juga tidak benar karena sekalian orang tahu bahwa fatwa Imam-imam yang lain seperti Imam Maliki, Imam Abu Hanifah berdasarkan hadits-hadits yang sahih juga. Apakah semua fatwa-fatwa iman Maliki dan Imam Hanafi itu Madzhab Syafi’i ?

Kalau begitu artinya, maka madzhab-madzhab ini tidak berbatas lagi. Madzhab Maliki menjadi Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi meniadi Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanbali menjadi Madzhab Syafi’i, dan bahkan sekalian madzhab yang ada di atas dunia yang berdasarkan hadits yang sahih, adalah Madzhab Syafi’i. Kacau balau jadinya, bukan? Dapatkah difahami, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengucapkan suatu perkataan yangmengacaukan seluruh persoalan? Tidak mungkin, bukan?

3. Kaum ANTI MADZHAB menerangkan dengan bersemangat di atas mimbar, bahwa Imam Syafi'i rahimahullah sendiri melarang bertaqlid kepada beliau. Imam Syafi'i rahimahullah hanya menyuruh orang mengikuti Quran dan Hadits. Beliau mengatakan: "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi". Ini juga pidato yang keliru, pidato yang ditimbulkan oleh emosi yang meluap-luap yang tidak terkendalikan. Dalam perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini, tidak sedikitpun yang melarang orang bertaklid kepada beliau dan dalam ucapan ini tidak ada beliau mengatakan: Ikutlah Quran dan Hadits saja". Dari mana kaum ANTI MADZHAB mengambil pengertian yang demikian iru? Isapan jempol belaka ! Marilah kita ikuti penjelasan Imam Nawawi (wafat 676 H.) dalam persoalan ini.

Berkata Imam Nawawi, seorang ulama Syafi'i terbesar, dalam kitab Syarah Muhadzab pada juz I halaman 64, bunyinya begini :

وَهَذَاالَّذِى قَالَهُ الشَّفِعِيُّ : لَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّ كُلَّ أَحَدٍ رَأَى حَدِيْثًاصَحِيْحًا, قَالَ هَذَاوَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ
Artinya : "Dan apa yang dikatakan oleh Imam Syafi'i ini bukanlah artinya bahwa kalau seseorang melihat Hadits yang sahih lantas ia berkata: "lnilah Madzhab Syafi’i". Sesudah itu langsung ia amalkan saja menurut penglihatannya secara yang dilihatnya saja". Demikian lmam Nawawi.

Harus diketahui, bahwa Imam Syafi'i pernah meninggalkan hadits yang sahih karena beliau berpendapat bahwa hadits itu, walaupun sahih tetapi sudah dinasekhkan, sudah tidak dipakai lagi. Hadits itu adalah :

أَفْطَرَالْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
Artinya: "Batal puasa yang membekam dan yang dibekam" (Hadits sahih riwayat Abu Daud, Nasai dan lbnu Majah).

Hadits ini hadits sahih, tetapi tidak dipakai oleh Imam Syafi'I rahimahullah karena hadits ini sudah dinasekhkan dengan hadits lain, yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِحْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ

Artinya : Berkata lbnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : " Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam pada ketika beliau sedang ihram dan sedang puasa".

Jadi tidaklah semua hadits sahih, menjadi dasar dari Madzhab Syafi'i. Arti yang sebenarnya dari ucapan Imam Syafi'i rahimahullah ini, ialah pada suatu ketika seorang sahabat/murid Imam Syafi’i rahimahullah bertanya kepada beliau, manakah yang dipakai antara kata Qadim dan kata Jadid kalau terjadi perbedaan antara dua kata itu ? Imam Syafi’i menjawab :"Kata Jadid, karena kata Jadid sudah menghapus kata Qadim". 'Ya, tetapi alasan kata Qadim itu adalah hadits yang sahih", kata sahabat beliau. "O, kalau begitu" kata Imam Syafi’i, apabila sahih hadits itu, maka inilah madzhab saya" .
Norma dan keterangan ini dipakai oleh sahabat-sahabat Syafi’i rahimahullah seperti Buwaithi, Imam Nawawi dan lain-lain, di mana kalau ada kedapatan dua fatwa dari Imam Syafi'i rahimahullah dalam satu masalah maka ditinjaulah haditsnya, ditinjaulah alasannya. Mana yang sahih atau lebih sahih haditsnya itulah yang ditetapkan menjadi madzhab Imam Syafi’i rahimahullah. Jadi, maksud ucapan ini adalah sebagai alat koreksi bagi murid-muridnya untuk mentarjihkan salah satu dari dua perkataan Imam Syafi’i yang berbeda.

Ada kira-kira 20 masalah yang dipakai kata Qadim,karena dalilnya hadits yang sahih dibanding dengan kata Jadid. Di antara masalah-masalah itu, adalah :

1,. Sunnah tatswib dalam adzan subuh.
2. Tidak syarat menjauhkan diri dari najis yang terapung dalam air yang banyak.
3. Harta perniagaan dizakatkan.
4. Membaca surat pada dua raka'at terakhir tidak sunnat.
5. Boleh membersihkan dengan batu walaupun yang di luar lingkaran pelepasan.
6. Menyentuh wanita yang tidak boleh dikawini tidak membatalkan wudhu'.
7. Air yang mengalir kalau berjumpa dengan najis, tidak menjadi najis, kecuali kalau berobah warnanya.
8. Menyegerakan shalat Isya lebih baik, walaupun waktunya panjang.
9. Waktu maghrib sampai kepada hilang syafak.
10. Seseorang yang sedang shalat boleh menggabungkan dirinya kepada Imam.
11,. Haram makan kulit bangkai walaupun sudah disamak.
12. Mengeraskan amin makmun dalam shalat menjahar.
13. Makruh memotong kuku mayat.
14. Boleh tahalul dari ihram haji kalau sakit.
15. Nisab zakat diperhitungkan.
16. Wali mayat membayar puasa mayat yang tertinggal.
17. Menggaris di muka tempat shalat kalau di muka tidak ada terletak sesuatu barang.
18. Dan lain-lain.

Inilah masalah-masalah yang dipakai "Qaul Qadim", karena hadits-hadits yang menjadi dasar dari fatwa ini lebih sahih dibanding dengan hadits-hadits yang menjadi dalil kata "jadid" Itulah maksud dari ucapan beliau itu.

Tidak ada seorang juga di antara Ulama-ulama Syafi'iyah semenjak dahulu sampai sekarang yang berpendapat bahwa sekalian hadits yang sahih adalah Madzhab Syafi’i. Yang ditetapkan menjadi Madzhab Syafi’i hanyalah yang difatwakan beliau atau difatwakan oleh murid beliau dengan memperhatikan norma-norma dan ukuran-ukuran yang diberikan oleh Imam Syafi'i . Lain dari itu tidak. Selain dari itu dalam Kitab al Majmu', diterangkan juga oleh Imam Nawawi, begini:


 عَنِ الْإِمَامِ الشَّفِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ قَالَ : إِذَاوَجَدْتُمْ فِى كِتَابِى خِلاَفَ سُنَّةَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَوْلُوْاسُنَّةِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوْاقَوْلِى. وَرُوِيَ عَنْهُ إِذَاصَحَّ الْحِدِيْثُ خِلاَفَ قَوْلِى فَاعْمَلُوْابِالْحَدِيْثِ وَاتْرُكُوْاقَوْلِى أَوْ قَالَ فَهُوَ مَذْهَبِى

Artinya : "Dari Imam Syafi’i rahimahullah, beliau berkata : Apabila kamu berjumpa dalam kitabku yang berlawanan dengan Sunnah Rasul maka tinggalkanlah kitabku itu, dan berfatwalah apa yang sesuai dengan Sunnah Rasul. Dan pula diriwayatkan dari Imam Syafi’i juga, beliau berkata : Apabila ada hadits yang sahih yang maksudnya bertentangan dengan fatwaku maka beramallah engkau dengan dasar hadits itu dan tinggalkanlah perkataanku, atau satu kali beliau berkata: "itulah madzhabku" (Al Majmu' Syarah aI Muhadzab juz l, halaman 63).

Dari keterangan yang diberikan Imam Nawawi ini makin jelas apa yang dimaksudkan dengan perkataan "ldza Shahhal Hadits fahuwa madzhabi" tadi, yaitu bahwa Imam-imam Mujtahid meminta kepada umum, atau katakanlah menantang kepada orang banyak, supaya memperhatikan sedalam-dalamnya madzhab beliau, bahwa kalau kebenaran terdapat ada diantara fatwa mereka yang bertentangan dengan hadits yang sahih maka tinggalkanlah fatwa mereka dan berpendapatlah dengan apa yang sesuai dengan hadits-hadits yang sahih.

Dapat diambil kesimpulan bahwa ucapan Imam Syafi’i rahimahullah : "Idza Shahhal Hadits fahuwa Madzhabi,, bukanlah maksudnya untuk melarang ummat Islam mengikut atau bertaqlid kepada beliau, sebagai yang digembat-gemborkan oleh kaum Anti Madzhab dimana-mana.

Kelima

Dalil ke 5 yang dikemukakan oleh orang Anti Madzhab adalah ucapan Imam Syafi’i rahimahullah juga. Imam Syafi’i pernah berkata begini, kata mereka:

قَالَ الْإِمَامُ الشَّفِعِيُّ  مَثَلُ الَّذِى يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبٍ لَيْلٍ يَحْمِلُ حُزْمَةً وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَيَدْرُهُ

Artinya : "Berkata lmam Syafi’i : perumpamaan orang yang mencari ilmu pengetahuan tanpa mempunyai hujjah (maksudnya ilmu tanpa dalil), sama dengan orang mencari kayu di malam hari. Ia pikul kayunya itu, kadang-kadang ia tidak tahu bahwa di dalamnya ada ular yang akan mematuknya". Inilah dalilnya, kata mereka.

Ucapan Imam Syafi’i rahimahullah yang ini, juga tidak tepat kalau dipakai menjadi dalil untuk melarang bertaqlid atau mengikuti Imam Mujtahid, karena Imam Syafi'i rahimahullah hanya mengatakan dalam ucapan ini bahwa orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan dalil-dalil dari ilmu pengetahuan itu adalah berbahaya, sama dengan orang yang memikul kayu di malam hari, yang kadang-kadang bisa terpikul ular di dalamnya. Memang, memang begitu, banyak bahayanya".

Ini adalah perhitungan Imam Syafi'i rahimahullah dalam rangka menganjurkan orang menuntut ilmu Hadits dan Quran. Bukanlah beliau melarang orang mengikut kepadanya. Ya, mungkin seluruh Imam-imam berkata seperti ini tetapi ucapan-ucapan yang seperti ini adalah dalam rangka mencegah supaya orang jangan mencukupkan saja bertaqlid kepada beliau masing-masing, tapi harus mencari ilmu banyak-banyak, harus menjalani pula hendaknya bagaimana jalan yang mereka lalui. Bukanlah beliau-beliau itu melarang orang mengikuti madzhabnya.

Kalau Imam-imam ini melarang orang mengikuti madzhabnya, apakah gunanya beliau-beliau ini berijtihad, apa gunanya beliau-beliau itu mengarang buku, apa gunanya beliau-beliau itu mengaiar dan apakah gunanya beliau-beliau itu bersusah payah ? Kalau maksudnya ucapan-ucapan Imam tadi melarang bertaqlid kepadanya, kenapa murid-murid beliau bertekun mengembangkan ilmu dan fatwa guru-gurunya, seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan murid-murid Imam Abu Hanifah dan murid-murid Imam Syafi'i rahimahullah seperti Imam ar Rabi' bin Sulaiman al Muradi, Imam Abu Ya'kub al Buwaithi dan kenapakah ada murid-murid Imam Syafi'i rahimahullah ulama-ulama besar seperti Imam al Ghazali, Imam Suyuthi, Imam Nawawi, Imam lbnu Hajar, Imam Ramli, dan semuanya alim-alim besar, tetap bertaklid kepada Imam Syafi’i rahimahullah. Ah! Tidak benar keterangan orang yang anti madzhab ini!!

Anehnya, sebagai yang kami katakan di atas, kaum anti madzhab ini mengemukakan dalil dari ucapan-ucapan lmam Mujtahid, bukan dari perkataan Allah dan Rasul. Mereka melarang orang bertaqlid, tetapi dalam prakteknya mereka juga mengerjakan taqlid itu. Bahkan ada yang lebih berani dari itu yang memajukan dan mengemukakan dalil-dalil Al Quran untuk melarang orang bertaqlid kepada Imam.

Keenam

Allah berfirman, kata mereka :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Artinya : " Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (QS Al Maidah : 104).

Dan pada surat yang lain ada pula ayat yang seperti ini maksudnya yaitu dalam Surat Al Baqarah ayat 170, bunyinya begini :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Artinya : " Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS AI Baqarah : 170)

Dan dikemukakan pula dalil ayat suci, begini:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَـٰهًا وَاحِدًا ۖ لَّا إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Artinya : " Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At Taubah : 31).

Dalam mengartikan ayat ini dikemukakan bahwa pendeta-pendeta itu bukan disembah seperti tuhan, tetapi dituruti saja perkataan yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Itu berarti sudah menjadikannya menjadi Tuhan. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa kaum ANTI MADZHAB yang mengemukakan dalil-dalil ayat Quran ini untuk melarang taqlid kepada Imam, menganggap bahwa 1. Mengikut Imam Mujtahid iru sama dengan orang kafir yang mengikut bapaknya yang bodoh-bodoh dalam menyembah berhala.

2. Imam Mujtahid itu orang bodoh-bodoh yang tidak dapat petunjuk sedikit pun dari Tuhan.

3. Imam Mujtahid itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

4. Pengikut Imam Mujtahid adalah orang-orang yang menjadikan gurunya menjadi Tuhan.

La hawla wala quwwata illa billah! Ini betul-betul terlalu !

Ayat dalam Surat Al Maidah 104 dan Surat Al Baqarah 107 itu adalah ayat-ayat yang diturunkan untuk menyatakan hal ihwal orang kafir yang ikut-ikutan saja kepada bapak mereka dalam menyembah berhala. Ini diterangkan oleh Allah dalam surat AtTaubah 31, di mana dinyatakan bahwa mereka mengambil pendeta-pendetanya dan padri-padrinya dan Isa bin Maryam menjadi Tuhan selain Allah. Ayat ini tidak tepat dipakai untuk orang Islam yang mengikut Imam Mujtahid, karena :

1. Imam Mujtahid bukan mendakwakan dirinya Tuhan.

2. Imam-imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula orang-orang yang tidak menurut jalan kebenaran.

3. Imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang tidak berakal dengan tidak dapat menimbang buruk dan baik.

4. Pengikut Imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang menyembah guru atau menyembah Imam, tetapi hanya menghormati Imam dan mengikutinya.

Jadi tegasnya ayat-ayat ini tidaklah boleh dan tidak tepat dipakai untuk dijadikan dalil melarang ummat Islam mengikut Madzhab-madzhab

Ketujuh

Ada lagi orang yang mengemukakan dalil untuk melarang taqlid/mengikut Imam, yaitu ayat Al-Quran Surat Isra, ayat 36, begini :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Artinya : (Menurut pengertian orang-orangyang Anti Madzhab) : "Dan janganlah kamu menuruti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.". (QS AI Isra' : 36)
.
Inilah dalil mereka, di mana mereka mentafsirkan ayat ini semaunya saja. Kalau kita buka Tafsir yang mu’tabar (yang kenamaan), umpamanya Tafsir Ibnu Katsir, kita akan jumpai dalam halaman 38 juz 3 begini artinya ayat ini :

1. Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mentafsirkan : ”Jangan engkau katakan apa yang engkau tidak tahu”.

2. Berkata Al 'Ufi : "Jangan engkau tuduh seseorang dengan apa yang engkau tidak tahu".

3. Berkata Muhammad Ibnu Hanafiah: ”Jangan engkau menjadi saksi palsu karena pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan ditanya"

4. Berkata Qutadah : "Jangan engkau katakan saya melihat tetapi engkau tak melihat, saya dengar sedang engkau tidak mendengar, saya tahu sedang engkau tidak mengetahui, karena pendengaran, penglihatan dan hati akan ditanya di akhirat nanti".
Demikianlah tafsiran ahli-ahli tafsir dalam ayat ini, tidak seorangpun diantara mereka yang menafsirkan, " Janganlah kamu menuruti apa yang engkau tidak tahu", sebagaimana tafsiran orang-orang Anti Madzhab. Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa ayat ini bukanlah untuk melarang mengikuti Imam, tetapi untuk melarang menjadi saksi palsu, menyaksikan sesuatu yang tidak diketahui.

Kedelapan

Banyak dalil yang dikemukakan oleh kaum ANTI MADZHAB adalah omongan belaka.
- Mereka mengomongkan bahwa orang yang taqlid atau kaum yang taqlid itu akan jadi mundur, mati semangat, jumud, beku, tak berkemajuan, dipermainkan orang saja, dijajah saja, sudah mati sebelum mati dan lain-lain omongan yang sifatnya penghinaan kepada orang-orang bermadzhab. Kita banyak membaca omongan ini dalam karangan buku-buku mereka, dan mendengar dalam pidato-pidato dan tabligh-tabligh mereka. Omongan ini benar-benar menyinggung dan menusuk perasaan serta menghina terhadap orang-orang yang bermadzhab. Biasanya omongan ini keluar dari orang-orang pemuja dan pemuji lbnu Taimiyah, pengikut lbnul Qayyim al Jauziah, pemuja Muhammad Abduh dan Rasyid Redha, orang yang fanatik kepada Majalah Al Manar dan AI Munir dan bahkan memuja Manfaluthi dan mengikut Madzhab Wahabi. Heran dan ta'jublah kita melihat pendirian orang-orang ini.

Mereka melarang mengikut Imam syafi'i rahimahullah tetapi mereka taqlid buta kepada lbnuTaimiyah. Mereka tidak suka kepada Ibnu Hajar  al-Haitami tetapi mereka taqlid kepada Muhammad as Syaukani. Mereka melarang orang lain mempelajari Taufah dan Hinayah, sedang mereka membaca siang malam AI Manar dan AI Munir. Mereka melarang orang taqlid kepada Imam-imam kaum Muslimin, tetapi mereka taqlid kepada Danton dan plato. Mereka melarang orang€menganut faham Syafi’i, tapi mereka menganjurkan orang untuk menganut faham Marx. La haula wala quwwata illa billah !

Kenyataannya dilihat dari dahulu sampai sekarang, omongan-omongan mereka yang tersebut di atas tidak terbukti sama sekali. Lihatlah Imam Bukhari yang taqlid kepada Imam Syafi’i rahimahullah, apakah beliau itu beku atau jumud? Tidak. Lihatlah Imam Ghazali yang taqlid kepada Imam Syafi’i, apakah beliau itu termasuk orang bodoh? Tidak. Lihadah Sulthan Salahuddin al Ayyubi, apakah ia dijajah dan dipermainkan saja ? Lihatlah pangeran Diponegoro yang taqlid kepada Imam Syafi’i rahimahullah apakah beliau seorang yang mundur? Apakah Syarif Hidayatullah pembangun Kerajaan Banten dan pembebas Sunda Kelapa termasuk otang-orang yang tidak berkemajuan karena beliau menganut madzhab Syafi'i? Tidak.

Adalah satu fakta bahwa di antara 15 orang Menteri Agama Republik Indonesia sedari Proklamasi sampai sekarang, hanyalah 2 orang yang diragukan Madzhab Syafi'inya. Yang lainnya terang-terangan adalah penganut Madzhab Syafi’i rahimahullah. Apakah beliau-beliau itu orang-orang jumud, orang-orang beku, orang-orang yang tidak berkemajuan sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang ANTI MADZHAB? Salah seorang Menteri Agama menyatakan terus terang dalam rapat pleno Kongres PERTI ke X bulan Pebruari 1965 bahwa beliau adalah penganut Madzhab Syafi'i rahimahullah. Ini adalah kenyataan, bukan omongan doing. Dalam hal ini kita dapat memberikan kesimpulan bahwa semua dalil yang dipergunakan oleh kaum ANTI MADZHAB ini meleset tidak tepat untuk dipakai "larangan" bertaqlid atau untuk dipukulkan kepada orang-orang yang bermadzhab.

Untuk menutup bahagian ini rasanya ada baiknya juga kalau kami kemukakan, bahwa ada juga segolongan kecil diantara orang-orang yang ANTI MADZHAB ini, membedakan antara taqlid (mengikut) dan ittiba' (mengikut). Mereka berkata, bahwa arti taqlid adalah mengikut orang lain tanpa diketahui dalil-dalilnya (ini terlarang) dan ittiba' mengikut orang lain dengan mengetahui dalil-dalilnya (ini boleh). Kalau begitu perlu kita bertanya :

1. Dari mana diambilnya arti taqlid dan ittiba'yang begitu ?
2. Apakah ada Allah dan Rasul mengatakan begitu ?
3. Apakah kedua-duanya tidak sama-sama berarti mengikut atau taqlid kepada Mujtahid ? Kalau sama, kenapa dibeda-bedakan hukumnya ?

Dilihat dalam kamus, “tabi’a” artinya adalah ..mengikut/berjalan di belakang. Lihat Munjid halaman 56 - Al Mu’tamad halaman 58 -Qamus al Munjib juz 3 halaman g, Adz Dzahabi halaman 46). Tidak ada sebuah Kamus pun yang mengatakan arti “ittiba”, itu “mengikut orang lain dengan mengetahui dalilnya”. Dan perkataan ittiba' di dalam Al-Quran dipakai untuk segala macam, ada yang dipakai untuk hal yang baik, ada untuk hal yang buruk.

Untuk hal yang baik :

a. Ikutlah Agama Ibrahim (QS an Nisa' : 125).
b. Ikutlah apa yang diwahyukan kepadamu ......... (QS al Ahzab : 2).
c. Ikutlah saya, Tuhan akan mengasihimu (QS Ali Imran : 31).
d. Ikutlah jalan orang yang kembali kepada-Ku... (QS Luqman : 15).
e. Dan banyak lagi yang lain.
Untuk hal yang buruk :
a. Maka mengikut akan dia Syeitan .. (QS al A’raf : 174).
b. Maka mengikut akan mereka Fir’aun (QS Thaha : 78).
c. Jangan diikuti jalan orang berbuat binasa ....... (QS al A’raf : 142).
d. Jangan diikuti hawa nafsu………….(QS Shad : 26)
c. Dan banyak lagi yang lain.

Kesimpulannya, kalau kita lihat dan perhatikan kitab Kamus atau kita lihat dalam Al-Quran, tidak  dijumpai arti ittiba’ adalah mengikut orang dengan mengetahui dalilnya, sebagaimana yang dibuat-buat oleh orang yang ANTI MADZHAB.

Wallahua’alam bishowab.