Rabu, 23 Mei 2012

Bolehkan Kita Menasihati Pemimpin / Penguasa

Oleh : Farid Nu'man Hasan.

Mukadimah
           Pada masa belakangan, khususnya era reformasi, arus kebebasan di negeri ini begitu terbuka bahkan melebihi batas yang tak terduga dan cenderung mengerikan. Termasuk dalam hal hubungan antara rakyat (people) dan Negara (State). Dahulu adalah hal yang tabu bahkan menakutkan jika ada yang memberikan kritik dan nasihat kepada penguasa, sedangkan saat ini sudah tidak demikian. Ada yang memanfaatkan momen kebebasan ini sesuai tuntunan syariah, ada pula yang kebablasan membabi buta. Sedangkan sikap yang benar adalah sikap pertengahan sebagaimana yang ditekankan oleh Islam.
           “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasathan (pertengahan) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”  (QS. Al Baqarah (2): 143)
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sebaik-baiknya perbuatan (‘amal) adalah yang pertengahan.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, 8/411/3730. As Sam’ani meriwayatkan dalam Dzail Tarikh Baghdad secara marfu’ dari Ali, tetapi dalam sanadnya terdapat periwayat yang majhul. Ad Dailami juga meriwayatkan tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu’. Lihat Imam ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/391 dan Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 112. Imam  As Suyuthi menyandarkan ucapan ini adalah ucapan Mutharrif bin Abdillah dan Abu Qilabah, yakni sebaik-baiknya urusan (Al Umur) adalah yang pertengahan. Lihat Ad Durul Mantsur, 6/333.)
           Kita menyaksikan, ada manusia yang mengkritik dan menasihati penguasa secara terang-terangan dalam hal yang seharusnya disembunyikan, yakni kehidupan pribadi dan kesalahan yang sifatnya pribadi yang tidak membawa dampak buruk kecuali untuk diri penguasa itu sendiri. Sehingga terbukalah aibnya, tersingkaplah kejelekan pribadinya.
           Kita juga menyaksikan, ada manusia yang banci dan sama sekali tidak melakukan apa-apa terhadap kekeliruan penguasa, walaupun kekeliruan itu membawa mudharat dan penderitaan bagi rakyatnya, dengan alasan menasihati penguasa harus diam-diam, tidak boleh terbuka. Bahkan mereka menuduh bahwa yang melakukan nasihat dengan terbuka adalah kaum khawarij. Akhirnya, fakta keadaan mereka  pun sekedar teori belaka, mereka tidak melakukan apa-apa.
Kedua sikap ini tidaklah benar dan sama-sama berlebihan. Tidak memperhatikan masalah secara utuh dan menyeluruh. Hanya berpatokan pada sebagian dalil namun melupakan dalil lainnya.
Dua Jenis Kesalahan
           Secara umum, manusia –termasuk para pemimpin- akan melakukan dua jenis kesalahan, sebagai berikut:
  1. Kesalahan Yang Membawa Dampak Bagi Pribadi Saja
Ini adalah aib pribadi yang tidak boleh disebarkan ke khalayak ramai. Setiap orang memiliki aib peribadi, baik perbuatannya atau berupa cacat tubuh.  Semua ini sama sekali tidak merugikan orang lain selain dirinya. Maka, tidak dibenarkan menasihatinya secara terang-terangan, sebab sama saja hal itu menelanjangi kehormatan sesama muslim.  Justru, jika mengetahui kesalahan yang sifatnya pribadi tersebut, kita dianjurkan untuk menutupinya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan menutupi kesalahannya di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah, No. 2545. Ahmad, No.16346 dari Maslamah bin Makhlad. Imam Al Haitsami mengatakan: “rijal hadits ini adalah rijal hadits shahih.” Majma’ Az Zawaid, 6/246)
  1. Kesalahan Yang Membawa Dampak Pada Orang Banyak
Kesalahan jenis ini, baik dalam urusan dunia atau agama, maka dibolehkan dalam syariat untuk ditegur secara terang-terangan. Baik yang dilakukan oleh orang biasa atau pemimpin. Sebab, jika dinasihati secara diam-diam, padahal dia berbuat kekeliruan secara terangan-terangan dan membawa dampak secara massal, maka dikhawatiri tobatnya itu tidak diketahui dan diikuti  orang lain yang mengalami dampak dari kekeliruannya.  Menasihatinya secara terabg-terangan  bukan termasuk kategori ghibah yang diharamkan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah dalam kitab Riyadh Ash Shalihin.
 Keterangan Imam An Nawawi tentang ghibah yang ditoleransi, akan  saya  ringkas sebagai berikut:
1. Mengadukan kepada hakim, tentang kejahatan  orang yang menganiaya.
2. Minta tolong supaya menasehati orang yang berbuat mungkar kepada orang yang dianggap sanggup menasehatinya.
3. Karena minta fatwa: fulan menganiaya saya, bagaimana cara menghindarinya?
4. Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.
5. Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.
6. Untuk memperkenalkan orang dengan gelar yang sandangnya, seperti Al A’masy (buram matanya), Al A’raj (Si Pincang), Al A’ma (Si Buta), Al ‘Asham (Si Tuli), Al Ahwal (si Juling), semua ini adalah gelar yang pernah disandang oleh sebagian ulama hadits. (Imam An Nawawi, Riyadhush Shalihin,  Hal. 366-367. Maktabatul Iman. Al Manshurah)

Pemimpin juga Mesti Dinasihati

           Tidak ada yang tidak membutuhkan nasihat, tidak terkecuali bagi para pemimpin. Dari Tamim Ad Dari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
           “Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, Imam kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan.” (HR. Muslim, No. 55.  Abu Daud, No. 4944)

           Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari makna ‘nasihat untuk imam kaum muslimin’:

وَأَمَّا النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ، وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج عَلَيْهِمْ ، وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ  

           “Ada pun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan menolong  dan mentaati mereka di atas kebenaran,  memerintahkan mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut, memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan hati manusia dengan mentaati mereka.” (Syarh Shahih Muslim, 1/144/82. Mauqi’ Ruh Al Islam)
           Bahkan menasihati pemimpin yang zalim termasuk jihad yang paling afdhal. Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

       “Dari Abu Said Al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa  atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu,  No.  4344. At Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …,   No.  2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar,  No.  4011. Ahmad,   No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq- perkataan yang benar. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih, No. 3705)
           Bahkan jika seseorang mati karena dibunuh penguasa zalim disebabkan amar ma’ruf nahi munkar, dia termasuk pemimpin para syuhada. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  bersabda,
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Al Hakim, Al  Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, Juz. 11, hal. 214, No hadits. 4872. Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya.  Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah,  No.  374)
Menasihati Pemimpin Secara Diam-Diam
Menasihati pemimpin secara diam-diam, memang dianjurkan oleh syariat. Namun, hal itu tidaklah menunjukkan larangan dengan cara terangan-terangan. Hal ini hanyalah masalah pilihan uslub (metode). Kedua cara ini pada kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki efektifitas dan keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan saling meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti prasangkaan sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati pempimpin secara diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat kepada pemimpin, dan haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar, dan bertentangan dengan Al Quran serta contoh  para nabi, salafush shalih, dan para ulama rabbani.
 Dari ‘Iyadh bin Ghanm Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah  menampakkannya terang-terangan, tetapi hendaknya dia meraih tangannya lalu dia menasihatinya berduaan. Jika dia menerima nasihatnya, maka bagimu akan mendapat ganjaran, jika dia tidak menerima, maka dia telah menunaikan apa-apa yang layak bagi sultan tersebut.” (HR. Ahmad, No. 14792. Lihat juga Al Musnad Al Jami’, 34/35)
Hadits ini sering dijadikan alasan oleh sebagian kaum muslimin agar jangan menasihati pemimpin secara terang-terangan bahkan mereka mengharamkan demonstrasi dengan alasan hadits ini pula.    Anjuran dalam hadits ini adalah agar kita menasihati pemimpin secara face to face atau empat mata.   Anjuran yang ada dalam hadits ini, tidaklah sama sekali menunjukkan pembatasan bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan hadits ini berbicara tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin. Tak ada korelasi apa pun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa terlarangnya menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabi’in, dan para imam kaum muslimin, pernah menasihati pemimpin secara terang-terangan sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.
Menasihati, Menegur, dan Mengkritik Pemimpin Secara Terang-Terangan
           Berikut ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.
Zaman Para Nabi ‘Alaihim Shalatu was Salam
Metode ini pun pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya adalah nasihat terbuka yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bahkan bukan hanya nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan menghancurkan berhala-berhala saat itu. Bahkan beliau berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al Quran:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2): 258)
Tentang ayat ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi adalah Namrudz.  Manusia keluar rumah serta menjejerkan makanan di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh Namrudz dan dia bertanya; “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkaulah!” hingga giliran Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah Tuhanmu?” Ibrahim menjawab: “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Namrudz menjawab: “Aku bisa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat.” Maka bungkamlah orang kafir itu.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Ayat ini, dengan gamblang menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat raja Namrudz secara terang-terangan di depan banyak manusia. Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat secara terang-terangan  di depan kaumnya adalah isyarat yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayatNya:
          “Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” (QS. Al An’am 96): 83)
 Juga yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam, mereka berdua menasehati Fir’aun di depan para pembesar istananya. Bahkan Nabi Musa mempermalukan Fir’aun di depan pasukannya sendiri di istana dengan mengalahkan para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Bahkan akhirnya ahli sihir Fir’aun bertobat dan beriman kepada Allah Ta’ala.  Semua ini terekam di dalam Al Quran, surat Thaha ayat 43-76.
Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Metode ini pun juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:
“ .... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
 Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut.  Jikalau wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.
Metode ini juga dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menashati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.
 Berikut ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.
Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
           Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:
 عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
           “Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
           Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!” Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.
           Tentang Imam Sa’id bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:
 كان أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن جبير

           “Yang paling tahu tentang Al Quran adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji adalah ‘Atha, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang paling tahu tentang thalaq adalah Sa’id bin Al Musayyib, dan yang mampu mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah Sa’id bin Jubeir.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
           Sementara Ali Al Madini berkata:
ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد.
           “Di antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang seperti Sa’id bin Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali Al Madini menjawab: “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)

Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu  terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi

           Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.

           Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi   berkata:

فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل

           “Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)

           Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak demikian.

Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam Fiqih dan hadits pada masa tabi’in.  Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata Abu Usamah:

كان عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان بعده الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه، ثم كان بعده يحيى بن آدم


           “Umar bin Al Khathab adalah pemimpin manusia pada zamannya, selanjutnya Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia pada zamannya, lalu Asy Sya’bi pada zamannya, kemudian Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu Yahya bin Adam pada masanya.” (Ibid, 4/302)

           Daud bin Abi Hindi berkata:

ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.
           “Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy Sya’bi.” (Ibid)

           Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:

ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي

           “Tidaklah aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di Kufah, Bashrah, Hijaz dan berbagai  penjuru, dibandingkan Asy Sya’bi.” (Ibid)

           Dan masih banyak sanjungan lainnya.

Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap Ibnu Hubairah

           Beliau dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang zalim.  Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.
           Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.
           Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)
           Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
           “Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
           Inilah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama.  Mereka seperti Al Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian.
           Lagi pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?
          Siapakah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu? Pada masanya dia dikenal orang yang sangat wara’, ahli fiqih, ahli tafsir mimpi, dan periang.
           Berikut ini parade pujian para ulama untuk Imam Ibnu Sirin Radhiallahu ‘Anhu. Sebagaimana yang dicatat oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar-nya:
قال ابن عون: كان محمد يأتي بالحديث على حروفه، وكان الحسن صاحب معنى.
عون بن عمارة: حدثنا هشام، حدثني أصدق من أدركت، محمد بن سيرين.
قال حبيب بن الشهيد: كنت عند عمرو بن دينار فقال: والله ما رأيت مثل طاووس، فقال أيوب السختياني وكان جالسا: والله لو رأى محمد بن سيرين لم يقله.
معاذ بن معاذ: سمعت ابن عون يقول: ما رأيت مثل محمد بن سيرين.
وعن خليف بن عقبة، قال: كان ابن سيرين نسيج وحده.
وقال حماد بن زيد، عن عثمان البتي، قال: لم يكن بالبصرة أحد أعلم بالقضاء من ابن سيرين  .
وعن شعيب بن الحبحاب، قال: كان الشعبي يقول لنا: عليكم بذلك الاصم يعني ابن سيرين .
وقال ابن يونس: كان ابن سيرين أفطن من الحسن في أشياء

           “Berkata Ibnu ‘Aun: “Muhammad bin Sirin meriwayatkan hadits dengan huruf-hurufnya, sementara Al Hasan yang mengetahui maknanya.”
           “Aun bin ‘Imarah, bercerita keada kami Hisyam, telah bercerita kepadaku bahwa orang yang paling jujur yang pernah aku temui adalah Muhammad bin Sirin.
           Habib bin Asy Syahid berkata: Aku bersama Amr bin Dinar, dia berkata: “Demi Allah aku tidak pernah melihat orang seperti Thawus.” Maka, Ayyub As Sukhtiyani sambil duduk menimpali: “Demi Allah, seandainya dia melihat Muhammad bin Sirin, tidak akan dia berkata seperti itu.”
           Muadz bin Muadz berkata, aku mendengar Ibnu ‘Aun berkata: “Aku belum pernah melihat orang semisal Muhammad bin Sirin.”
           Dari Khalifah bin ‘Uqbah, dia berkata: “Adalah Ibnu Sirin dia menenun (pakaiannya) sendiri.”
           Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman  Al Bati: “Tidak pernah ada di Bashrah orang yang paling tahu tentang   kehakiman (hukum) dibanding Ibnu Sirin.”
           Ibnu Yunus berkata: “Ibnu Sirin lebih cerdas dibanding Al Hasan Al Bashri di banyak hal.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/608)

Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi
           Siapa yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah.  Berikut ini ceritanya,  sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani.
           Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.

            ’Atha  bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
           Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan  mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)
            Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan: “Biarkanlah dia, aku akan menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung menegurnya, walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam Ahlus Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
           Selain seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.
           Berkata Al Alusi tentang Imam Ibnu Taimiyah:
“Adapun keberanian dan jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun  tidak dapat mencakupnya secara sempurna. Ia sebagaimana yang diceritakan Al Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya adalah orang yang paling berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum pernah melihat manusia yang  keberaniannya  melebihi Ibnu Taimiyah dan semangat jihad melawan musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia selalu berjihad di dalan Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan tidak takut hinaan orang yang suka menghina dalam membela agama Allah Ta’ala.
           Banyak orang menceritakan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah juga sering ikut  bersama pasukan Islam dalam peperangan melawan musuh. Apabila ia melihat pasukan yang gelisah  dan takut, maka ia memberikan semangat kepadanya, memantapkan hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah kepadanya, dan menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin.” (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)
           Syaikh Ahmad Farid juga menceritakan keberanian Imam Ibnu Taimiyah di medan tempur:
“Seorang panglima perang mencertakan tentang perang Syaqhab. Ia mengatakan, “Syaikh Ibnu Taimiyah berkata kepadaku ketika dua pasukan sudah terlihat,”Wahai kamu, perlakukanlah aku seolah aku sudah mati.” Lalu aku membawanya (Ibnu Taimiyah) ke depan, sementara musuh-musuh sudah turun bak banjir yang mengalir dengan deras. Peralatan perang mereka terlihat di sela-sela debu yang berterbangan. 
Lalu, aku berkata kepadanya: Ini akan mengantarkanmu pada kematian. Batalkan keinginanmu itu!” Ia menengadahkan mukanya ke langit, meluruskan pandangannya, dan menggerakkan kedua bibirnya dalam waktu yang lama kemudian bangkit dan maju ke medan perang. Aku tidak melihatnya lagi sampai Allah memberikan kemenangan pada umat Islam yang berhasil masuk ke kota Damaskus.” (Ibid, Hal. 798-799)
           Imam Ibnu Rajab Al Hambali juga meceritakan tentang Imam Ibnu Taimiyah:
قدم إلى الشام هو وإخوته سنة اثنتي عشرة بنية الجهاد، لما قدم السلطان لكشف التتر عن الشام. فخرج مع الجيش، وفارقهم من عسقلان، وزار البيت المقدس.

           “Beliau bersama saudaranya, dua belas tahun, datang ke Syam dengan niat berjihad, ketika datangnya sultan untuk mengusir Tartar dari Syam. Ibnu Taimiyah keluar bersama pasukan, dan berpisah dengan mereka dari Asqalan, dan berziarah ke Baitul Maqdis.” (Imam Ibnu Rajab, Dzail Thabaqat Al Hanabilah, 1/343. Mauqi’ Al Warraq)
           Beliau juga sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim.  Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan secara terbukan kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid berkata:
           “Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untk menyerang kaum musimin Damaskus.”
           (Demikianlah rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
           “Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.
(Inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya  menuju istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah tidak mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat mata.” Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara terang-terangan.  Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim yang meminta pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar mereka mudah mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan dan Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin kolonialisme modern, AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam Ibnu taimiyah!)
Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan  Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.
Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah mslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.”  (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)

Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
           Beliau dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya.  Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan dihadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
           Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:
           Syaikh Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh kami, Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di Qal’ah (benteng Shalahuddin).
           Di sana ia menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin dan dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat megah. Sultan Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai perhiasan sebagaimana adat para Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud mencium tanah di depan sang Sultan.
           Melihat peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia berkata kepadamu,”Aku telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr!” Sultan Najmuddin Ayyub berkata, “Apakah ini terjadi?” Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya, di toko seorang perempuan telah dijual minuman khamr dan hal-hal lain yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan kerajaan ini.”
           Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu para prajuritnya membisu dan keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh Izzuddin berkata: “Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43): 22)
Lalu Sultan Ayyub merencanakan meusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau menerima nasihatnya.
Bahkan, lebih berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu masih terjerat hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal kaum muslimin. Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil sultan marah dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan penggal kepalanya!”
Namun yang terjadi ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil sultan  berkata: “Wahai Tuanku, apa yang kau inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan bertanya lagi: “Siapa yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Akulah yang menerimanya.” Lalu para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu dan dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)
Ada peristiwa yang mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan beneng Asy Syaqif kepada Eropa. Tindaka ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia tidak mendoakannya dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membaut sultan marah. (Ibid, Hal. 750)
Inilah Al Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafi’i. Imam Ad Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga menyebukan di akhir hayatnya dia tidak lagi terika madzhab, sudah berfatwa dengan fatwanya sendiri.
Demikianlah. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia  yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Menasihati pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah walau di nasihati oleh orang terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat diperlukan dalam memutuskan masalah ini.
Dan, yang jelas tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pla hal itu  disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali. Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
           Wallahu A’lam wa Waliyyut Taufiq

Selasa, 01 Mei 2012

BEBERAPA KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI DALAM BERUMAH TANGGA, AGAR TERCAPAI KELUARGA YANG SAKINAH, MAWADDAH DAN WAROHMAH


Bismillaahirrohmannirrohiimm..

Akhir-akhir ini sering kita lihat di media cetak dan elektronik, bagaimana perceraian adalah sudah merupakan hal yang biasa. Kita pahami bahwa sesungguhnya walaupun perceraian itu diperbolehkan, dan adalah bagian daripada syari’at islam yang diakui dan tercantum dalam Al Qur’an, namun akan sangat disayangkan, bahwa niat untuk membina keluarga yang Sakinnah, mawaddah dan warohmah tidak terwujud. Apalagi bila kita sudah memiliki keturunan, maka dampak psikologis yang akan diterima oleh sang anak adalah sangat berat (melihat bahwa keluarga yang tidak utuh, antara ayah dan ibu yang tidak 1 rumah)

Oleh karenanya, demi tercapainya dan terbinanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah, ada baiknya kita mengetahui, sedikit dari beberapa kewajiban Suami dan Istri dalam membina rumah tangga, agar rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang di Ridhoi oleh Allah, dan menjadi Baiti Jannati (Rumahku adalah surgaku) serta mendapatkan perhiasan dunia sebagaimana dikutip dalam hadits riwayat Imam Muslim, “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita/istri shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Berikut adalah beberapa kewajiban dari suami / istri, yang sering kali terlewatkan oleh para suami / istri, terutama dikehidupan yang modern ini, dimana para suami / istri banyak disibukan oleh kegiatan diluar rumah, hingga larut malam, sampai-sampai kewajiban masing-masing suami / istri terabaikan, dan mengakibatkan ketidakharmonisan dan ketidak langgengan dalam berumah tangga.

Semoga bermanfaat.

Kewajiban Suami :

    1.    MEMPERLAKUKAN ISTRI DENGAN SOPAN DAN HORMAT.

Berikut adalah dalilnya, Allah SWT berfirman:

" Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisaa' : 19)

Penjelasan:

Di antara kewajiban suami terhadap istrinya ialah :
       a)      menghormatinya;
       b)      berlaku sopan kepadanya;
       c)      melunakkan hatinya;
       d)      bersikap halus dan sabar kepadanya.

Di antara bukti kesempurnaan akhlak seseorang dan keteguhan imannya yaitu bersikap santun dan halus kepada istrinya.  Rasulullah saw. bersabda:

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)

Menghormati istri pertanda dari kemanusiaannya yang sempurna; dan merendahkannya sebagai tanda dari kejelekan dan kerendahannya. Di antara cara menghormati istri yaitu bersikap lemah lembut kepadanya dan  bersikap sabar. Rasulullah saw. biasa bersikap lembut kepada 'Aisyah, bahkan beliau berlomba Iari dengannya. Kata 'Aisyah:

"Rasulullah berlomba denganku hingga aku dapat mendahuluinya, demikianlah aku selalu dapat mendahuluinya, sampai ketika aku menjadi gemuk, beliau berlomba denganku dan beliau mendahului aku. Lalu Rasulullah saw bersabda: 'Kali ini penebus yang dulu’  (HR. Ahmad dari Abu Dawud)

Di antara cara menghormati istri yaitu mengangkat martabatnya setaraf dengan dirinya, tidak menyakiti hatinya, sekalipun dengan kata-kata olokan. Suami wajib menjaga istrinya, memeliharanya dari segala sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung kemuliaannya, menjauhkannya dari pembicaraan yang tidak baik.

    2.     MENDAHULUKAN KEPENTINGAN ISTRI DARIPADA KEPENTINGAN ORANG LAIN.

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

"Bersedekahlah!" Lalu ada seorang laki-laki datang: "Aku punya satu dinar." Nabi saw. bersabda: "Belanjakaniah untuk dirimu!" Laki-laki itu berkata (lagi): "Aku masih punya satu dinar lagi." Nabi saw. bersabda: "Belanjakanlah untuk istrimu!" Laki-laki itu berkata (lagi): "Aku masih punya satu dinar lagi!" Nabi bersabda: "Sedekahkanlah untuk anakmu!" Laki-laki itu berkata lagi: "Aku masih mempunyai satu dinar lagi" Nabi saw. bersabda: "Belanjakanlah untuk pelayanmu." Lalu laki-laki itu berkata lagi: "Aku masih mempunyai satu dinar lagi." Sabdanya: "Engkau lebih tahu."(HR. Ahmad, Nasa'i dan Abu Dawud; tetapi Abu Dawud mendahulukan anak daripada istri)

Penjelasan:

Orang yang selalu terkait dengan pikiran, perasaan dan angan-angan seseorang adalah anak dan istrinya. Bagi orang yang tidak punya anak, maka istrinyalah yang paling dekat dan selalu memenuhi hatinya. Karena itu, logis kalau Islam menetapkan bahwa yang paling dekat dengan sang suami atau sang ayah itulah yang harus lebih dahulu diutamakan kepentingannya daripada orang lain.

Urutan pemberian belanja yang disebut oleh Rasulullah di atas adalah menunjukkan suatu penyelesaian tanggung jawab yang secara menejemen modern tepat pada sasarannya. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang yang senantiasa memberikan sumbangsih paling besar untuk semangat kehidupan seseorang adalah:

a.         istrinya;
b.         anak-anaknya; dan
c.         para pembantunya (karyawannya).

Selain itu, sebagaimana kita ketahui, bahwa setelah menikah, Istri harus mengutamakan kepentingan ketaatan kepada suami (selama tidak menyuruh kepada kemusyrikan dan meninggalkan ketaatan kepada Allah), maka sudah seyognyanya dan sewajarnya Suami harus mendahulukan Kepentingan Istri daripada orang lain.

Sebelum menikah, Istri kita adalah tanggung jawab orang tuanya sendiri. Bila ada permasalahan baik dari segi ekonomi maupun non materi (perasaan tidak aman, berkeluh kesah, dan lain sebagainya), maka orang tuanya wajib untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut, dan “anak” bisa berkeluh kesah kepada orang tuanya. Namun selepas ijab Kabul, dimana Orang tua istri kita telah menyerahkan seluruh tanggung jawab anaknya kepada kita, maka pada saat itulah, kita bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhannya, kebahagiannya, baik jasmani maupun rohani.  Kebahagiaan dan kelanggengan berumah tangga adalah sebatas mana suami bias tetap menjaga dan menghormati serta mendahulukan kepentingan istri dibandingkan kepentingan orang lain (kecuali kepentingan orang tua suami). Ada hadits dibawah ini, yang menjelaskan betapa pentingnya peran kita sebagai suami, sehingga kita perlu mengutamakan istri kita daripada orang lain.

Dan Aisyah, ujarnya: "Saya bertanya kepada Nabi saw: Siapakah yang paling besar haknya kepada seorang wanita?' Sabdanya: `Suaminya.' Aku bertanya pula: `Siapakah yang paling besar haknya kepada seorang laki-laki?' Sabda beliau: 'Ibunya.- (HR. Nasa'i)

Dari hadits diatas terlihat, bahwa Suami memiliki wewenang penuh, untuk “diurus” dan dipenuhi segala hak-haknya oleh istrinya. Dan Suami tetap bertanggung jawab untuk berkhidmat kepada ibunya.

    3.     MENJAUHKAN ISTRI DARI PERBUATAN DOSA

Allah berfirman pada surat At-Tahrim ayat 6:

"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah atas perintah Allah kepadanya dan selalu taat pada apa yang diperintahkan kepada mereka."

Penjelasan:

Ayat ini Allah tujukan kepada para penanggung jawab keluarga, yaitu suami atau bapak. Mereka ini disuruh menjauhkan istri dan keluarga mereka dari segala perbuatan yang mengakibatkan siksa neraka.
Apakah hal dan perbuatan yang menyebabkan orang masuk neraka? Yaitu semua perbuatan dosa. Ini berarti setiap suami mukmin wajib tahu hukum syari'at Islam, sehingga dapat mencegah istri dan anak-anaknya dari berbuat dosa itu.

Dalam satu riwayat diterangkan bahwa ketika ayat ini turun, 'Umar berkata: "Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, tetapi bagaimana caranya menjaga keluarga kami?" Sabda Rasululiah saw:

"Laranglah mereka melakukan hal-hal yang kamu dilarang melakukannya; dan suruhlah mereka mengerjakan hal-hal yang diperintahkan kepada kamu mengerjakannya. Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya sebanyak 19 malaikat; mereka diberi kuasa untuk menyiksa di dalam neraka; tidak men-durhakai Allah terhadap perintah yang mereka terima dan mereka selalu taat pada perintah-Nya."

Bapak atau suami yang membesarkan anak dan istrinya dalam suasana dosa atau membiarkan anak istrinya berbuat dosa atau mengajak anak istrinya senang-senang dalam perbuatan dosa, disebut melakukan perbuatan dayyuts. Perbuatan bapak atau suami yang mengukirkan dosa ke dalam keluarganya adalah suatu perbuatan keji yang sangat dicela dalam Islam.

Rasulullah saw. mengingatkan kepada kita semua agar per-buatan dayyuts dijauhi sama sekali sebagaimana dalam hadits berikut ini, diriwayatkan dari Imam Hakim, 'Abdullah bin 'Umar, bersabda:

"Tiga golongan yang tidak akan masuk surga, yaitu: sorang yang durhaka kepada ibu bapaknya; orang yang berbuat dayyuts; wanita yang menyerupai laki-laki; (dan laki-laki yang menyerupai wanita)."

Dan Nasai meriwayatkan dari lbnu 'Umar juga bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Tiga golongan yang Allah haramkan mereka itu masuk surga, yaitu; peminum minuman keras; orang yang durhaka kepada ibu bapaknya; dan orang yang berbuat dayyuts yang menanamkan perbuatan dosa kepada keluarganya."

Dari kedua Hadits di atas hendaklah menjadi perhatian agar berhati-hati dalam memilih teman hidup. Janganlah terpedaya oleh bagusnya rupa atau kekayaan atau keturunan, sehingga lupa memperhatikan akhlak dan agamanya. Begitu juga kaum lelaki jangan kehilangan wibawa atas diri istrinya, sehingga tidak berani menegur istrinya yang berbuat dosa yang merusak kebersihan rumah tangganya. Islam sangat menghendaki rumah tangga menjadi tempat kediaman laksana surga bagi suami, istri dan anak-anaknya.

     4.     MEMAAFKAN KEKURANGAN ISTRI.

Diriwayatkan dalam sebuah Hadits :

Dail Abu Hurairah ra, Rasulullah saw, bersabda: "Seorang mukmin tidak boleh mencela seorang mukminat. Sekiranya ia tidak senang pada salah satu dari sifat-sifat wanita itu, boleh jadi ia senang terhadap sifat-sifat lainnya."(HR.Muslim)

Penjelasan:

Yang dimaksud dengan wanita mukminat dalam Hadits ini adalah istri. Seorang suami janganlah gemar
mencari kelemahan istrinya, karena hal ini dapat menyebabkan dia hidup dalam kebingungan. Bila suami tidak senang terhadap salah satu perilaku istrinya, dia tidak boleh membesar-besarkan kekurangannya itu.Tetapi hendaklah dia memperhatikan kelebihan-kelebihan yang ada pada diri istrinya.

Kita semua tahu, bahwa manusia diciptakan dengan memiliki sifat kekurangan dan kelebihan. Tidak semua yang ada pada pasangan kita, pasti akan sesuai atau memenuhi “criteria” sebagai pasangan ideal. Namun  jadikanlah kelebihan-kelebihan yang ada pada pasangan kita, sebagai penutup kekurangan yang ada pada diri kita. Begitu pula sebaliknya,  jadikanlah kekurangan-kekurangan yang adan pada pasangan kita ditutupi dengan kelebihan yang ada pada diri kita.

Ada beberapa hal penting untuk diketahui dan dijalankan oleh pasangan suami istri demi terciptanya rumah tangga yang sakinah mawadaah wa rahmah; diantaranya adalah adanya saling pengertian tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing.  Kekurangan suami tertutupi atau terpenuhi oleh kelebihan istri, demikian pula kekurangan istri ada pada kelebihan suami. Jika pandangan seperti ini yang dikembangkan dalam relasi di antara suami-istri, maka akan timbul sikap saling menghargai, toleransi, dan saling menutupi kekurangan. Di dalam Alquran disebutkan  “Istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian baginya,” (QS. Al-Baqarah: 187).

Fungsi baju adalah untuk menutupi aurat dan menjaga kehormatan “pemiliknya”. Selain itu, baju juga memiliki fungsi menambah rasa percaya diri dan bangga bagi pemakainya. Jadi, sudah selayaknya istri harus menjadi sumber inspirasi bagi suami, sehingga begitu percaya diri dan bangga kepada istrinya. Bagitu pula sebaliknya, suami harus bisa menjadi inspirasi dan pendukung utama bagi istri untuk membangun diri dan keluarga sejahtera mental serta sosialnya.

     5.     SEGERA PULANG BILA SELESAI URUSAN DI LUAR.

Rasulullah saw bersabda :

“Bepergian itu setitik penderitaan yang menyebabkan seseorang diantara kamu tidak enak makan, minum dan tidur. Karena itu, bila seseorang di antara kamu telah selesai kepentingannya di luar dengan semestinya, maka hendaklah ia segera pulang ke keluarganya." (HR. Ahmad dan Malik, dari Abu Hurairah)

Dan Rasulullah bersabda pula:

'Bila seseorang di antara kamu telah selesai haji, hendaklah is segera pulang ke keluarganya, karena hal itu memberikan pahala lebih besar." (HR. Hakim dan Baihaqi, dari 'Aisyah)

Penjelasan:

Sudah menjadi tanggung jawab suami untuk mencari nafkah bagi dirinya dan istrinya. Hal ini sudah menjadi konsekuensi wajar dari seorang lelaki yang memperistri seorang wanita. Ada kalanya dalam mencari nafkah itu suami harus pergi jauh dari rumah untuk beberapa lama. Masa pergi suami ini punya dampak psikologis bagi suami maupun istri. Suami yang berada jauh dari istri itu banyak godaan yang menghadang. Selain kelelahan fisik, juga rasa kerinduan kepada anak istri mendera dirinya. Karena itu, maka tidak heran kalau di lingkungan masyarakat non-muslim, bisnis keji bertalian dengan transaksi seks ini menjamur. Para perusak akhlak ini tahu memanfaatkan peluang setan untuk meraih kenikmatan duniawi yang sekejap.

Untuk memecahkan kemelut ini, maka Rasulullah memperingatkan para suami agar secepatnya pulang ke rumah istrinya bila selesai mengerjakan urusan di luar rumah. Ketentuan ini berdampak ganda, yaitu bagi suami sendiri, dan istri. Dengan segera pulang itu, suami dapat menyelamatkan dirinya dari jeratan dan melampiaskan rindunya kepada istrinya. Bagi istri, rasa was-was tentang keadaan suaminya di perjalanan dapat segera dihempaskan, sehingga rasa cemas selama ditinggalkan suaminya pergi bisa terobati.

Suami istri yang berjauhan sangat besar peluangnya untuk teracuni berbagai perasaan yang bisa merusak kedamaian rumah tangga mereka. Karena itu, bila suami selalu cepat pulang dari urusannya di luar rumah, hal ini dapat memupus perasaan-perasaan yang negatif itu.

Perintah Rasulullah saw. kepada para suami untuk segera pulang setelah selesai urusan di luar itu tidak hanya berlaku dalam kesibukan bisnis atau keluarga, tetapi juga setelah menjalankan ibadah haji. Jadi, begitu selesai ibadah haji, seorang suami hendaklah segera pulang ke rumah istrinya agar mendapatkan tambahan pahala yang lebih banyak.

    6.     MENASEHATI DAN MEMBINA AKHLAK ISTRI

Dari sebuah hadits diriwayatkan:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. "Nasehatilah para wanita itu balk-balk, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk; dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang teratas. Jika engkau berlaku keras dalam meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Tetapi jika engkau biarkan, tentu akan tetap bengkok. Karena itu, berilah nasehat baik-baik kepada para wanita." (HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan:

Seorang laki-laki yang telah berkedudukan sebagai suami, sejak hari pertama sudah memikul tanggung jawab untuk membimbing istrinya. la harus tahu lebih dahulu apa dan bagaimana peraturan-peraturan Islam tentang kehidupan rumah tangga, tanggung jawab suami terhadap istrinya dan tanggung jawab istri terhadap suaminya. Dengan cara demikian, suami selanjutnya dapat memberikan bimbingan dan didikan kepada istrinya. Karena bagaimana seseorang dapat menasehati orang lain untuk meluruskan kelakuan yang salah kalau dirinya sendiri tidak tahu apa yang benar? Begitu juga seorang laki-laki tidak akan mengetahui bagaimana akhlak istrinya yang tidak baik kalau dia sendiri tidak mengerti bagaimana tuntunan agama yang sebenarnya untuk membimbing istrinya menjadi wanita yang baik. Jadi, seorang laki-laki sebelum menikah wajib mempelajari ketentuan-ketentuan Islam bertalian dengan rumah tangga.

Kemudian bagaimana cara suami menasehati istrinya apabila didapati kekeliruan atau kesalahan pada diri istrinya, baik kesalahan atau kekeliruan itu menyangkut pelayanan terhadap suami maupun pelanggaran yang dilakukan istrinya terhadap peraturan-peraturan agama? Rasulullah saw mengatakan:

"Jangan melakukannya dengan cara yang kasar. Sebab seorang suami dilarang melakukan cara-cara yang kasar dalam menasehati dan meluruskan kekeliruan-kekeliruan istrinya." Kata Rasulullah saw: "Jika engkau meluruskannya dengan cara yang kasar, maka dia akan menjadi patah."

Wanita justru akan menjadi kebingungan bila diperperlakukan kasar. Dari sinilah kita diajari oleh Rasulullah saw tentang sifat-sifat dan karakter wanita. Wanita kalau menghadapi hal-hal yang bersifat kasar atau keras, dia akan menjadi bingung dan tidak mengerti. Kalau sudah mengalami kebingungan seperti itu, akan memakan waktu yang sangat lama bagi kita untuk memperbaiki kembali, bahkan dia bisa menjadi frustasi. Di sini Rasulullah saw mengibaratkan karakter wanita dengan tulang rusuk yang paling atas. Karena itu, Rasulullah menasehati para suami agar jangan berlaku kasar, tetapi jangan pula membiarkan istri berbuat seenaknya. Kalau dibiarkan seenaknya, justru istri akan menjadi rusak. Adapun cara mendidik wanita secara baik adalah jalan tengah, artinya tidak kasar dan tidak lunak.

Jadi, seorang suami yang baik bukanlah suami yang memanjakan istrinya, sehingga akhirnya menjadi musuh di dalam selimut. Begitu pula suami, tidak boleh memberlakukan istrinya sebagai orang upahan, sehingga istri tidak pernah merasakan hubungan yang ramah dan akrab dengan suaminya, tetapi hanya ibarat seorang budak yang hidup hanya dibebani pekerjaan berat tanpa hak bersuara. Karena itu, Rasulullah saw. mengingatkan kepada setiap suami agar dalam mendidik istrinya berlaku baik. Dengan demikian, suami sejak awal harus menyadari bahwa dirinya bertanggung jawabatas baik dan buruk perilaku istrinya. Bila istri berkelakuan buruk, pertanda suami tidak baik pula akhlaknya.

KEWAJIBAN ISTRI

     1.     MEMBANTU KEHIDUPAN AGAMA SUAMI

Allah swt. berfirman :

"(Ingatlah) ketika istri Imran berkata: `Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada-Mu anak yang ada dalam kandunganku ini menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah nadzar itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. "(QS. Ali Imran : 35)

Penjelasan:

Seorang istri mempunyai kewajiban berdakwah. Orang yang paling utama didakwahi adalah suaminya sendiri. Karena itu, tugas seorang istri membantu kehidupan beragama suaminya adalah fardhu 'ain. Maksudnya, kewajiban yang harus dilakukan tiap-tiap orang. Karenanya, istri adalah orang yang paling bertanggung jawab meluruskan perilaku suami yang tidak sejalan dengan ketentuan Islam.

Contoh kiprah seorang istri yang membantu kehidupan agama suaminya ialah apa yang dilakukan oleh istri 'Imran as. Istri 'Imran ini merupakan suri tauladan bagi para istri dalam membantu suami menegakkan kehidupan beragama. Akhlak suami yang teguh pada agama harus selalu ditopang, bahkan terus diberi semangat supaya sang suami hidup di jalan yang diridlai Allah.

Dalam ajaran Islam seorang istri tidak boleh acuh tak acuh terhadap kehidupan agama suaminya. Jika suaminya menyalahi ajaran agama, ia wajib meluruskannya. Jika suami memusuhi dakwah Islam, ia wajib menghentikannya. Dan jika suami menegakkan kehidupan Islam, maka ia wajib membantunya. Bila suami kurang pengetahuan Islamnya, sedang istri banyak tahu, maka ia wajib mengajari suaminya. Karena itu, istri wajib terus menerus belajar agama agar dapat membantu suaminya dalam menegakkan kehidupan beragama.

    2.     MENDAHULUKAN KEPENTINGAN SUAMI DARIPADA IBU BAPAKNYA SENDIRI

Diriwayatkan dalam sebuah Hadits :

Dari Anas, ujarnya: "Rasulullah saw. bersabda: Tidak patut seseorang sujud kepada orang lain. Sekiranya seseorang patut sujud kepada orang lain, tentu aku akan perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepada istrinya itu. - (HR. Nasa'i)

Dan Aisyah, ujarnya: "Saya bertanya kepada Nabi saw: Siapakah yang paling besar haknya kepada seorang wanita?' Sabdanya: `Suaminya.' Aku bertanya pula: `Siapakah yang paling besar haknya kepada seorang laki-laki?' Sabda beliau: 'Ibunya.- (HR. Nasa'i)

Penjelasan:

Pada saat seorang anak perempuan dalam pemeliharaan orang tuanya, maka orang tuanyalah yang harus dia taati melebihi ketaatannya kepada orang lain. Bila ia disuruh orang tuanya, maka suruhannya itu harus ia kerjakan lebih dahulu daripada kepentingan dirinya sendiri apalagi kepentingan orang lain. Ketika ia telah menjadi istri seseorang, maka ketaatannya kepada suaminya harus ia nomor satukan.

Lalu bagaimana hubungan dirinya dengan ibu bapaknya? Apakah ia tetap harus mendahulukan ketaatan kepada ibu bapaknya seperti semasa ia lajang dahulu? Jawabannya telah disabdakan Rasulullah saw. pada Hadits-Hadits di atas.

Begitu seorang wanita telah menikah, maka kiblat ketaatannya berpindah kepada suaminya. Apa sebabnya demikian? Jawaban ini dapat kita temukan dalam Al-Qur'an maupun Hadits-Hadits Rasulullah saw.. Dalam Al-Qur'an antara lain surat An-Nisaa': 34. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa para suami adalah pemimpin, pemelihara, pembela, pemberi nafkah dan penanggung jawab penuh terhadap istri dan anak anaknya.

Sebelum seorang wanita menjadi istri, ia berada di bawah tanggung jawab ibu bapaknya. Karena itu, kiblat ketaatannya adalah kepada orang tua kandungnya itu. Dalam hubungan dengan QS. 4 : 34 itu, seorang istri yang tidak mernperoleh hak-hak penuh dari suaminya atau suami tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya seperti tersebut di atas, maka istri berhak mengadukan perkaranya kepada hakim untuk menyelesaikan perkaranya. Bahkan istri berhak mengajukan tuntutan cerai kepada suaminya. Perceraian atas tuntutan istri ini disebut khulu’ . Dan jika istri yang meminta perceraian, maka untuk selama-lamanya antara suami istri yang bersangkutan tidak boleh rujuk.

Karena tugas-tugas dan kewajiban suami yang begitu berat kepada istrinya, maka Islam memberikan imbalan kekuasaan yang besar pada diri suami atas ketaatan istrinya kepada dirinya. Segala kekurangan yang dialami oleh seorang istri menjadi tanggung jawab suami. Kekurangan belanja dan keperluan perawatan kesehatan, biaya pendidikan anak-anak, kebutuhan tempat tinggal dan berbagai keperluan pakaian istri dan anak-anaknya. semua itu menjadi beban suami. Jadi, orang tua kandungnya telah terbebas dari tanggung jawab terhadap anak perempuannya yang kini telah menjadi istri orang. Karena itu, wajar bila kiblat ketaatan yang semula kepada orang tuanya saat lajangnya, kini setelah menikah berpindah kepada suaminya.

Jadi, bila pada saat yang sama orang tua istri menyuruhnya melakukan "a" (misalnya), sedangkan suaminya menyuruh "b", maka sang istri wajib mengerjakan perintah suaminya lebih dahulu, baru kemudian mengerjakan perintah orang tuanya. Demikianlah, ajaran Islam tentang ketaatan istri kepada suaminya.

     3.     BERTERIMA KASIH ATAS KEBAIKAN SUAMI

Diriwayatkan dalam sebuah Hadits :

Dari Abdullah bin Amr’ ujarnya: "Rasulullah saw bersabda: Allah tidak mau melihat istri yang tidak berterima kasih atas kebaikan suaminya, padahal ia selalu memerlukannya. - (HR. Nasa'i)


Dan lbnu 'Abbas, ujarnya: "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu ia berkata: Saya adalah utusan kaum wanita kepada Tuan, balk ia tahu ataupun tidak, tentu ia ingin bertemu dengan Tuan. Allah adalah Tuhan bagi kaum laki-laki maupun kaum wanita. Tuan juga Rasul Allah kepada kaum laki-laki dan wanita. Allah mewajibkan jihad kepada kaum laki-laki. Kalau mereka menang, mereka dapat harta rampasan perang. Kalau mereka mati syahid, mereka hidup di sisi Tuhan dengan mendapat rizki. Lalu amal shalih apa yang menyamai perbuatan mereka itu?' Lalu sabdanya: `Ketaatan seorang istri kepada suaminya dan pengakuannya atas hak-hak suaminya. Tetapi amat sedikit di antara kalian itu yang dapat melakukannya. - (HR. Thabarani)

Penjelasan:

Seorang suami juga banyak kekurangan dan kesalahannya kepada istrinya, di samping banyak pula kebaikan dan kedermawanannya kepada istrinya. Banyak memang suami yang tidak setia kepada istrinya, yaitu tidak memberikan belanja secukupnya kepada istrinya, padahal kekayaan atau penghasilannya besar.

Rasulullah saw. menegaskan bahwa sangat sedikit kalangan istri yang tahu berterima kasih kepada suaminya. Bagi istri yang tahu berterima kasih kepada suami, maka ia sudah merasa bahagia bila suaminya dapat mencukupi kebutuhan pokok dirinya, istri dan anaknya. la selalu menggembirakan hati suaminya dengan ucapan, senyum dan pandangan mesra setiap kali suaminya menyerahkan hasil jerih payahnya. Kalau suami member banyak, ia nyatakan alhamdulillah. Tidak ada gerutu dalam hatinya. Tidak ada sesal dalam kalbunya. Setiap usaha suaminya senantiasa ia sertai dengan panjatan do'a kepada Allah, semoga suaminya tetap dalam kebaikan di dunia dan di akhirat. Inilah potret istri yang shalihah dan itulah istri calon penghuni surga.

    4.     MENGIKUTI TEMPAT  TINGGAL SUAMI

Allah berfirman dalam QS. Ath-Thalaaq : 6

"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu...."

Dan Rasulullah saw. bersabda ketika haji Wada':

"Ketahuilah, hendaklah kalian menasehati para wanita dengan hal-hal kebaikan. Mereka itu adalah tawanan di sisi kalian. Kalian tidak mempunyai kewenangan lebih dari itu, kecuali kalau mereka berbuat zina secara terang-terangan...." (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Penjelasan:

Dalam surat Thalaaq ayat 6, Allah memerintahkan seorang suami menyediakan tempat tinggal bagi istrinya yang telah diceraikan, selama istri menjalani masa iddah. Kalau istri yang dicerai saja punya hak memperoleh jaminan tempat tinggal tersebut, tentu seorang istri yang mempunyai kewajiban melayani, mengurus dan menjaga harta kekayaan suami lebih patut mendapatkan hak itu.

Kemudian pada Hadits di atas Rasulullah saw. menyebutkan bahwa istri itu adalah tawanan bagi suaminya. Seorang tawanan tentu saja mengikuti ke mana dan di mana penawannya menempatkan dirinya. Istri sebagai tawanan tidak berarti bahwa seorang istri kehilangan hak untuk tidak setuju terhadap keputusan suaminya menempatkan dirinya dalam berumah tangga.

Istri memang wajib mengikuti tempat tinggal yang disediakan suaminya. Tetapi apabila lingkungan tempat tinggal yang ditetapkan oleh suami ternyata merusak akhlak atau tidak aman, baik dari segi bangunan maupun keselamatan badan, maka si istri punya hak menolak.

Adapun jika suami telah memilihkan lingkungan yang dapat memelihara akhlak istri dan keluarga, tetapi menurut istri rumahnya kurang bagus sedangkan suami tidak mampu menyediakan yang lebih baik, maka istri tetap wajib tinggal di rumah suaminya itu.

Mengapa istri wajib mengikuti di mana suami bertempat tinggal? Apakah tidak boleh istri tinggal di rumahnya sendiri berpisah dari rumah suami? Apakah tidak ada hak bagi istri untuk memilih rumah sendiri sekalipun suami tidak setuju? Jika istri wajib ikut tinggal di mana suami tinggal, bukankah berarti hak istri tidak sama dengan hak suami?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas perlu setiap istri memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

      a)      Istri bertanggung jawab menjadi wakil dalam mengurus rumah tangga suaminya.
      b)      Istri wajib memelihara keamanan dan keselamatan harta kekayaan suami.
      c)      Istri wajib mengasuh, mendidik dan membina anak-anak suami.
     d)      Istri wajib memelihara kelanjutan semangat cinta dan asmara suami kepada dirinya. Bila sewaktu-waktu suami ingin menyalurkan syahwatnya, maka istri dengan segera dapat mengabulkannya.

Apakah tanggung jawab dan kewajiban istri seperti tersebut di atas dapat ditunaikan oleh istri jika tempat tinggal mereka berpisah, jauh ataupun dekat?

Adanya keharusan istri serumah dengan suami, dan istri mengikuti ke mana suami bertempat tinggal, sebenarnya adalah lebih menguntungkan kaum istri itu sendiri. Dengan menjadi satu dengan suaminya, maka ia lebih dapat membentengi suaminya dari kemungkinan tergoda wanita lain. Tentu tak seorang istri pun rela suaminya terbawa wanita lain, sekalipun wanita lain itu dinikahi secara sah oleh suaminya. Karena itu, ketentuan Islam yang menetapkan istri wajib mengikuti tempat tinggal suaminya, adalah untuk melindungi istri itu sendiri.

     5.     MENGALAH KEPADA  SUAMI

Allah swt. berfirman :

"Dan jika seorang istri khawatir suaminya berbuat nusyuz atau bersikap acuh, maka tidak mengapa mereka mengadakan perdamaian sungguh-sungguh dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), sekalipun nafsu manusia itu tabiatnya kikir. Dan jika kamu berlaku baik (kepada istrimu) dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan."(QS. An-Nisaa': 128)

Penjelasan:

Ayat ini menerangkan sikap yang harus diambil oleh seorang istri bila ia melihat sikap nusyuz (Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya) suaminya, seperti tidak melaksanakan kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana mestinya, tidak memberi nafkah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan kasih sayangnya dan sebagainya. Hal ini mungkin ditimbulkan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak.

Jika demikian halnya, maka hendaklah istri mengadakan musyawarah dengan suaminya, mengadakan pendekatan perdamaian di samping berusaha mengembalikan cinta dan kasih sayang suaminya yang telah mulai pudar. Dalam hal ini tidak berdosa jika istri bersifat mengalah kepada suaminya, seperti bersedia beberapa haknya dikurangi dan sebagainya.

Usaha mengadakan perdamaian yang dilakukan istri itu bukanlah berarti bahwa istri harus bersedia merelakan sebagian haknya yang tidak terpenuhi oleh suaminya, melainkan untuk memperlihatkan kepada suaminya keikhlasan hatinya, sehingga dengan demikian suami ingat kembali akan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan. Allah swt. berfirman:

Dan para wanita mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada istrinya...." (QS. Al-Baqarah : 228)

Damai dalam kehidupan keluarga menjadi tujuan agama dalam mensyari’atkan pernikahan. Karena itu, hendaklah kaum muslimin menyingkirkan segala macam kemungkinan yang dapat menghilangkan suasana damai dalam keluarga. Hilangnya suasana damai dalam keluarga membuka kemungkinan terjadinya perceraian.

Allah swt. mengingatkan bahwa kikir itu termasuk tabiat manusia. Sikap kikir timbul karena manusia mementingkan dirinya sendiri, kurang memperhatikan orang lain, walaupun orang lain itu adalah istrinya sendiri atau suaminya. Karena itu, waspadalah terhadap sikap kikir itu. Hendaklah masing-masing pihak dari suami atau istri bersedia beberapa haknya dikurangi untuk menciptakan suasana damai di dalam keluarga.

Jika suami berbuat baik dengan menggauli istrinya kembali, memupuk rasa cinta dan kasih sayang, melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya, maka Allah swt. mengetahuinya dan memberi balasan yang berlipat ganda.

     6.     TIDAK MENYAKITI HATI SUAMI

Dari Mu’adz bin Jabal, dari Nabi saw, sabdanya: “Jangan seorang istri menyakiti suaminya di dunia ini. Karena bidadari dari surga berkata kepadanya: ‘Janganlah engkau sakiti dia. Semoga Allah membinasakanmu. Sebab dia (suamimu) hanya sebentar di sisimu. Ia segera akan berpisah dari dirimu untuk pergi kepada kami’” (HR. Tirmidzi)

Dari Hushain bin Mihshan bahwa salah seorang bibinya datang kepada Nabi sa,. Lalu Nabi bersabda kepadanya: "Apakah engkau mempunyai suami?" Jawabnya: "Ya." Sabdanya: "Bagaimana keadaanmu dengan dia?" Jawabnya: "Saya selalu mendahulukan keperluannya selama saya mampu melakukannya." Sabdanya lagi: "Bagaimana engkau hidup bersamanya? Sesungguhnya (suamimu) adalah surgamu dan nerakamu." (HR. Ahmad dan Nasa'i)

Penjelasan:

Bagaimana yang dikatakan "menyakiti" hati suami itu? Apakah kalau suami berkata atau berbuat salah, lalu ditegur istrinya, tetapi tidak berkenan di hatinya, maka hal itu disebut "menyakiti" hati suami?
Bagaimana konkretnya perbuatan yang disebut menyakiti hati suami itu?

Istri dikatakan menyakiti hati suami, bila sikap atau perbuatannya dapat dinilai merendahkan martabat suaminya.

Misalnya salah satu contoh istri yang  menyakiti hati suami adalah dimana Istri bermalas-malasan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, karena lebih suka menonton film televisi. Karena sikap malasnya itu, pembersihan rumah menjadi beban suami. Bila ditegur sikapnya tak acuh saja.

Istri yang menyakitkan hati suaminya diancam oleh Islam tidak mendapatkan balasan surga kelak di akhirat. Karena itu, wahai para istri, berhati-hatilah dalam bersikap dan bertindak terhadap suami Anda.

     7.     TIDAK BOLEH MENTAATI ORANG LAIN DI RUMAH SUAMI

Diriwayatkan dalam sebuah Hadits:

Dari Mu'adz bin Jabal, dari Nabi saw., sabdanya: "Tidak halal seorang istri yang beriman kepada Allah mengizinkan seseorang berada di rumahnya, padahal suaminya tidak merelakannya. Juga ia tidak boleh keluar rumah bila suami tidak mengizinkannya; tidak boleh mentaati seseorang, (selain suaminya di rumah suaminya); tidak boleh meninggalkan tempat tidurnya; dan tidak boleh memukulnya...." (HR. Hakim)

Penjelasan:

Dalam sebuah rumah tangga, kekuasaan terletak pada suami, sekalipun di rumah itu ada ibu bapak suami atau anak kandungnya. Anak-anak tidak punya kekuasaan dalam rumah tangga ibu bapaknya, apalagi mertua suami. Contoh, di rumah Anda turut serta ibu dan ayah mertua Anda. Sebagai istri, Anda tak boleh mengerjakan perintah-perintah mereka tanpa seizin suami Anda, karena komando tunggal yang berhak memerintah Anda (sebagai istri) hanyalah suami Anda. Karena orang lain tidak punya hak memerintah Anda, maka jika Anda melayani perintahnya tanpa persetujuan suami Anda, berarti Anda telah berbuat salah dan berdosa.

Mengapa mematuhi perintah orang lain di rumah suami dikategorikan perbuatan dosa? Karena di rumah suami hanya ada satu orang saja yang boleh istri patuhi perintahnya, yaitu suaminya. Karena itu, jika suatu saat di rumah Anda tinggal ibu dan ayah Anda, lalu mereka menyuruh Anda menyetrika baju mereka dan saat itu suami Anda ada di rumah, maka Anda wajib minta izin suami untukmengerjakan-nya. Jika suami Anda tidak mengizinkan, maka Anda tidak boleh mengerjakan perintah ibu ayah Anda itu.

Lalu bagaimana kalau pada saat yang sama anak minta dibuatkan roti dan suami minta dicucikan bajunya? Anda wajib memenuhi permintaan suami Anda, sedang permintaan anak tidak wajib Anda penuhi. Jika Anda ternyata mendahulukan kepentingan anak, yaitu membuatkan susu dan menomerduakan suami, maka Anda telah durhaka kepada suami Anda. Karena itu, jika Anda hendak mendahulukan membuatkan susu anak, mintalah persetujuan suami Anda dulu. Kalau ia tidak mengizinkan, maka Anda berkewajiban mendahulukan kepentingan suami daripada kepentingan anak.

Mungkin sekali banyak orang akan berkata:"Bukankah melayani suami itu sudah rutin, apakah suami masih harus selalu dan terus diutamakan segalanya daripada orang lain, sekalipun itu anak dan orang tuanya sendiri?" Jawabannya: "Ya." Sebagai istri, kiblat ketaatan Anda hanya kepada suami tercinta, yaitu orang yang pertama dan utama Anda khidmati setelah Anda tunaikan kewajiban-kewajiban Anda kepada Allah. Jadi, bagi seorang istri yang shalihah, suami adalah pimpinan pertamanya, tempat baktinya yang utama dan kiblat kepatuhan hidupnya sampai saat yang ditetapkan oleh Allah. Karenanya, perlu sekali setiap istri menyadari bahwa di bawah atap rumah suaminya, hanya ada satu komandan, yaitu suaminya. Orang lain, siapa pun dia, tidak boleh dipatuhi perintahnya bila suaminya tidak mengizinkannya.


Demikian ringkasan beberapa kewajiban suami / istri yang mulai atau kalau tidak mau dikatakan hampir terlewatkan pada pasangan suami istri di era modern ini. Semoga kita tetap bisa menjaga kewajiban-kewajiban kita sebagai suami / istri, dan bisa membina rumah tangga kita menuju rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah, sehingga tercipta rumah tangga baiti jannati..

Amin ya Robbal Alamiin..

Wallahua’lam bishowab…