Minggu, 27 Februari 2011

Dibayar Nanti, Kalau Sudah Gajian

Tidak jarang, kita jumpai ada orang yang membeli barang di suatu warung secara tidak tunai, lalu pembeli mengatakan, “Bu, nanti saya bayar kalau sudah gajian atau nanti pas tanggal muda.” Artinya, tidak ada tanggal pasti pembayaran barang yang dibeli.



Bolehkan jual beli secara tidak tunai dengan cara seperti di atas? Tulisan singkat berikut ini akan mengupas hal tersebut.

Semisal dengan kasus di atas adalah kasus yang saya jumpai beberapa pekan yang lewat. Ketika itu, ada seorang yang menghubungi saya via telepon. Beliau menceritakan transaksi yang beliau lakukan. Beliau adalah produsen roti dengan skala cukup besar. Seringkali, pelanggan lama mengambil roti sambil mengatakan, “Uangnya nanti saja ya,” tanpa ada kejelasan tanggal pembayaran.



Hukum untuk transaksi jual beli di atas kita jumpai dalam hadits berikut ini,



عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ



الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ ، ثُمَّ تُنْتَجُ الَّتِى فِى بَطْنِهَا



Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir. (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883)



Pengertian tentang “habalul habalah”, sebagaimana di atas, adalah pengertian “habalul habalah” yang disampaikan oleh Ibnu Umar selaku shahabat yang membawakan hadits. Sehingga, dalam hal ini berlakulah kaidah yang diletakkan oleh Imam Syafi'i, yaitu, “Penjelasan seorang shahabat yang meriwayatkan hadits mengenai makna hadits yang dibawakan itu lebih diutamakan daripada penjelasan selainnya, selama penjelasan tersebut tidak menyelisihi makna tekstual hadits, karena shahabat yang membawakan hadits itu yang lebih mengetahui makna hadits yang dia bawakan.” (Ibnul Mulaqqin Asy-Syafi'i, Al-Iflam bi Fawaid Umdah Al-Ahkam, juz 7, hlm. 76, terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan pertama, 1421 H)



Inilah salah satu bentuk jual beli yang memasyarakat di masa jahiliah, lalu dibatalkan oleh Islam. Hal ini dilarang karena menyebabkan terjadinya sengketa dan perselisihan antara penjual dan pembeli.



Berdasarkan pengertian transaksi “habalul habalah” tersebut maka dapat dikatakan bahwa hadits di atas adalah dalil pokok dilarangnya transaksi jual beli yang tidak tunai dan jatuh tempo pembayarannya tidak pasti. Contohnya adalah jual beli dengan pegawai negeri, dengan jatuh tempo “jika pemerintah sudah mencairkan gaji para pegawai”. Padahal, tanggal pencairan gaji itu tidaklah pasti; bisa maju, bisa mundur. Tentu saja, jika tanggal pencairan gaji itu bisa dipastikan, transaksi ini diperbolehkan. (Ibnul Mulaqqin Asy-Syafi'i, Al-Iflam bi Fawaid 'Umdah Al-Ahkam, juz 7, hlm. 78, terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan pertama, 1421 H)



Syekh Abdullah Aba Buthain mengatakan, “Sedangkan yang dimaksud dengan transaksi jual beli 'habalul habalah' itu memiliki dua penjelasan. Yang pertama: orang jahiliah dahulu, sering kali, jika membeli unta atau barang dagangan yang lain secara tidak tunai, menetapkan bahwa jatuh tempo pembayaran adalah lahirnya cucu dari seekor unta betina. Berdasarkan hal ini, jual beli habalul habalah dilarang, karena adanya ketidakjelasan mengenai waktu jatuh tempo pembayaran.” (Ad-Durar As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyyah, juz 6, hlm. 8--9)



Syekh Abdullah Al-Bassam mengatakan, “Transaksi jual beli 'habalul habalah' dilarang karena jatuh tempo pembayarannya tidak jelas. Padahal, lama dan singkatnya waktu jatuh tempo pembayaran itu sangat mempengaruhi harga jual barang yang dibeli.” (Taisir 'Allam, juz 2, hlm. 143, terbitan Darus Salam, Riyadh, cetakan pertama, 1414 H)

Jadi, ketidakjelasan waktu pembayaran dalam transaksi jual beli yang tidak tunai adalah suatu hal yang terlarang. Lain halnya dengan transaksi utang-piutang. “Diperbolehkan menetapkan waktu jatuh tempo dalam transaksi utang-piutang. Akan tetapi, jika tanpa adanya waktu jatuh tempo maka malah itu yang lebih baik, karena hal tersebut meringankan beban orang yang berutang.” (Penjelasan Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Minhaj Al-Muslim, hlm. 336)







Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.

SOMBONG

Sering kali kita “terjerumus maupun terpeleset” kepada kondisi yang satu ini.

Bagaimana mungkin kita boleh “membiarkan” hal ini terjadi kepada kita, padahal telah nyata-nyata Allah sangat Murka terhadap sifat yang satu ini.

Sombong tidaklah seperti yang kita duga, hanyalah kita bersifat “arogan maupun pongah”. Namun suatu “sifat” yang sering kali kita tidak menyadari, menghinggapi dalam diri kita, walaupun sekedar di dalam hati.



Berikut ada beberapa hadits tentang kesombongan, pengertian sombong, sebab-sebab terjadinya sombong, dan bagaimana agar kita terhindar / selamat dari sifat sombong tersebut.



Semoga bermanfaat.



QS Luqman;18:

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri"



(MUSLIM - 131) : Dari Abdullah bin Mas'ud dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan." Seorang laki-laki bertanya, "Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai yang bagus, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.



(BUKHARI - 5610) : Haritsah bin Wahb Al Khuza'i dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Maukah kalian aku beritahu penduduk surga? Yaitu setiap orang yang lemah dan diperlemah. Sekiranya ia bersumpah atas nama Allah pasti Allah akan mengabulkannya, Maukah kalian aku beritahu penghuni neraka? Yaitu Setiap orang yang keras (hati), congkak dan sombong." Muhammad bin Isa berkata; telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Humaid At Thawil telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik dia berkata; "Sekiranya ada seorang budak dari budak penduduk Madinah menggandeng tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sungguh beliau akan beranjak bersamanya kemana budak itu pergi."



Penjelasan :



Telah jelas dalam Al Qur’an, surah Luqman ayat 18, bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang Sombong lagi Membanggakan Diri.



Apa arti dari sombong itu sendiri?



Dalam Hadits riwayat Muslim diatas dijelaskan, bahwa Sombong adalah Menolak kebenaran dan meremehkan manusia.



Dalam Fathul Baari, dijelaskan bahwa, Raghib Al Asfahani : mengatakan "Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri. Memandang dirinya lebih besar dari pada orang lain, Kesombongan yang paling parah adalah sombong kepada Rabbnya dengan menolak kebenaran dan angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatan ataupun mengesakan-Nya". (Fathu lBaari' 10/601)



Sebab-sebab terjadinya sombong



Sombong terjadi, karena kurangnya ilmu dan iman kita kepada Allah. Berikut adalah beberapa sebab yang menyebabkan kita menjadi sombong :



- Merasa ilmu yang dimilikinya lebih dari orang lain.

- Merasa amal ibadahnya lebih banyak, lebih sholeh, lebih memiliki ilmu dari orang lain.

- Merasa berasal dari keturunan bangsawan, terhormat.

- Merasa memiliki ketampanan/kecantikan ke-rupawanan- fisik.

- Merasa memiliki kekayaan yang lebih dibandingkan orang lain.

- Merasa memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan orang lain.

- Merasa memiliki kekuatan.

- Merasa memiliki pengikut yang lebih banyak dan lain-lain.

- Sanjungan yang berlebihan dari orang lain juga dapat menimbulkan kesombongan pada diri kita sendiri.

- Bergaul dengan orang-orang yang terhinggapi penyakit sombong ini juga.



Dan lain-lain, yang pada intinya, bahwa seseorang itu merasa lebih dari pada orang lain dan tidak mau mengakui kelebihan orang lain, walaupun perasaan tersebut tidak diungkapkan melalui kata-kata dan hanya diutarakan dalam hati.



Padahal kalo kita telaah lebih mendalam lagi, apalah artinya ilmu kita saat ini kalo bukan karena rahmat dan kasih sayang Allah, yang memberikan kita pengetahuan, kemauan belajar, ,pemahaman yang cepat, dll. Bila Allah berkehendak, tentulah mudah buat Nya untuk mengambil ilmu yang telah kita dapat, dengan memberikan sedikit penyakit lupa, dsb.



Bila kita telah mengetahui sebab-sebab terjadinya sombong, maka kita perlu mengetahui pula, tanda-tanda sombong itu sendiri.



Berikut tanda-tanda sombong, yang mana kita harus berusaha untuk menghindari tanda-tanda ini.



- Ketiadaan Iman, tidak percaya kepada kekuasaan Allah, dsb.

- Cinta dunia, lupa akhirat, lupa bahwa segala sesuatu adalah berasal dari Nya dan akan kembali kepada Nya.

- Kufur nikmat, selalu merasa kurang atas pemberian Allah, tidak pernah puas atas segala pemberiannya.

- Ingkar terhadap kekuasaan Allah, merasa diri sendiri adalah yang paling hebat, lupa bahwa Allah adalah penguasa segala-galanya.

- Kikir dan berlaku sewenang-wenang terhadap orang lain.



Setelah kita mengetahui tanda-tanda sombong seperti tertera diatas, maka yang paling utama adalah bagaimanan kita menghindari agar tidak terhinggap sifat sombong sebagai berikut.



1. Memandang orang lain yang lebih baik daripada kita dalam hal yang lain, misalnya kita mungkin saja memiliki ilmu pasti lebih baik, namun barangkali orang lain memiliki ilmu ekonomi yang lebih baik dibandingkan kita.



2. Selalu mengatakan bahwa Allah telah menutupi aib-aib / kejelekan kita dimuka umum. Seandainya Allah membuka aib / kejelekan/ kekurangan kita, pastilah orang lain akan menganggap rendah kita sehingga dengan selalu beranggapan seperti itu, Insya Allah kita bisa menghilangkan sifat sombong dari diri kita.



3. Apabila kita melihat orang lain yang melakukan maksiat maka kita harus berkata dalam hati bahwa orang yang melakukan maksiat itu tidak mengetahui maksiat yang dilakukan itu sangatlah berdosa



4. Bila kita melihat orang kafir pun kita tidak boleh sombong karena mungkins saja suatu sa’at mereka akan diberi hidayah oleh Allah sehingga dia masuk islam dan meninggal dalam ke adaan khusnul khotimah.



5. Berusaha untuk bersifat Tawaddhu yaitu ketundukan kepada kebenaran dan menerima dari siapapun datang baik ketika suka atau dlm keadaan marah. Arti janganlah kita memandang diri kita berada di atas semua orang. Atau kita menganggap semua orang membutuhkan diri kita.



Demikianlah, dengan mengetahui sifat-sifat sombong, dan tanda-tandanya, serta tips agar kita bisa terhindar dari sifat sombong tersebut, maka kita berdoa, semoga kita bisa terhindar dari sifat-sifat sombong, dan Allah berkenan untuk memasukan kita kedalam Surga..



Amin...



Wallahua'lam bishowab

BAKHIL DAN MENCINTAI HARTA

PERKATAAN-PERKATAAN sinonim dengan "bakhil" ialah "kedekut", "kikir" dan "lokek". Dalam konteks agama Islam, maksud bakhil lebih dikhususkan kepada sifat atau keadaan seseorang yang berat hati dan tangan, amat sayang atau langsung tidak mau membelanjakan hartanya atau apa yang dimilikinya sebagai sedekah, zakat, pertolongan, bantuan atau derma, baik kepada orang perseorangan (kadang-kadang kepada dirinya sendiri) yang memerlukan bantuannya atau kepada keluarga atau kepada orang banyak (masyarakat) yang mengusahakan prilaku kebajikan, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan urusan menegakkan agama, meninggikan syi'ar Islam atau urusan yang berkaitan dengan kehidupan di akhirat.

Sikap dan tindakan orang bakhil seperti yang demikian itu adalah amat bertentangan dengan anjuran Allah Ta'ala sebagaimana yang dimaksudkan dalam firman-firmanNya.

Dan bertolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan ketakwaan dan janganlah kamu bertolong menolong dalam berbuat dosa dan kemungkaran. (QS. 5:2)

Justru, sifat bakhil itu amat dicela oleh agama Islam. Allah Ta'ala berfirman, maksudnya :

Janganlah orang-orang yang bakhil dengan apa yang Allah kurniakan kepada mereka dari kurnia-Nya mengira bahwa kebakhilan itu baik bagi diri mereka. Tidak, bahkan buruk bagi mereka. Akan dikekangkan harta yang dibakhilkan itu ke leher mereka pada hari kiamat_ (QS. 3:180).

Di dalam hadits dikatakan,

Takutlah kamu akan bakhil, karena bakhil itu pernah membinasakan orang-orang dahulu dari kamu, sehingga mereka suka mengalirkan darah sesama mereka dan menghalalkan segala yang di haramkan ke atas mereka.

Tidak masuk syurga orang yang bakhil, penipu, pengkhianat dan orang jahat perangainya.

Sifat bakhil itu berawal dari sikap terlalu sayang harta yang juga dicela oleh syara', karena cinta harta itu bisa mengakibatkan kelalaian pada mengingat Allah, mengerjakan ibadat dan memalingkan mata hati kepada dunia semata-mata.

Firman_ Allah S.W.T.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta kamu dan anak- anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa_ berbuat demikian, maka mereka adalah orang-orang yang rugi._ (QS._ 63:9).

Kamu sekalaian telah dilalaikan oleh perlombaan memperbanyak harta. (QS. 105:1).

Dalam sebuah hadits dikatakan:

Tiada dua ekor serigala yang berbahaya kepada kelompok kambing, lebih banyak kerusakannya daripada kerusakan agama seseorang muslim yang amat mencintai kehormatan, harta dan pangkat.

Tergolong dalam kategori orang yang mencintai harta ialah orang-orang yang tidak berharta tetapi hatinya mencintai harta dan orang-orang berharta yang tidak jelas kebakhilan mereka namun ternyata mereka terlalu mencintai harta mereka. Orang yang mencintai harta tetapi berlagak sebagai pemurah atau memperlihatkan perbuatan bermurah hati supaya disebuat orang sebagai pemurah (riya' )juga dianggap sebagai orang yang bakhil dan dia dicela oleh syara', karena riya' dan mencintai harta itu adalah tercela.

Terlalu mencintai harta membawa kepada sikap tamak menuntut harta sedangkan tamak itu sendiri adalah sifat tercela. Tamak menuntut harta itu membawa kepada kelalaian dalam mengerjakan ibadah dan mengingat Allah Ta'ala.

Meskipun demikian, harta itu sendiri bukan tercela dan tidak harus dijauhi. Dalam keadaan tertentu, menuntut dan memiliki harta itu tidak tercela, malah dianjurkan. Kata Imam al-Ghazali r.a "Awalnya harta ada kalanya dipuji oleh syara' adakalanya dicela oleh syara'. Harta yang dipuji oleh syara' itu ialah harta yang sebagian daripadanya disedekahkan, dijadikan bekal untuk menunaikan ibadah, umpamanya ibadah haji, dan harta yang dibelanjakan untuk manfaat akhirat. Harta yang dicela oleh syara' ialah harta yang dibelanjakan untuk perbuatan-perbuatan maksiat dan untuk memenuhi nafsu yang tidak membawa manfaat akhirat".

Jadi, harta itu tidak bisa dikatakan buruk semuanya ataupun baik semuanya. Dalam al-Qur'an terdapat juga ayat-ayat yang bermaksud menunjukkan gambaran yang baik tentang harta. diantaranya :

Diwajibkan ke atas kamu apabila salah seorang dari kamu didatangi maut jika dia meninggalkan kebaikan (harta) berwasiat untuk iba bapa dan kaum kerabat secara baik (adil)._(QS. 2:180).

Dan Dia (Allah) membanyakkan harta dan anak-pinak kamu dan Dia mengadakan bagi kamu kebun-kebun dan menciptakan bagi kamu sungai-sungai.-(QS.71:12).

Didalam sebuah hadits, mafhumnya:

Sebaik-baik harta yang baik itu untuk orang yang baik pula.

Binasalah orang yang mengumpulkan harta kekayaan kecuali orang yang membelanjakannya kepada hamba-hamba Allah (orang-orang berhajat kepadanya).

Yahya bin Mu'az berkata,

"Harta itu laksana kala jengking, jika tidak pandai memeliharanya, janganlah engkau menyimpannya, sebab jika ia menyengat niscaya matilah engkau disebabkan bisa racunnya". Ketika ditanya bagaimana cara memeliharanya, Yahya menjawab, "Mengambilnya di tempat yang halal, lalu membelanjakannya pada tempat yang hak atau benar".

Ternyata harta dan usaha mencari harta itu bisa jadi baik dan bisa jadi buruk, bergantung kepada cara mencari harta itu dan tujuan penggunaanya. Terlalu cinta harta (tamak), memburunya sampai melalaikan dan membawa kepada bakhil atau harta itu dibelanjakan kepada perkara yang sia-sia, maka harta itu menjadi buruk.

Karena itu, orang yang terlibat (pencari dan pemilik harta) perlulah mengetahui faedah dan bencana harta itu.

(a) Faedah Harta:

Untuk diri sendiri dan keluarga dalam urusan yang berkaitan dengan ibadat :

Dibelanjakan untuk menuntut ilmu, menunaikan fardhu haji atau keperluan hidup sehari-hari

Faedah untuk orang lain (masyarakat):

Untuk menunaikan pengeluaran zakat dan sedekah.

Membayar (upah) kepada orang lain.

Sumbangan untuk projek-projek tertentu bagi kebajikan orang banyak dan meninggikan syi'ar Islam ( wakaf atau sedekah jariyah).

Memberi hutang kepada yang orang benar-benar memerlukannya untuk urusan yang tidak bertentangan dengan syara'.

(b) Bencana Harta:

Bisa menyebabkan pencari / pemiliknya menjadi hamba harta, tamak dan bakhil.

Harta kekayaan yang banyak bisa menyebabkan seseorang itu menjadi takabbur, sombong dan ujub, sebagaimana berlaku pada Qarun.

Harta bisa mempengaruhi pemiliknnya melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, mendorong hawa nafsu untuk mencapai nikmat yang diharamkan oleh syara' atau yang halal dengan cara yang haram atau pun secara mewah atau berlebih-lebihan (al-fudhul).

Melalaikan dari mengingat Allah. Lalu menjadi acuh dalam mengerjakan ibadah kepada Allah.

Kembali kepada bakhil, lawan bakhil itu ialah murah hati (sakha). Sifat murah hati adalah sifat ya ng terpuji di sisi syarak.

Allah s.w.t berfirman, mafhumnya :

Barangsiapa terpelihara diri mereka daripada bakhil maka merekalah yang orang-orang mendapat kemenangan (beruntung). (QS._ 59:9).

Rasulullah s.a.w bersabda, mafhumnya:

Pemurah hati yang jahil lebih dikasih oleh Allah Ta'ala_ daripada abid yang bakhil.

Murah hati itu adalah pohon yang tumbuh di dalam syurga, maka tidak masuk syurga itu melainkan orang yang murah hati. Dan bakhil itu adalah pohon yang tumbuh di dalam neraka maka tidak masuk neraka itu melainkan orang yang bakhil.

Dua sifat yang dikasihi oleh Allah ialah akhlak yang luhur dan dermawan.

Sedangkan dua sifat Yang dibenci oleh Allah ialah Akhlak yang jahat dan kebakhilan. Dan apabila Allah menghendaki diri seseorang itu kebajikan didorongkan-Nya agar dia menunaikan keperluan-keperluan orang banyak.

Tiada kurang harta karena memberi sedekah, tiada hina orang yang sabar ketika dizalimi, malah bertambah mulia.

Menurut ulama, orang yang murah hari (dermawan) itu dekat kepada Allah, dekat dengan manusia dan dekat dengan syurga tetapi jauh dari neraka. Orang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari manusia dan jauh dari syurga tetapi dekat dengan neraka. Orang jahil yang dermawan lebih dicintai oleh Allah daripada orang alim yang bakhil. Ingatlah penyakit yang paling parah sekali ialah bakhil.

Selanjutnya ulama mengatakan : Meninggalkan sifat bakhil itu menjadi murah hati. Murah hati itu membawa kepada banyak memberi sedekah. Banyak memberi sedekah itu membawa kepada kasih sesama manusia. Kasih sesama manusia itu alamat kasih Allah Ta'ala karena asal kasih manusia itu dari kasih Allah Ta'ala. Kasih Allah Ta'ala itu memasukkan hamba Allah tersebut dalam syurga tanpa hisab.

Ulama membagi manusia kepada empat golongan berdasarkan keadaan dan sikap mereka dalam hal yang berkaitan dengan ilmu dan harta :

(1) Golongan manusia yang dikurniakan Allah Ta'ala ilmu dan harta. Mereka takut akan Allah dan sadar harta itu hak Allah, lalu sebagian dibelanjakan di jalan Allah. Inilah golongan manusia pilihan.

(2) Golongan manusia yang dikurniakan Allah Ta'ala ilmu tanpa harta, tetapi mereka berniat akan berbelanja di jalan Allah jika berharta. Niat ini mendapat ganjaran pahala.

(3) Golongan manusia yang dikurniakan Allah Ta'ala harta tanpa ilmu dan bakhil lagi. Inilah sejahat-jahat manusia

(4) golongan manusia yang tidak dikurniakan Allah harta dan ilmu, dan berniat hendak berbelanja untuk tujuan keduniaan kalau berharta. Mereka berdosa juga.

Wallahua'lam bishowab

MASUK SURGA BUKAN KARENA AMAL

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ





“Tepatlah kalian, mendekatlah, dan bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” Para shahabat bertanya: “Termasuk juga anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”





Takhrij Hadits



Hadits di atas diriwayatkan dalam kitab berikut ini:




1. Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal no. 6463, 6464, 6467.


2. Shahih Muslim kitab shifat al-qiyamah wal-jannah wan-nar bab lan yadkhula ahadun al-jannah bi ‘amalihi no. 7289-7302.


3. Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab at-tawaqqi ‘alal-’amal no. 4201.


4. Musnad Ahmad bab hadits Abu Hurairah no. 8233, 9830, 10011, 14944; bab hadits ‘Aisyah no. 24985, 26386





Matan Hadits



Dalam riwayat al-Bukhari no. 6463, tuntunan Nabi saw terkait hadits di atas ada enam, yaitu:



لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا



“Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian.” Mereka bertanya: “Tidak pula anda wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku. Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai.”



Dalam riwayat al-Bukhari yang satunya lagi, no. 6464, Nabi saw di akhir pesannya menyatakan:



سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ



Tepatlah kalian, mendekatlah, dan ketahuilah bahwasanya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah itu adalah yang paling sering diamalkan walaupun sedikit.



Sementara itu, dalam riwayat Muslim no. 7299, tidak hanya disebut tidak akan masuk surga saja, melainkan ditegaskan juga tidak akan selamat dari neraka:



لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ



Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah swt.



Syarah Mufradat



Saddidu, asal katanya sadad; ketepatan, sesuatu yang tepat. Maknanya menurut Ibn Hajar, shawab; benar. Artinya, beramallah dengan tepat, benar, mengikuti sunnah dan penuh keikhlasan.



Qaribu yang bermakna ‘mendekatlah’ maknanya ada dua; pertama, jangan menjauhi amal seluruhnya ketika tidak mampu, dan kedua, jangan berlebihan dalam beramal sehingga merasa kelelahan dan bosan. Itu berarti ambillah pertengahan dalam beramal. Ketika malas tiba, bertahan dengan tidak meninggalkan amal seluruhnya, beramallah sedekat-dekatnya, tidak mampu 100% (sadad) beramallah 90% (qarib), dan ketika semangat tiba, beramal dengan tidak berlebihan karena akan menyebabkan kelelahan dan kejenuhan.



Ughdu artinya berpergianlah di waktu pagi, ruhu artinya berpergianlah di waktu sore, dan ad-duljah artinya berpergian di waktu malam. Kata ad-duljah disertai dengan kata syai` (syai` minad-duljah; sedikit/sesaat di waktu malam) karena memang berpergian di waktu malam cukup sulit. Menurut Ibn Hajar, ini seolah-olah isyarat agar shaum di sepanjang hari dari sejak pagi sampai sore, dan shalat tahajjud di sebagian malam. Walaupun, menurutnya, bisa juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya. Ibadah dalam hal ini diibaratkan dengan berpergian/perjalanan karena memang seorang ‘abid (yang beribadah) itu ibarat seseorang yang sedang berpergian dan menempuh perjalanan menuju surga.



Al-qashda maknanya pertengahan. Dijelaskan dalam riwayat lain sebagai amal yang rutin dikerjakan (dawam) walaupun sedikit-sedikit.



Taghammada diambil dari kata ghimd yang berarti sarung pedang. Taghammada berarti menyarungkan, atau dengan kata lain menutup (satr). Jika dilekatkan dengan kata rahmat dan ampunan, berarti menganugerahkan sepenuhnya (semua penjelasan dalam syarah mufradat ini disadur dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).



Syarah Ijmali



Muncul diskusi di kalangan para ulama terkait hadits di atas; benarkah masuk surga itu bukan karena amal? Jika demikian apa gunanya amal kita? Bagaimana pula kaitannya dengan firman-firman Allah swt berikut:



“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu amalkan”. (QS. An-Nahl [16] : 32)



Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7] : 43. Ayat semisal terdapat juga dalam QS. Az-Zukhruf [43] : 72)



Satu hal saja yang harus dicatat, semua ulama hadits tidak ada yang menyatakan bahwa hadits di atas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut. Semuanya menempuh metode jam’ (menyatukan, mengompromikan) karena memang hadits di atas jelas keshahihannya. Sebuah pertanda juga bahwa hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan dengan al-Qur`an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin Nabi saw menentang al-Qur`an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits sebagaimana akan diuraikan berikut ini.



Imam Ibn Bathal, sebagaimana dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan. Ayat-ayat yang menjelaskan masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah menempati tingkatan-tingkatannya itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu mutlak hanya berdasarkan rahmat Allah swt. Jadi, dengan rahmat Allah swt, seseorang ditentukan masuk surga dan tidaknya. Sesudah ada keputusan masuk surga, maka ketentuan masuk surga tingkatan yang mananya itu ditentukan berdasarkan amal.



Selanjutnya, Ibn Bathal menjelaskan, bisa juga maksud dari ayat-ayat dan hadits di atas adalah saling menguatkan. Artinya, masuk surga itu tergantung rahmat Allah swt juga amal-amal kita. Demikian juga, penentuan tingkatan yang mananya di dalam surga itu tergantung rahmat Allah swt dan amal-amal kita.



Imam al-Karmani, Jamaluddin ibn as-Syaikh, dan Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa huruf ‘ba’ pada ayat-ayat di atas bukan bermakna sebab (sababiyyah), melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi bukan berarti masuk surga itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu bersamaan adanya amal, karena sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah swt. Ini berarti bisa membantah pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya rahmat Allah swt saja. Juga membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu murni karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah swt.



Imam Ibn Hajar memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Amal seseorang walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya masuk surga jika pada kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah swt. Nah, persoalan amal itu diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah swt, dan ini mutlak berdasarkan rahmat Allah swt (semua pendapat ulama di atas dikutip dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).



Sementara itu, jawaban yang cukup panjang dapat ditemukan juga dalam salah satu risalah (tulisan ringkas) Imam Ibn Taimiyyah yang dikodifikasikan dan diedit ulang oleh Syaikh Muhammad Rasyad Salim dalam Jami’ur-Rasa`il, dalam risalah no. 9 berjudul risalah fi dukhulil-jannah hal yadkhulu ahadun al-jannah bi amalihi am yanqudluhu qauluhu saw la yadkhulu ahadun al-jannah bi ‘amalihi; risalah tentang masuk surga, apakah seseorang masuk surga itu disebabkan amalnya, ataukah terbantahkan dengan sabda Nabi saw seseorang tidak masuk surga dengan sebab amalnya. Hal pertama yang ditekankan oleh Ibn Taimiyyah adalah tidak mungkin hadits Nabi saw yang shahih bertentangan dengan al-Qur`an. Selanjutnya, Ibn Taimiyyah juga menyatakan, huruf ‘ba’ yang ada dalam hadits dan ayat di atas, kedua-duanya memang menyatakan sebab. Hanya tentunya, menurut beliau, ketika sesuatu dinyatakan sebagai sebab, bukan berarti bahwa sebab tersebut adalah satu-satunya sebab dengan meniadakan yang lainnya. Contoh sederhananya adalah air hujan yang dinyatakan sebagai sebab tumbuhnya tumbuh-tumbuhan di bumi (QS. Al-Baqarah [2] : 164 dan QS. Al-A’raf [7] : 57). Tentu yang dimaksud bukan hanya air hujan saja yang dapat menyebabkan tumbuh-tumbuhan itu tumbuh, melainkan juga ada sebab lainnya seperti angin, tanah, sinar matahari, yang kesemuanya itu sangat tergantung pada rahmat dan anugerah dari Allah swt.



Hadits yang disampaikan Nabi saw di atas, menurut Ibn Taimiyyah, mengajarkan kepada kita untuk tidak memahami hubungan amal dan surga sebagai mu’awadlah; timbal balik, balas jasa, atau ganti rugi. Hal itu disebabkan pertama, Allah swt sama sekali tidak butuh terhadap amal kita, tidak seperti halnya seorang majikan yang butuh kepada para pekerjanya. Amal manusia untuk manusia sendiri, karena kalaupun semua manusia tidak beramal Allah swt tidak ‘peduli’, Dia akan tetap sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa (Lihat QS. Al-Baqarah [2] : 286, Fushshilat [41] : 46, an-Naml [27] : 40).



Kedua, amal seorang manusia tidak diwujudkan oleh dirinya sendiri, melainkan berkat anugerah dan rahmat Allah swt juga, mulai dari menghidupkannya, memberi rizki, memberi tenaga, kesehatan, mengutus rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab, menjadikannya cinta kepada keimanan dan menjadikannya benci terhadap kekufuran. Semua itu adalah berkat rahmat Allah swt.



Ketiga, amal seorang manusia setinggi-tingginya tidak akan senilai dengan pahala yang diberikan Allah kepadanya, karena dalam pahala itu Allah swt sudah melipatgandakannya dari mulai 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang tidak dapat terhitung nilainya.



Keempat, nikmat dan kesenangan yang telah diberikan Allah swt kepada manusia selama di dunia, walau bagaimanapun tidak akan mampu dibayar oleh manusia. Seandainya manusia diharuskan membayarnya dengan amal, pasti mereka tidak akan mampu beramal untuk membayarnya. Padahal jelas, manusia bisa beramal itu berkat nikmat-nikmat Allah swt tersebut.



Kelima, manusia selalu diliputi oleh dosa dan kesalahan. Seandainya saja tidak ada ampunan Allah swt dan kebijaksanaan-Nya untuk hanya mempertimbangkan amal-amal yang baik saja, dengan mengenyampingkan amal jeleknya, tentu manusia tidak akan mungkin masuk ke dalam surga (Lihat QS. Az-Zumar [39] : 33-35, al-Ahqaf [46] : 16). Inilah di antara maksud sabda Nabi saw: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”



Dari uraian panjang ini bisa ditarik kesimpulan bahwa amal tetap sebagai penyebab adanya balasan surga. Hanya berdasarkan hadits ini seseorang tidak boleh ta’ajjub (berbangga diri) dengan amalnya sendiri, karena di sana pasti ada peran rahmat Allah swt. Dengan hadits ini juga seseorang tidak perlu takalluf (mempersulit diri) dengan amal-amal yang dikerjakannya. Tetap optimis dengan amal-amal yang sudah, sedang dan harus dikerjakan, sebagaimana tuntunan Nabi saw: saddidu, wa qaribu, wa absyiru, wa-ghdu, wa ruhu, wa syai`un minad-duljah, wal-qashda wal-qashda, semuanya itu pasti akan menyebabkan kita tablughu; sampai pada cita-cita yang diidamkan (surga).



Wallahua'lam

KE MASJIDIL HARAM AKU BERBECAK

Kisah yang memotivasi, namun sudah cukup lawas (tahun 2000), mudah-mudahan masih bermanfaat.



Ke Masjidil Haram Aku Berbecak



Menabung 39 tahun, tukang becak dan tukang sayur berangkat haji. Modalnya sederhana, hemat, dan tekun.



WANITA berjilbab kembang-kembang itu melompat pelan. Pengemudi becak yang ditumpanginya, dengan napas kembang kempis, menyeka keringat yang berleleran di keningnya. Bercelana pendek dan bertopi koboi, Wamir, pengemudi becak itu, masuk ke pelataran kantor Departemen Agama Brebes, Jawa Tengah. Istrinya, wanita tua berjilbab tadi, mengekori. "Pak, pinten ongkosipun mangkat kaji tiyang kalih (Pak, saya mau naik haji, berapa ongkosnya berdua,)" kata Wamir kepada petugas urusan haji. Sesaat si petugas menakar tak yakin, lalu memberikan keterangan

lengkap dan mengantarkannya ke bank BRI.



Lelaki sepuh berumur 65 tahun itu mengarahkan becaknya ke bank. Uang sejumlah Rp 35.516.000 yang dibungkus kain pun berpindah tangan. "Saya sudah pasrah, uang itu untuk naik haji. Sekarang uang saya tinggal puluhan ribu saja," lanjut Wamir usai membayar. Ditemani hujan rintik-rintik, pasangan itu pulang dengan senyum

sumringah.



Wamir dan Suri'ah pantas gembira. Biaya memenuhi rukun Islam kelima itu didapatnya dari menggenjot becak dan menjual sayuran. Saban harinya, lelaki berperawakan kecil itu mangkal di pasar Brebes. Seusai salat subuh, bersama

Suri'ah yang sudah siap dengan sayur dan bumbu masak dagangannya, mereka berangkat bersama. "Saya tak pernah ngoyo. Ada rezeki, Alhamdulillah, dikumpulkan. Tak ada, ya berdoa dan berusaha," kata Wamir. Tetangganya di

Kampung Pasarbatang menyebut pasangan itu seperti mimi lan mintuna alias Romeo dan Juliet.



Padahal, sejak menikah pada l950, kehidupan mereka amat miskin. Orangtuanya hanya mewariskan rumah kumuh. Maklum, orangtua Wamir hanya petani penggarap. Waktu melaju, hingga menapaki usia perkawinan ke-10. Saat dikaruniai satu anak, Wamir berpikir untuk mengganti pekerjaan. Wamir mencari utangan untuk membeli sebuah becak seharga Rp 15.000.



Hari pertama mengayuh becak menjadi pengalaman menyakitkan buat Wamir. Dari pasar Brebes (kota) ke Tegal yang jaraknya sekitar 15 kilometer cuma dibayar Rp 10. Karena Wamir prigel dan ramah, dia cepat mendapat langganan. Selain pesaingnya masih sedikit, Wamir melengkapi becaknya dengan pelbagai aksesoris, macam lampu dan bel. "Berbeda dengan mencangkul yang hanya menggerakkan tangan dan badan, mbecak bergerak seluruh badan. Rasanya tulang mau patah-patah," kenangnya. Obatnya murah, pijatan sayang sang istri.



Serbuan becak-becak ke Brebes, pada l976, membuat langganan Wamir berkurang. Uang tabungan sejak l960 dialihkan ke usaha bawang merah. Dia juga berjualan ayam dan kayu bakar. Meski sedikit, Wamir telaten menyimpannya. "Pikiran saya suatu saat akan naik haji, seperti pak kyai," katanya polos. Wamir yang buta huruf seolah hanya berkarya dan bekerja, tanpa pamrih. "Bisa menabung Rp 1.000, sudah lumayan," tambahnya. Tiga tahun lampau, ketika Indonesia belum dilanda krisis moneter, biaya haji baru Rp 8 juta. Tapi, uang Wamir belum cukup.

Alhamdulillah, sepanjang tiga tahun ini, rezeki Wamir mengalir lancar. Penumpang yang biasanya hanya lima, terkadang mencapai puluhan sehari. Apalagi, harga bawang merah juga ikut melonjak.



Sampai suatu ketika, beberapa pekan lalu, Wamir dan Su'riah menyisakan waktunya selama tiga hari untuk menghitung uang yang disimpan di rumah. Masya Allah, jumlah uang yang terkumpul ada sekitar 35,5 juta. "Saat itu saya berpikir, wah ini untuk bangun rumah saja," katanya. Tapi, istrinya marah-marah. "Dulu, kita kumpulin uang untuk naik haji. Rumah kan tak dibawa mati," kata Suri'ah, mengingatkan suaminya.



Wamir terhenyak. Paginya, mereka sepakat mendaftar haji. Ternyata, masa pendaftaran sudah ditutup. Oleh tetangganya yang kerja di sana, diberitahu akan ada pendaftaran susulan menunggu hitungan kuota provinsi Jawa Tengah. Harap-harap cemas menunggu, kabar dari Semarang pun tiba, jamaah Brebes bisa ditambah. "Kami mendaftar di urutan kedua," kata Wamir dengan wajah cerah.



Kini, di rumahnya yang sederhana, hanya berisi satu set kursi lusuh, lemari, dan dipan, Wamir dan Su'riah -yang ditemani empat dari sepuluh cucunya- setiap malam mengaji, salat tahajud, dan salat taubat. Karena sibuk manasik haji, maka Wamir sementara stop mbecak. Meski begitu, mereka sesekali kelihatan di pasar. "Kami tetap bekerja untuk bekal di Makkah dan ditinggal buat cucu," kata Wamir. Keduanya berniat tak akan berganti pekerjaan sepulang dari tanah suci. Hanyafrekuensinya akan dikurangi, sebab Wamir akan berkonsentrasi ke bawang merah. Berhaji dengan perasan keringat, mudah-mudahan mabrur. Amien.



A. Latief Siregar, dan H. Khoiri Ahmadi (Brebes)

JILBAB

Assalaamu'alaikum wr.wb.



Sungguh aneh sifat manusia.

Banyak yang merasa suatu yang ADA adalah yang tampak, terdengar, dan terasa oleh panca indera



Keriput pada kulit adalah nyata dan terlihat mata maka banyak orang berusaha menghindarinya

Kegemukan adalah nyata dan terlihat mata maka banyak orang berusaha menghindarinya.

Kematian adalah nyata dan terlihat mata maka banyak orang berusaha menghindarinya.

Banyak biaya yang dikeluarkan untuk menghindari itu semua.

Banyak waktu dihabiskan untuk mengindari itu semua.



DOSA dan PAHALA adalah sesuatu hal yang tidak bisa dibaca panca indera.

Maka banyak yang menganggapnya TIDAK ADA.

Maka banyak orang bersikap tak ada waktu yang perlu dihabiskan dan tak ada biaya yang perlu dihabiskan untuk menghindari DOSA dan meraih PAHALA.



KEHORMATAN MARTABAT MANUSIA adalah sesuatu yang tidak bisa dibaca panca indera.

Maka banyak yang mengganggap TIDAK ADA.

Maka banyak orang bersikap tak ada waktu dan biaya untuk meraihnya.



JILBAB, adalah sarana untuk menghindari DOSA dan meraih PAHALA.

JILBAB, adalah sarana untuk meraih KEHORMATAN MARTABAT MANUSIA

Mengapa banyak yang tidak punya waktu dan tidak punya biaya untuk memakainya

Mengapa banyak yang menganggapnya TIDAK ADA KEWAJIBAN mengenakannya.



Begitu juga urusan lainnya..................................

Urusan menjadi manusia yang benar-benar manusia..............

Urusan menjadi manusia sebagai hamba dari Tuhannya , Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Mengapa banyak yang tidak punya waktu dan biaya melaksanakannya.

Mengapa banyak yang menganggapnya TIDAK ADA.

SIAPA YANG BERHAK MENGAMBIL KEPUTUSAN TENTANG SUATU HUKUM/MASALAH

Dengan semakin meningkatnya para penuntut ilmu, dalam mempelajari Al Qur'an dan Hadits saat ini, dan yang mana kadang kala mereka seringkali menolak atau "mendebat" pendapat-pendapat para ulama terdahulu, maka dengan ini kami berikan pemaparan tentang hukum "menentukan kaidah hukum/hukum sesuatu hal" atau yang lebih terkenal dengan "berijtihad" yang diambil dari satu kitab Fikh yang cukup Terkenal, yaitu Bulughul Maram, dan yang kami tuliskan disini adalah Syarah Bulughul tentang syarat-syarat berijtihad, dan siapa saja yang boleh berijtihad.



Hal ini ditujukan agar setiap orang mengetahui bahwa dilarang "berijtihad" atau "menentukan kaidah / hukum suatu hal" bila kita belum memenuhi syarat-syarat seorang mujtahid. Selain itu, agar kita tidak tergelincir, dengan mudahnya mengeluarkan "fatwa" maupun pendapat yang bisa berlawanan dengan ijtihad para ulama-ulama terdahulu.



Berikut ada penjelasan tentang Makna Ijtihad dan syarat-syarat menjadi seorang Mujtahid (yang berhak melakukan ijtihad) dalam menentukan hukum, diambil dari Syarah Bulughul Maram, karangan Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam.



Semoga bermanfaat, mohon maaf bila sudah pernah membaca.



Ijtihad : adalah upaya keras seorang ahli fiqh dalam memperoleh hukum syariat yang bersifat praktis melalui jalan pengambilan hukum. Pengertian upaya keras adalah seseorang melakukan upaya apa saja yang ia mampu demi mengetahui hukum syariat sampai ia merasa tidak mampu untuk menuntut yang lebih.

Orang yang melakukan upaya keras ini dalam rangka mencari hukum syariat harus seorang ahli fikih, karena selain ahli fikih, maka ia bukan orang yang berkompeten untuk dapat sampai ketujuan. Dengan demikian ijtihadnya tidak dapat dianggap dan ia tidak dinamakan seorang mujtahid. Sama halnya seperti orang yang tidak pernah belajar ilmu kedokteran melakukan upaya keras untuk mengetahui penyakit bagian dalam seorang pasien tertentu dan melakukan pengobatan yang biasa dilakukan untuk penyakit ini.



Syarat-syarat Seorang Mujtahid.



Parai ahli ushul fikih mengharuskan terpenuhinya beberapa syarat untuk kelayakan menjadi seorang mujtahid (pantas untuk berijtihad).



Ringkasannya sebagai berikut :



Pertama, hendaknya ia orang yang sangat mengerti mengenai Al Qur'an, yaitu dari sisi etimologinya dengan mengetahui Kosakata, susunan kalimat dan keistimewaannya. Hal itu dapat dicapai dengan penguasaannya terhadap beberapa disiplin ilmu lainnya seperti penguasaan Kosakata bahasanya, nahwu, shorof, bayan dan ma'ani, juga dengan jalan mempelajari dan mempraktekan bahasa yang baik dalam penggunaan bahasa Arab.



Kedua, ia harus sangat mengerti mengenai hadits Nabi, yaitu dengan mengetahui seluk beluk matan (teks hadits) dan sanadnya (silsilah jalur hadits), mengetahui kondisi perawi, baik dan buruknya, yang mana hal itu dapat diketahui dengan klaim adil dari imam-imam hadits yang terpercaya seperti Imam Ahmad, Bukhari , Muslim dan ulama-ulama besar hadits di zamannya.



Ketiga, memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai ushul fiqh, berupa pengetahuan yang 'am, khash, muthlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan, nasikh, mansukh dan jalan memadukan serta mentarjih teks teks yang secara lahiriah bertolak belakang serta hal-hal lainnya yang dibutuhkan oleh seorang mujtahid dan sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam tempatnya, yaitu buku-buku ushul fiqh.



Apabila syarat-syarat diatas telah terpenuhi pada seorang ahli fikih, dan Allah SWT memberikan pemahaman yang benar kepadanya terhadap teks-teks Al Qur'an dan hadits, meminta pertolongan kepada Allah, banyak melakukan kajian dan pengulangan, kemudian meminta pertolongan dengan pendapat ulama-ulama terdahulu dan salaf, maka Allah SWT akan memberikan taufik kepadanya.



Kami (penulis kitab ini) juga menyalahkan seseorang yang "bodoh" melibatkan dirinya di dalam medan pertempuran yang berbahaya tanpa menggunakan "senjata".



Demikian penjelasan singkat dari Kitab Syarah Bulughul Maram, karya Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam.

Semoga bermanfaat.



Wallahua'lam

Apakah pahala yasinan sampai pada mayit

Berikut ada kajian fiqh dari syarah Kitab Bulughul Marom karya Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam tentang Apakah sampai pahala orang Yasinan, maupun pahala puasa kepada orang yang sudah mati?

Kajian ini bukan untuk "menyanggah" ulama / pembaca yang tidak sependapat dengan beliau, hanya sebagai dalil dan pengetahuan kepada orang-orang yang "sering" melakukan "yasinan" terutama di kalangan masyarakat Betawi (Karena masalah ini hingga saat ini adalah masalah khilafiyah diantara para ulama....wallahua'lam)

Berikut kajiannya, semoga bermanfaat.

Dari Ma'qil bin Yasar RA: Bahwa Nabi SAW bersabda, "Bacakaan surah Yaasiin kepada orang yang sedang sakaratul maut." (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i) dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban.

Peringkat Hadits

Hadits ini lemah. Ia diriwayatkan oleh Ahmad (19790). Abu Daud, lbnu Abu Syaibah (445/2), Ibnu Majah (1448), Al Hakim (753/1), Al Baihaqi (383/3) dan Adh-Dhiya` Al Maqdisi.

An-Nawawi dalam AI Adzkar mengatakan, "Isnad hadits ini lemah, sebab di dalamnya terdapat dua orang yang tidak diketahui. Namun Abu Daud tidak menilainya lemah." Ibnu Hajar mengatakan, "Hadits ini dinilai cacat oleh Al Qaththan karena mudhtharib, mauquf dan ketidaktahuan tentang dua (orang perawi, yaitu Abu Utsman dan ayahnya yang disebut dalam sanad."

Ad-Daruquthni mengatakan, "Hadits ini sanadnya lemah, matan-nya tidak diketahui. Dalam bab ini tidak satupun hadits shahih."

Hal-Hal Penting dan Hadits

Hadits ini dinilai shahih oleh beberapa ulama dan dinilai dha’if oleh yang lain. Hadits ini mempunyai dua kemungkinan makna.

Pertama, Maksudnya adalah membaca surah tersebut di samping orang yang sedang sakaratul maut. Dalam hadits ini diungkapkan sebagai mayit berdasarkan pertimbangan apa yang akan terjadi. Allah SWT berfirman. " Sesungguhnya kamu mayyitun (akan mati) dan sesungguhnya mereka (mayyituun) akan mati (pula)” (Qs. Az-Zumar [39): 30). Untuk itu disunnahkan membaca surah Yaaslin tersebut di sisinya.

Imam Ahmad (16521) mengatakan, kami diceritakan oleh Shafwan, dia berkata, para syaikh (guru) mengatakan, "Ketika surah Yaasiin dibacakan pada maka si mayit akan diperingan". Sanad riwayat ini dinilai shahih oleh Ibnu Hajar dalam Al Ishabah.

Penulis kitab AI Firdaus menceritakan dengan sanad dari Abu Ad-Darda` dan Abu Dzar, dia mengatakan; Rasulullah SAW bersabda,

"Tidaklah seorang mayit (yang sedang sakaratul maut), kemudian dibacakan surah Yaasiin di sisinya melainkan Allah akan memperingannya."

Syaikhul Islam mengatakan, "Disunnahkan membaca surah Yaasiin pada orang yang sedang sakaratul maut. Hikmah dibacakannya surah Yaasiin ini adalah karena surah tersebut mengandung tema kehancuran dunia, janji kebangkitan dan hari Kiamat, nikmat surga dan yang Allah sediakan di dalamnya. Dengan surah tersebut, mayit menjadi ingat hal-hal yang terkandung di dalamnya yang membuatnya menjadi zuhud dari dunia yang akan ditinggalkannya menuju akhirat yang akan didatanginya. Dengan begitu ruhnya dapat keluar dengan mudah. Dalam surah tersebut terdapat beberapa ayat yang menjadi dalil naqli dan aqli sehubungan adanya hari Kebangkitan dan kehidupan akhirat.

Kedua, maksud dari membaca surah Yaasiin tersebut adalah setelah kematian si mayit. Dengan begitu, yang diharapkan adalah menghadiahkan pahala bacaan surah Yaasiin kepada si mayit.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

Pahala-pahala ibadah yang dapat dihadiahkan kepada mayit terdapat dua kategori, kategori yang disepakati ulama dan kategori yang diperselisihkan.

Di antara kategori pertama (yang disepakati ulama) adalah:

1. Doa dan permohonan ampun untuk mayit. Dasarnya adalah firman Allah SWT, "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: `Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami ..." (Qs. Al Hasyr [59]: 10)

2. Sedekah. Dasarnya adalah riwayat Bukhari (1388) dan Muslim (1004) dari Aisyah RA. Bahwa Sa'ad bin Ubadah bertanya, "Ya Rasulullah, Ibuku meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berpesan. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah atas nama dia?" Rasulullah SAW menjawab, " Ya."

3. Haji dan Umrah. Dasamya adalah hadits riwayat Bukhari (1852) dari Ibnu Abbas, bahwa seorang wanita dari Juhainah bertanya, Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar haji, namun dia belum melakukannya hingga dia meninggal dunia. Apakah aku dapat berhaji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, " Ya, hajilah untuknya. Apa pendapat kamu, jika ibumu mempunyai utang. Apakah kamu akan membayarnya? Bayarlah (utang) Allah SWT. Sesungguhnya (utang) Allah lebih berhak dilunasi"

4. Puasa. Dasamya adalah Bukhari (1952) dan Muslim (1147) dari Aisyah, RA bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Siapa yang meninggal dunia dalam kondisi (berutang) puasa maka walinya boleh menggantikan puasanya."

Ibadah-ibadah di atas adalah ibadah-ibadah yang pahalanya —disepakati oleh ulama— dapat dihadiahkan kepada orang lain.

Syaikhul Islam mengatakan, "Para ulama sepakat bahwa mayit dapat mengambil manfaat dari doa yang dipanjatkan untuknya serta amal kebaikan yang dilakukan untuknya. Hal ini telah diketahui dalam agama Islam secara aksioma. Hal itu telah dibuktikan oleh Al Qur'an, Sunnah dan ijma'. Siapa yang menentangnya maka ia termasuk pelaku bid'ah. Mereka yang telah menerima hadits-hadits shahih ini tidak akan berpendapat beda. Yang berpendapat beda adalah mereka yang tidak menerima hadits-hadits tersebut. Hanya saja para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan kategori ibadah murni fisik (al badaniyyah al mahdhah), seperti shalat dan membaca Al Qur'an.

* Kalangan ulama Hanafiyyah, Hanabilah dan ulama rnutaakhirdari kalangan Syafi'iyyah dan Malikiyyah berpendapat pahala ibadah ini sampai kepada mayit dan orang yang masih hidup.

* Sementara kalangan ulama terdahulu dari kalangan Syafi'iyyah dan ulama terdahulu dan kalangan Malikiyyah berpendapat pahala ibadah kategori ini tidak sampai kecuali kepada pelakunya saja.

Mereka yang berpendapat tidak sampai pada orang lain, yaitu ulama tardahulu dari kalangan Syafi'iyyah, yang berargumentasi dengan beberapa dalil, diantaranya firman Allah SWT, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada nemperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Qs. An-Najm (53]: 39)

Ibnu Katsir mengatakan, "Sebagaimana seseorang tidak dapat menanggung dosa orang lain, maka ia juga tidak memperoleh pahala kecuali dari hasil usahanya endiri. Dari ayat ini, Imam Asy-Syafi'i dan yang mengikuti pendapatnya mengambil pendapat bahwa pahala bacaan Al Qur'an tidak dapat dihadiahkan kepada orang mati. Karena pahala itu bukan basil perbuatan dan usahanya."

Mereka juga berargumentasi dengan hadits riwayat Muslim (1631) dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

"Ketika seorang anak Adam meninggal dunia maka amalnya terputus kecuali tiga hal; anak shalih yang mendoakannya, sedekah jariyah dan ilmu yang dimanfaatkan (oleh orang setelahnya)."

Tiga hal ini, pada dasarnya, juga merupakan hasil amal dan usahanya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain, "Sesuatu yang dimakan oleh seseorang yang terbaik adalah (apa) yang diperoleh dari hasil usahanya. Anaknya termasuk hasil usahanya. (Begitu juga) sedekah jariyah." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (3528). Seperti juga pahala wakaf dan sejenisnya merupakan hasil usahanya. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas¬bekas yang mereka tinggalkan. ..." (Qs. Yaasiin [36]: 12)



Ilmu yang disebarkan kepada orang lain, jika dengan ilmu tersebut mereka memperoleh petunjuk juga merupakan amal dan hasil usahanya. Dalam Shahih Muslim (2674) terdapat hadits bahwa Nabi SAW bersabda, "Siapa yang mengajak menuju petunjuk (hudaa) maka baginya pahala sebesar pahala-pahala orang¬orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun."



Syaikhul Islam, Ibnu Taymiyah mengatakan, "Ibadah yang terbaik adalah ibadah yang sesuai dengan petunjuk Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya."



Ibnu Mas'ud mengatakan, "Siapa di antara kalian yang ingin mengikuti sunnah maka ikutilah sunnah ‘orang yang telah mati’. Mereka adalah para sahabat Rasulullah SAW"



Sebagaimana sudah diketahui, di masa-masa terbaik, para sahabat. menyembah Allah SWT dengan beragam bentuk ibadah yang syar'i, baik ibadah fardhu maupun sunnah. Mereka berdoa untuk orang-orang yang beriman, baik lelaki maupun perempuan —sebagaimana diperintahkan oleh Allah— dan baik untuk orang yang telah mati maupun yang masih hidup.



Melakukan shalat sunnah, puasa sunnah atau berhaji atau membaca Qur'an lalu menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang muslim yang telah meninggal dunia bukan termasuk kebiasaan mereka. Kebiasaan mereka hanya mendoakannya. Tidak selayaknya bagi orang-orang untuk meninggalkan cara-cara salaf. Itu adalah cara terbaik dan paling sempurna.



Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa pahala ibadah murni fisik dapat dihadiahkan mengatakan, "Di antara mereka adalah Ibnu Quddamah dalam karyanya, Al Mughni menuturkan beberapa hadits yang menunjukkan sampainya doa, sedekah, haji dan sejenisnya kepada mayit. Dia berkata; ‘Semua ini adalah hadits-hadits shahih. Di dalamnya terdapat petunjuk bahwa mayit dapat mengambil manfaat dengan ibadah-ibadah lain. Karena puasa, doa dan memohon ampun adalah kategori ibadah fisik (badaniyyah). Di sini Allah telah menyampaikan manfaatnya kepada si mayit. Maka demikian juga dengan ibadah¬ibadah lainnya'."



Dalam Syarh Az-Zad dan dalam buku-buku madzhab Hambali lainnya dijelaskan, ibadah apa saja, seperti doa, memohon ampun, shalat, puasa, haji, membaca Al Qur ' an dan selain itu semua yang dilakukan oleh seorang muslim dan pahalanya diberikan kepada muslim lain yang sudah meninggal dunia atau masih hidup maka ia memperoleh manfaatnya."



Imam Ahmad mengatakan, "Segala kebaikan sampai kepada mayit berdasarkan nash-nash yang berkaitan."



Ibnul Qayyim mengatakan, "Siapa yang berpuasa, atau melakukan shalat, atau bersedekah lalu memberikan pahalanya kepada orang lain, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup, maka pahala tersebut dapat sampai kepadanya menurut Ahlu Sunnah wal Jamaah. Pahala ini dapat sampai kepada yang dihadiahkan dengan niat untuknya. Namun mengkhususkannya untuk pelakunya adalah lebih balk. Ia dapat berdoa sebagaimana yang ada pada Al Qur'an n Sunnah.



Ibnul Qayyim membahas masalah ini dalam Ar-Ruh secara tuntas. Dia membenarkan sampainya pahala semua ibadah dan amal kebaikan kepada mayit. Untuk itu dia memberikan dalil dan memberikan argumentasi bantahan kepada mereka yang menentang pendapatnya. Di sini kami kutip sebagian kesimpulan pendapatnya agar pembahasan ini menjadi lebih sempurna. Berikut adalah tulisannya:



Para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan ibadah badanlyyah, seperti puasa, shalat, membaca Al Qur an dan dzikir.



Madzhab Imam Ahmad dan mayoritas ulama salaf berpendapat pahala tersebut sampai kepada mayit.



Madzhab Imam Malik dan Asy-Asy-Syafi'i berpendapat tidak sampai.



Dalil bahwa mayit dapat mengambil manfaat dengan apa yang tidak disebabkannya adalah:



1. Hadits, "Ketika seorang anak Adam meninggal dunia maka amalnya terputus kecuali tiga hal : anak shalih yang mendoakannya, sedekah jariyah dan ilmu yang dimanfaatkan (oleh orang setelahnya)." (HR. Muslim, 1631).



Dan hadits "Siapa yang melakukan perbuatan baik, maka la akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya. Siapa yang melakukan perbuatan buruk maka baginya dosanya dan dosa orang yang melakukan setelahnya ..." (HR. Muslim, 1017).



2. Bahwa mayit dapat menerima manfaat dari apa yang tidak disebabkan olehnya berdasarkan Al Qur'an, Sunnah, ijma' dan kaidah-kaidah hukum Syara'.



* Al Qur'an, Allah berfirman, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami ..." (Qs. Al Hasyr [59]; 10)



* Dalam Sunan Abu Daud (3199) terdapat riwayat dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda,
* "Jika kalian menshalati mayit maka ikhlaskanlah doa kepadanya”



* Dalam Shahih Muslim (974), Rasulullah SAW mengajarkan kepada ketika pergi menuju pekuburan, agar berkata, " Assalamu alaikum….”



* Sampainya pahala sedekah sebagaimana dijelaskan oleh hadits riwayat Bukhari (1388) dan Muslim (1004) dari Aisyah RA tentang seseorang yang berkata kepada Nabi SAW, "Ibuku meninggal dunia tanpa meninggalkan pesan. Apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah?" Beliau SAW menjawab, " Ya."



* Sampainya pahala puasa sebagaimana dijelaskan oleh hadits riwayat Bukhari (1952) dari Aisyah RA. "Siapa yang meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa untuknya"



Dalam riwayat Bukhari (1953) dan Muslim (1148) dari Ibnu Abbas. dia berkata, seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, "Ya Rasulullah. Ibuku meninggal dunia dan dia mempunyai tanggungan puasa satu bulan. Apakah aku dapat melakukannya untuknya?" Beliau menjawab, " Ya, utang Allah lebih berhak untuk dibayar."



* Sampainya pahala ibadah haji sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Bukhari(7315) dari Ibnu Abbas, seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, "Ya Rasulullah. Ibuku pernah bernadzar unutk haji, namun ia belum melaksanakannya hingga dia meninggal dunia. Apakah aku dapat berhaji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Berhajilah untuknya (utang) Allah lebih berhak dibayar."



Ibnul Qayyim mengatakan, "Demikian nash-nash yang saling memperlihatkan tentang sampainya pahala amal-amal kebaikan kepada mayit saat orang yang hidup melakukannnya untuknya. Ketika terdapat nash atau qiyas atau kaidah hukum syari'at yang menetapkan sampainya salah satu dari ibadah dan menghalangi sampainya pahala ibadah yang lain, maka keputusan bahwa semua pahala ibadah adalah sampai adalah keputusan berdasarkan qiyas. Pahala adalah hak bagi pelaku ibadah. Jika kemudian ia memberikannya kepada saudaranya sesama muslim maka hal itu tidak menghalanginya. Sebagaimana ia tidak dapat dihalangi untuk memberikan hartanya atau menghapuskan utangnya pada si mayit di saat hidupnya."



Dalil-dalil pendapat yang mengatakan bahwa pahala itu tidak sampai pada simayit melainkan kepada pelakunya saja



1. Allah berfirman, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Qs. An-Najm (53): 39)



"...la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya ..." (Qs. Al Baqarah 12]: 286)



2. Hadits " Ketika seorang anak Adam meninggal dunia maka amalnya terputus kecuali tiga hal..."



3. Ibadah terdiri dari dua kategori. Pertama, ibadah yang dapat digantikan oleh orang lain, seperti sedekah dan haji. Kategori ini pahalanya dapat sampai ke mayit. Kedua, adalah ibadah yang tidak dapat digantikan oleh orang lain sama sekali, seperti Islam, shalat, membaca Al Qur'an dan berpuasa. Kategori ini pahalanya hanya dikhususkan untuk pelakunya, tidak dapat sampai pada orang lain. Sebagaimana dalam hidup, ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain.



4. Dalam Sunan An-Nasa’i Al Kubra (174/2) terdapat riwayat dari Ibnu Abbas RA dari Rasulullah SAW Beliau bersabda,

"Jangan salah seorang shalat atas nama orang lain, dan berpuasa atas nama yang lain. Tetapi berilah makan atas nama orang lain."



5. Sampainya pahala ibadah pada orang lain untuk kategori ibadah ini adalah bertentangan dengan qiyas terhadap shalat, keislaman dan tobat.



Tidak ada satu orangpun yang dapat melakukan salah satu dari tiga hal tersebut atas nama orang lain.



Mereka yang berpendapat sampainya pahala ibadah kepada orang lain menjawab sebagai berikut:



Ibnul Qayyim mengatakan; Apa yang kalian katakan tidak ada yang bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, kesepakatan ulama salaf dan kaidah syara'.



Mengenai firman Allah SWT, "Dan seorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain." (Qs. Al An'aam [61: 164) dan firman-Nya, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Qs. An-Najm [531: 39). Kedua ayat ini menjelaskan tentang keadilan Tuhan bahwa Dia tidak akan menyiksa seorangpun karena dosa orang lain dan bahwa seorang manusia tidak akan bahagia kecuali dengan amal dan usahanya. Ayat pertama melindungi seseorang dari kemungkinan disiksa akibat dosa orang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh para raja di dunia. Sedangkan ayat kedua menghampakan ambisi seseorang bahwa dia akan selamat sebab amal perbuatan para orang tuanya, pendahulunya dan para gurunya, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang memiliki keinginan menipu tersebut. Renungilah kombinasi kedua ayat tersebut.



Ayat di atas tidak menafikan kemungkinan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain. la hanya menafikan pemilikan seseorang atas usaha orang lain. Kedua hal ini (mengambil manfaat dan memiliki) terdapat perbedaan yang nyata. Usaha orang lain tetap menjadi milik pelakunya. Selanjutnya jika dia ingin menyerahkannya kepada orang lain maka sah-sah saja. Sebaliknya jika dia ingin membiarkannya untuk dirinya sendiri, maka itu pun bisa-bisa saja.



Adapun argumentasi dengan hadits, "Ketika anak Adam meninggal dunia ..." adalah argumentasi yang gugur. Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengatakan. "Maka terputuslah dia dari menerima manfaat." Yang terputus adalah sesuatu yang berbeda dengan (pahala) yang sampai kepadanya.



Adapun pendapat bahwa jika amalnya dapat bermanfaat untuk orang lain maka tobat dan keislamannya juga dapat bermanfaat untuk orang lain. Jawabnya. Itu artinya menggabungkan beberapa hal yang dibedakan oleh Allah SWT.



Sebagaimana mengiyaskan riba dengan jual-beli dan hewan sembelihan secara syar’I dengan bangkai.



Adapun pembagian ibadah ke dalam dua kategori, kategori yang dapat digantikan dan kategori yang tidak dapat digantikan, maka dari mana Anda memperoleh pembedaan ini? Puasa atas nama mayit telah disyariatkan, padahal puasa termasuk kategori ibadah yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Fardhu kifayah juga disyariatkan padahal ketika ia sudah dilakukan oleh sebagian orang maka kefardhuan tersebut gugur dari yang lainnya.



Ibnul Qayyim telah membahas masalah ini secara panjang lebar. Pada akhirnya dia membenarkan sampainya semua amal kebaikan orang hidup kepada yang mati dan orang hidup lainnya. Semoga Allah mengasihinya.



Wallahua’lam bishowab

Menjual barang yang belum lunas, alias masih hutang

Menjual Barang yang Masih Utangan

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Ini adalah salah satu permasalahan dalam jual beli dan sering terjadi di tengah-tengah kita. Contoh kasusnya adalah si M membeli motor dari pihak A secara tidak tunai, lalu ketika masih belum selesai pelunasan ia menjualnya lagi pada pihak B secara tunai. Apakah jual beli semacam ini dibolehkan?



Syaikh Shaleh Al-Fauzan hafizhahullah sangat menekankan bahwa ada dua jual beli yang mesti dibedakan yaitu jual beli tawarruq dan jual beli ‘inah. Intinya, maksud beliau hafizhohullah, dua macam jual beli tersebut berbeda.[Syaikh Shaleh Al-Fauzan terangkan hal ini dalam Durus Fiqih Kitab “Al Muntaqa” (19 Muharram 1432 H).]

Berikut kami jelaskan dua macam jual beli tersebut. Semoga manfaat.



Definisi Jual Beli Tawarruq

Yang dimaksud jual beli tawarruq secara istilah adalah membeli suatu barang secara tidak tunai kemudian menjualnya lagi dengan tunai pada orang lain (bukan pada penjual pertama) dengan harga yang lebih murah dari harga saat dibeli.

Contoh: Ahmad membeli motor secara kredit (dengan kredit yang halal tentunya)[Di sini kami maksudkan kredit yang halal, karena ada bentuk kredit motor yang bermasalah (yang mengandung riba). Lihat bahasan rumaysho.com di sini: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2816-kredit-lewat-pihak-ketiga-bank.html] dari pihak A seharga 15 juta. Kemudian masih dalam tempo pelunasan utang, Ahmad sudah menjual motor tersebut pada pihak B dengan harga lebih murah, yaitu 13 juta.



Jadi, sebenarnya maksud Ahmad adalah ia butuh uang 13 juta. Namun, ia hanya punya uang untuk cicil motor sebesar 1 juta. Jadi ia membeli motor dengan uang cicilan 1 juta tadi, lalu masih dalam waktu pelunasan kredit, ia jual motor itu lagi pada pihak B dengan harga lebih murah, 13 juta secara kontan. Moga paham dengan gambaran ini.

Istilah jual beli tawarruq cuma kita temukan pada istilah pakar fiqih Hambali. Ulama madzhab lainnya memasukkan pembahasan jual beli di atas pada pembahasan “bai’ al ‘inah” (jual beli ‘inah).



Defini Jual Beli ‘Inah

Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah.



Contoh: Sufyan menjual motor pada pihak A seharga 15 juta dan pembayarannya dilunasi sampai dua tahun ke depan. Belum juga dilunasi oleh si A, Sufyan membeli lagi motor tersebut dari si A dengan harga lebih rendah yaitu 13 juta, dengan dibayar kontan.



Sebenarnya yang terjadi adalah si A butuh uang 13 juta. Jual beli motor hanyalah perantara namun maksudnya adalah untuk meminjam uang. Untuk maksud peminjaman ini, Sufyan yang ingin meminjamkan uang pada si A, menjualkan motor padanya. Lalu Sufyan beli lagi motor tadi dari si A dengan harga lebih rendah dari penjualan. Sama saja maksudnya adalah Sufyan meminjamkan uang pada si A 13 juta, nanti dikembalikan 15 juta, sedangkan motor hanya untuk mengelabui saja.



Semoga paham dengan gambaran di atas.



Sehingga, dari sini sebenarnya yang terjadi pada jual beli ‘inah adalah utang dengan kedok jual beli dan bermaksud mencari untung dari utang tersebut.



Padahal ada suatu kaedah para fuqaha yang ini dibangun di atas dalil,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا

“Setiap utang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”



Padahal, dosa riba telah jelas disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.” [HR. Muslim no. 1598, dari Jabir] Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman Al-Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang lainnya.”[Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64] Tentang dosa riba, lihat bahasan rumaysho.com di sini: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2620-memakan-satu-dirham-dari-hasil-riba-.html.



Hukum Jual Beli ‘Inah

Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqaha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau mungkin hanya melihat dari zhahir akad, menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:



Pertama: Untuk menutup jalan pada transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, itu sama saja membolehkan kita menukarkan uang 10 juta dengan 5 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.



Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Jika kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” [HR. Abu Daud no. 3462. Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 9/242]



Hukum Jual Beli Tawarruq

Mayoritas ulama membolehkan jual beli tawarruq, terserah ia menamakannya dengan tawarruq (sebagaimana dalam madzhab Hambali), atau ia menamakannya dengan istilah lain (bagi ulama selain Hanabilah). Alasan mereka yang membolehkan adalah keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَحَلَّ اللَّهُ البَيْعَ

“Allah menghalalkan jual beli.” (QS. Al-Baqarah: 275)



Alasan lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا

“Janganlah kamu melakukannya, juallah semua kurma itu dengan dirham kemudian beli dengan dirham pula.” [HR. Bukhari no. 4244, 4245 dan Muslim no. 1593, dari Abu Sa’id Al Khudri dan Abu Hurairah.] Hadits ini dimaksudkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan menukar langsung kurma kualitas bagus dan kurma kualitas rendah dengan takaran yang berbeda, artinya harus takarannya sama dan kontan. Sedangkan kalau kurma yang jelek kita jual dulu dan dapat sejumlah uang, lalu kita beli kurma bagus, maka ini dibolehkan. Ini artinya jika dalam satu transaksi tidak nampak bentuk dan maksud riba, maka tidak ada masalah. Sama halnya dengan jual beli tawarruq, sama sekali tidak ada bentuk riba di dalamnya. [ Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim melarang jual beli tawarruq. Namun yang lebih tepat adalah penjelasan di atas.]



Penutup

Sungguh berbeda dua macam jual beli tersebut. Perbedaan keduanya terlihat jelas. Jual beli ‘inah, kita menjual dan membeli lagi pada pihak yang sama. Sedangkan jual beli tawarruq, membeli dan menjualnya pada pihak yang berbeda. Sehingga dari sini jelas hukumnya berbeda. Jual beli ‘inah jelas mengandung trik riba.

Catatan yang perlu diperhatikan bagi orang yang ingin melaksanakan transaksi tawarruq adalah:



1. Karena tawarruq ada unsur utang piutang, maka seharusnya dilakukan dalam keadaan butuh sebagaimana juga dalam hal berutang. [Baca tentang Bahaya Utang di rumaysho.com: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/1739-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html]



2. Hendaknya barang yang dijual (setelah sebelumnya dibeli tidak tunai), benar-benar telah menjadi milik utuh si penjual, artinya benar-benar ia miliki dan kuasai, bukan dikuasai atau berada di pihak lain. [Lihat bahasan Ustadz Abu Mu’awiyah di sini: http://al-atsariyyah.com/masalah-at-tawarruq.html]



Pembahasan tawarruq ini juga menunjukkan bahwa barang yang sudah dibeli secara kredit sudah menjadi milik pembeli seutuhnya. Coba lihat bagaimana kelirunya perkreditan yang ada di negeri kita. Ketika kita membeli motor secara kredit, pihak perkreditan masih menganggap bahwa motor tersebut tetap miliknya. Maka apa yang terjadi jika sudah jatuh tempo pelunasan, motor masih belum dilunasi? Motor tersebut akan ditarik dari pihak pembeli. Padahal yang tepat, motor yang sudah dibeli secata kredit sudah jadi milik pembeli, bukan lagi milik penjual walaupun itu dibeli secara tidak tunai (alias utang).



Pahami pembahasan riba lebih jauh di bahasan berikut:



1. Memahami Riba Fadhl

2. Memahami Riba Nasi’ah

Semoga bahasan ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat.

Reference:

Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 14/147-148.

Faidah Durus Syaikh Shaleh Al-Fauzan (sesi tanya jawab), pembahasan kitab Al-Muntaqa, Sabtu, 19 Muharram 1432 H.

Minnatul Minnah Syarh Shahih Muslim, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Darus Salam, Riyadh, cetakan pertama, 1420 H.

www.rumaysho.com

Prepared in Riyadh KSA, in the blessing morning, 20th Muharram 1432 H (26/12/2010)

By: Muhammad Abduh Tuasikal