Rabu, 28 Desember 2011

Ikut merayakan hari raya agama lain


Oleh: Farid Nu’man Hasan
Pertanyaan: 

"Apakah ada yang bisa memberikan pencerahan baik secara dalil alquran, hadits, fatwa MUI atau apapun bagaimana sebenarnya muslim yang ikut merayakan Natal ( bukan ikut dalam ibadah Natal ).
Ada yang mengatakan itu akan merusak aqidah, akan tetapi ada juga yang mengatakan lemah sekali imannya kalau hal seperti itu bisa merusak aqidah.
Iman umat Islam tak mungkin bisa keropos hanya gara-gara mengucapkan selamat Natal atau ikut dalam perayaan Natal. Iman umat Islam justru akan diperkaya dalam dialog antarbudaya dan antaragama.

Sebenarnya Boleh atau tidak ya ? Mohon maaf sebelumnya saya sangat membutuhkan pencerahan bukan perdebatan." (Dari pembaca Islamedia)

Jawaban:

                Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

                Untuk mengetahui batasan-batasan pergaulan muslim dan non muslim, maka panduan kita adalah Al Quran dan As Sunnah, sebagai rujukan tertinggi umat Islam dan pedoman hidup bagi kaum muslimin. Bukan pemikiran untung rugi masing-masing manusia yang subjektif.

Perayaan Keagamaan Adalah Wilayah Aqidah Bukan Muamalah

                Persepsi ini harus dibangun dalam pemikiran kaum muslimin,  bahwa perayaan keagamaan adalah masalah aqidah, bukan masalah muamalah (hubungan interaksi sosial), bukan pula budaya. Dalam masalah aqidah kita memiliki batasan-batasan yang jelas, yakni: 

 لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
                “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al Kafirun (109): 6)

                Tidak sedikit kaum muslimin yang keliru dalam menempatkan teks-teks agama. Mereka berdalih dengan ungkapan: Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ungkapan ini benar jika ditempatkan dalam hubungan sosial, seperti pinjam meminjam, hutang piutang, kerja sama dalam kebaikan sosial, dan yang semisalnya. Dalam hal ini Islam sangat membuka diri dan luwes. Bahkan dalam hukum Islam, kaum kafir dzimmi mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam dan masyarakatnya. Mereka sama sekali tidak boleh diganggu, kecuali jika mereka mengumumkan perang terhadap umat Islam.

                Nah, mari kita lihat bagaimana Al Quran dan As Sunnah menyikapi perayaan hari besar keagamaan non muslim.

Kesetiaan Kaum Muslimin Hanya Kepada Allah, RasulNya, dan Kaum Muslimin

                Kita lihat ada sebagian kaum muslimin yang begitu enggan dengan undangan sesama muslim, ajakan saudaranya, dan acara sesama umat Islam, seperti majelis ta’lim dalam rangka menggali ilmu-ilmu agama. Tetapi anehnya, mereka bersemangat dengan ajakan dan undangan orang kafir kepada mereka. Sungguh aneh! Mereka pun merasa bangga dengan kebersamaannya dengan orang-orang kafir tersebut. Persis seperti yang Allah Ta’ala sindir dalam Al Quran.

                Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi  wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. An Nisa (4):139)

Ayat lainya: 

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman yang menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan mereka orang-orang yang ruku’ (tunduk). (QS. Al Maidah (5): 55)

Ayat lainnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah (5) : 51)
Apakah makna wali ? Wali jamaknya adalah auliya’ yang berati penolong dan kekasih. Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, yang mengusai (pemimpin).

                Maka, jelaslah bahwa umat Islam tidak dibenarkan menjadikan orang kafir sebagai penolong, kekasih, teman dekat, dan pemimpin mereka. Sebab wali kita hanyalah kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman.

                Ikut merayakan dan menghadiri hari raya mereka merupakan salah satu bentuk keakraban dengan mereka dalam hal keagamaan. Ini semua tercela. Kita terbuai dengan perangkap syetan yang ada dibalik istilah toleransi yang tidak pada tempatnya. Ditambah lagi, khususnya Natal, mereka menyebut apa yang mereka lakukan adalah budaya, atau dialog antar budaya, bukan ritual keagamaan. Ini merupakan talbis (perangkap) dan syubhat pemikiran yang menggelayuti pemikiran mereka. Dialog antar budaya bukan dengan mengikuti acara hari besar non muslim, yang merupakan simbol utama sebuah agama. Bukan duduk bersimpuh mendengarkan ayat-ayat mereka. Bukan ikut berdiri ketika mereka berdiri dan duduk ketika mereka duduk, dan bernyanyi ketika mereka nyanyi, lalu memakan makanan ritual keagamaan mereka, bertepuk tangan menyanjung mereka, dan ikut berbahagia atas perayaan mereka. Itu bukan dialog yang diinginkan Al Quran, walau bisa jadi itulah dialog yang diinginkan ala mereka. Itu bukan  memperkaya aqidah, tetapi ittiba’ bil kuffar (mengekor kepada kaum kuffar).

 Dialog itu adalah berdiskusi, tanya jawab, munazharah, debat yang baik, agar mereka mau menerima Islam; baik menerima menjadi agama mereka, atau menerima Islam sebagai  agama yang eksis dan mereka mau berdampingan dengan baik dan tidak saling menganggu.

Memperkaya aqidah adalah dengan banyak-banyak mengkaji Al Quran melalui para ahlinya, mempelajari As Sunnah, mempelajari sejarah para nabi dan orang-orang shalih, hidup bersama orang shalih dan kaum beriman, dan berbanggalah dengan itu.

Memperkaya aqidah bukan dengan berbasa basi dengan kekafiran dan penyimpangan mereka, bukan dengan mengikuti perayaan mereka, dan justru berbangga dengan itu, ini adalah sinkretisme yang dibaluti toleransi agama yang bukan pada tempatnya. 

Lalu, yang terpenting adalah bahwa larangan mengikuti hari raya mereka adalah bagian dari ta’abbudi (peribadatan) yang manshush ‘alaih (disebutkan dalam nash), yang sikap kita adalah dengar dan taat.  Turun atau tidak keimanan Anda,  tetap stabil atau labil keadaan iman Anda, maka larangan tersebut tetaplah berlaku. Larangan tersebut tetap ada walau pelakunya adalah seorang yang merasa sangat shalih dan mukmin, dan mampu menjaga keimanannya.

Peringatan Allah Ta’ala Bagi Kaum Muslimin

                Jauh-jauh hari, 15 abad yang lalu, Al Quran telah memberikan panduan bagii umatnya untuk melindungi aqidahnya, yakni untuk tidak mengikuti mereka, tidak memenuhi ajakan mereka dalam hal aqidah dan keagamaan.  Namun, entah ke mana dan di mana ayat-ayat ini  dalam sanubari umat Islam?

                Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra’ (17): 36)

Ayat lainnya:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَق

“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al Baqarah (2): 109)

Dalam ayat lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS. Ali ‘Imran  (3): 100)

Ayat ini dengan jelas memperingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti perilaku orang kafir, sebab niscaya mereka akan mengembalikan orang beriman menjadi kafir setelah beriman.

 Imam Ibnu Katsir mengatakan:

يحذر تعالى   عباده المؤمنين عن سلوك طَرَائق الكفار من أهل الكتاب، ويعلمهم بعداوتهم لهم في الباطن والظاهر

“Allah Ta’ala memberikan peringatan kepada hamba-hambaNya yang beriman tentang jalan dan perilaku orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan memberitahu mereka tentang permusuhan mereka terhadap kaum beriman, baik yang di hati atau yang ditampakkan.”

Al Quran Melarang Umat Islam Mengikuti Hari Raya Orang Kafir 

Dalam Al Quran, mengikuti hari raya mereka diistilahkan dengan memberikan kesaksian palsu (Az Zuur). Allah Ta’ala  telah menegaskan demikian:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan (25): 72)
 Tentang makna ayat ini,  Abu Bakar Al Khalal meriwayatkan dalam Al Jami’, dari sanadnya sendiri dari Muhammad bin Sirin, tentang makna: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu ..,  katanya: itu adalah menghadiri Sya’anin.

Sya’anin adalah hari raya Nasrani, mereka merayakannya dalam rangka mengenang kembali masuknya Isa Al Masih ke Baitul Maqdis.

Begitu pula yang disebutkan dari Mujahid, katanya: “Mengikuti hari-hari raya orang musyrik.”

Begitu juga yang dikataka oleh Rabi’ bin Anas, katanya: “Mengikuti hari-hari raya orang musyrik.”

Semakna dengan ini, apa yang diriwayatkan dari Ikrimah, katanya: “(Tidak melakukan) permainan yang dahulu mereka lakukan ketika jahiliyah.”

Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan: “Ayat ini berbicara tentang larangan menghadiri hari raya orang-orang musyrik.”

Adh Dhahak juga mengatakan: “(tidak) mengikuti hari raya orang musyrik.” Sementara Amru bin Murrah mengatakan: “Mereka tidak ikut bersama kaum musyrikin dan tidak membaur bersama mereka.”  Lihat semua tafsir ini dalam kitab Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim.  
 As Sunnah Telah Melarang Umat Islam Menyerupai dan Mengikuti Hari Raya Orang Kafir
                Ada dua pembahasan dalam bagian ini. Pertama, larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyerupai orang kafir. Kedua, larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengikuti hara raya orang kafir. Larangan berpartisipasi dalam perayaan hari raya orang kafir sangat kuat. Jangankan ikut andil, sekadar menyerupai mereka saja tidak dibenarkan. Ini membuktikan betapa kuat agama ini dalam melindungi umatnya, dari aqidah, kebiasaan, dan perilaku orang-orang kafir.

                Pertama, Larangan Menyerupai Orang Kafir

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
               
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.”
Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini,   tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal.  Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.  Demikian status hadits ini.

                Oleh karena itu tidak dibenarkan menyerupai mereka dalam urusan agama, terlebih mengikuti  perayaan hari besar, yang merupakan hari utama mereka. 

                Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” 

                Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahkan mengatakan, dan ini merupakan  perkataan Imam Ahmad bin Hambal juga,  bahwa hadits ini merupakan dalil, paling sedikit kondisi penyerupaan dengan mereka merupakan perbuatan haram, dan secara zhahirnya bisa membawa pada kekufuran, sebagaimana ayat: “Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, maka dia telah menjadi bagian dari mereka.”
 
                Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
                “Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami.”
                Sebagaimana kata Imam At tirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun, hadits ini memiliki berapa syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya. Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat.
                Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri tentang hadits ini:
لَا تَشَبَّهُوا بِهِمْ جَمِيعًا فِي جَمِيعِ أَفْعَالِهِمْ
                Janganlah kalian semua menyerupai mereka dalam segala perilaku mereka.”
                Tentu maksudnya adalah segala perilaku yang terkait dengan agama dan simbol agama mereka, baik acara keagamaan, pakaian keagamaan, dan lainnya. Namun, untuk perilaku di luar itu, yang terkait dengan kemaslahatan dunia dan kemakmuran manusia, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, strategi perang, dan semisalnya, maka Islam membolehkan mengambil manfaat dari mereka.
                Ketika perang Ahzab yang biasa juga disebut perang Khandaq (parit), strategi yang diterapkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya adalah strategi menggali Khandaq (parit) yang merupakan cara orang Persia (Majusi), atas usul sahabat Nabi, Salman Al Farisi Radhiallahu ‘Anhu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah menggunakan baju Romawi yang sempit padahal saat itu Romawi adalah Nasrani, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi.

Kedua, larangan Mengikuti Perayaan Hari Besar Orang Kafir       

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sudah melarang umatnya untuk mengikuti hari raya mereka. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika hari Id:

إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

                “Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.”

                Maka, hari raya umat Islam adalah hari raya yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, saat itulah kaum muslimin merayakan kebahagiaan mereka, kesenangan mereka, berhibur dari, makan-makanan yang enak dan lainnya. Bukan pada hari raya agama orang lain, baik Yahudi, Nasrani, Konghucu, Budha, Hindu, dan agama lainnya.

                Secara khusus, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang umat Islam mengikuti hari raya mereka.

                Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

                “Dahulu orang jahiliyah memiliki dua hari untuk mereka bermain-main pada tiap tahunnya.” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, dia bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang kalian bisa bermain-main saat itu. Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya,  yakni hari Fithri dan hari Adha.”
                Al Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari mengatakan hadits ini sanadnya shahih. Syaikh Al Albani juga menshahihkannya dalam  Ash Shahihah.

                Pada masa jahiliyah, kaum musyrikin memiliki dua hari, yakni Nairuz dan Mihrajan. Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim

                “Dilarang (bagi umat Islam) mengadakan permainan dan berbahagia pada dua hari itu yakni Nairuz dan Mihrajan. Hadits ini juga terdapat larangan yang halus dan perintah untuk beribadah, karena kebahagiaan hakiki terdapat dalam ibadah.” 

Lalu, disebutkan perkataan Al Muzhhir:

                “Ini merupakan dalil bahwa   menghormati Nairuz dan Mihrajan, dan hari raya orang-orang muysrik yang lain,  adalah terlarang.”

                  Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan: “Dari hadits ini disimpulkan bahwa adalah hal yang dibenci berbahagia menyambut hari raya orang musyrik dan menyerupai mereka, dan telah sampai perkataan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi dari kalangan Hanafiyah: ‘Barangsiapa yang memberikan hadiah kepada orang musyrik demi menghormati hari raya mereka, adalah perbuatan kufur kepada Allah Ta’ala.”

                Bahkan, lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melarang seorang muslim membantu menjual keperluan orang Islam yang ingin ikut-ikutan hari raya mereka pada  hari raya orang kafir, baik berupa makanan,  pakaian, dan lainnya, sebab itu merupakan pertolongan atas kemungkaran.

Peringatan

                Hari raya merupakan simbol utama dari sebuah agama. Bukan hanya simbol tapi juga waktu kebanggaan bagi masing-masing agama. Maka, perilaku mengikuti, merayakan, dan memperingati hari raya orang kafir merupakan perilaku melarutkan diri dalam sebuah simbol utama dan hari kebanggaan mereka. Maka, tidak syak (ragu) lagi keharamannya, bahkan sebagian ulama mengatakan kufur seperti yang kami sebutkan di atas. Apalagi jika seorang muslim ikut-ikutan acara ritual yang ada di pelaksanaan hari raya tersebut seperti ikut kebaktian, ikut melagukan lagu puji-pujian mereka, ikut ke klenteng atau tepekong untuk sembahyang, dan semisalnya. Hal ini jika dilakukan karena kesadaran, tidak dipaksa, dan sudah disampaikan dalil kepada mereka, tetapi mereka masih membandel ikut-ikutan juga, maka  ini kufur menurut ijma’ ulama. Tetapi, jika dilakukan karena kebodohannya, atau terpaksa dan dipaksa, dan belum disampaikan dalil kepada mereka, maka belum dikategorikan kafir.

                Ada pun orang Islam yang menjadi penggembira, yang ikut-ikutan berbahagia menyambutnya walau tidak ikut langsung dengan perayaannya, maka ini pun terlarang bahkan haram sebagaimana dijelaskan oleh para ulama di atas.

Berikut ini fatwa Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat hari raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll. pen) adalah  hal  yang diharamkan berdasarkan  kesepakatan  kaum muslimin.  Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya.  Jika memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun  itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai   Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia  layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal. 162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

                Demikianlah penjelasan Al Quran, As Sunnah, dan keterangan para Imam kaum muslimin. Semoga bermanfaat bagi yang menginginkan kebaikan bagi agama dan dunianya. Wallahu A’lam






 Imam Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan, Juz. 9, Hal. 319. Muasasah Ar Risalah

 Ahmad Warson Al Munawwir, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582
                       
 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 1, Hal. 382. Darut Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’

 Agama Konghucu dengan hari besar mereka, Cap Gho Meh, termasuk kaum musyrikin yang hari raya besar mereka harus dijauhi.

 Imam Ibnu Taimiyah, Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 381.
 HR. Abu Daud No. 4031
 Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215
 Imam Ismail bin Muhamamd Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, Juz. 2, Hal. 240. Darul Kutub Al ‘Ilmiah
 Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 11, Hal. 52. Cet. 2, 1415H.  Darul Kutub Al ‘Ilmiah
 Ibid

 Ibid. Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 214
 HR. At Tirmidzi No. 2695
 Lihat dalam Silsilah Ash Shahihah, Juz. 5, Hal. 193, No. 2194. Shahih At Targhib wat Tarhib, Juz. 3, Hal. 23, No. 2723.  Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 195. Shahihul Jami’ No. 5434
 Raudhatul Muhadditsin, 10, Hal. 332, No. 4757
 Syaikh Abul ‘Ala  Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 6, Hal. 496
 HR. At Tirmidzi No. 1768,   Katanya: hasan shahih

 HR. Bukhari No. 952
 HR.  An Nasa’i No. 1556, lihat juga As sunan Al Kubra  No. 1755
 Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 3, Hal. 371.  Dalam kitabnya yang lain, yakni Bulughul Maram juga disebutkan demikian.
 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,  As Silsilah Ash Shahihah No. 2021

 Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Juz. 3, Hal. 88

 Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 3, Hal. 371

 Imam Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 462
 Namun belakangan ada pendapat yang membolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain dengan tujuan sekedar mujamalah (basa-basi) saja, yakni pendapat Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dan Syaikh Mushthafa Az Zarqa. Kemudian pendapat mereka disalahgunakan kalangan JIL untuk memprogandakan agenda sepilis mereka. Padahal  garis pemikiran  kedua syaikh ini amat  bertolak belakang dengan pemikiran JIL. Dikira dengan mencatut dan mengutip pendapat Syaikh Al Qaradhawi umat mau saja dengan mudah mengikuti mereka. Tidak. Sebab kecintaan kita kepada ulama adalah kecintaan yang didasari rasa takut kepada Allah Ta’ala, dan bingkai syariat. Oleh karenanya mencintai mereka bukan berarti selalu mengikuti apa kata mereka, benar atau salahnya. Sebab Al Haq ahaqqu ayyuttaba’  - kebenaran lebih berhak untuk diikuti. Wallahu A’lam.

Kamis, 22 Desember 2011

Ringkasan Tafsir Al Baqarah ayat 44 dari Beberapa Mufassirin tentang Celaan terhadap Orang yang Menyeru Kebaikan, tetapi dirinya tidak melaksanakannya.


Ringkasan Tafsir Al Baqarah ayat 44 dari beberapa Mufassirin

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?  (Al Baqarah:44)

Tafsir Al Qurthubi (Al Jami’ Lil Ahkam Al Qur’an)

Pada firman Allah ini terdapat beberapa masalah:

Pertama:

Firman Allah Ta'ala, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian," ini merupakan (bentuk pertanyaan) yang mengandung makna celaan. Menurut Ahli Takwil, yang dimaksud dalam firman Allah ini adalah para ulama umat Yahudi.

Ibnu Abbas berkata, "Dahulu sebagian orang Yahudi Madinah berkata kepada mertuanya, keluarganya, dan saudara susuannya dari kaum muslim, “Konsistenlah terhadap apa yang kamu anut dan apa yang diperintahkan oleh orang ini “maksudnya Muhammad”. Karena sesungguhnya itu adalah benar.

Mereka memerintahkan seperti itu kepada orang-orang, namun mereka sendiri tidak melakukannya."

Diriwayatkan juga dan Ibnu Abbas: "Para pendeta memerintahkan para pengikut dan ummat mereka untuk mengikuti Taurat, namun mereka sendiri melanggarnya karena mereka mengingkari sifat Muhammad."

Ibnu Juraij berkata, "Para pendeta memerintahkan untuk taat kepada Allah, sementara mereka sendiri terjerembab dalam kemaksiatan."

Sekelompok ulama berkata, "Para pendeta memerintahkan untuk mengeluarkan shadaqah, namun mereka sendiri kikir."

Pengertian dari ungkapan-ungkapan tersebut adalah saling berdekatan. Sebagian Ahli Isyarah berkata, "Makna (dari firman Allah tersebut adalah), Apakah kalian menuntut orang-orang untuk mempercayai makna yang sesungguhnya, sementara kalian sendiri mengingkari bentuk redaksinya."

Kedua:

Siapakah orang yang dihukum dengan hukuman sepedih (berikut) ini. Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Ali bin Zaid, dari Anas, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam isra, aku melewati manusia yang mulutnya digunting dengan gunting yang terbuat dari api. Aku bertanya kepada Jibril, Siapa mereka?' Jibril menjawab, Mereka adalah para penceramah dunia yang memerintahkan manusia (mengerjakan) kebaikan, sedang mereka melupakan (kewajiban) mereka sendiri, padahal mereka membaca Al Kitab (Taurat). Maka tidakkah kamu berpikir '." (HR. Ahmad)

Abu Umamah meriwayatkan, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan sedang mereka melupakan (kewajiban) mereka sendiri. maka usus-usus mereka akan ditarik ke dalam neraka jahanam. Dikatakan kepada mereka, "Siapa kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan, sedang kami melupakan (kewajiban) kami sendiri."

Saya (Al Qurthubi) katakan, "Meskipun hadits ini lemah, sebab dalam sanadnya terdapat Al Khushaib bin Jandar, sosok yang (haditsnya) lemah oleh imam Ahmad. Demikian pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Ma' in dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah Shudi bin Ajlan Al Bahili Abu Ghalib —menurut keterangan yang diriwayatkan oleh Yahya bin Ma'in adalah Hazawwar Al Qurasyi, mantan budak Khalid bin Abdullah bin Usaid. Namun menurut satu pendapat, dia adalah mantan budak Bahilah. Sedangkan menurut pendapat yang lain, dia adalah Abdurrahman Al Hadhrami. Dia berangkat ke Syam dalam melakukan perniagaannya. Yahya bin Ma' in berkata  `Dia adalah sosok yang shahih haditsnya.'

Muslim meriwayatkan pengertian haditsnya dalam Shahih-nya dari Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda ‘Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat, lalu dia akan dilemparkan ke dalam neraka, sehingga usus-usus perutnya terburai (di dalam neraka). Dia kemudian berputar di dalam neraka seperti keledai yang mengitari alat penggilingan (gandum)’. (HR Bukhari, HR Ahmad). Para penghuni neraka kemudian mendatanginya, lalu mereka bertanya, ‘Wahai Fulan, ada apa denganmu. Bukankah engkau selalu memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar?' Dia menjawab, ‘Benar, sesungguhnya aku memang memerintahkan kepada yang ma'ruf namun aku tidak melakukannya, dan aku pun memerintahkan agar mencegah dari yang mungkar namun aku melakukannya'." (HR Muslim)

Saya (Al Qurthubi) katakan, "Sesungguhnya hadits yang shahih dan lafazh ayat (di atas) menunjukkan bahwa hukuman bagi orang yang mengetahui kepada yang ma'ruf dan yang mungkar, serta mengetahui kewajiban untuk melaksanakan yang ma'ruf dan menjauhi yang mungkar adalah lebih pedih dari pada orang yang tidak mengetahuinya. Itu terjadi sebab dia seperti orang yang menghinakan keharaman Allah dan melecehkan hukum-hukum-Nya. Dalam hal ini, dia adalah orang yang tidak memanfaatkan ilmunya. Sementara Rasulullah SAW bersabda,

“Manusia yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang alim namun Allah tidak membuat ilmunya bermanfaat” (HR Ibnu Majah)

Ketiga:

Ketahuilah —semoga Allah memberikan taufik kepada kita - bahwa celaan tersebut muncul karena tidak mengerjakan ketaatan dan kebaikan, bukan karena memerintahkan untuk mengerjakan kebaikan. Oleh karena inilah Allah Ta 'ala melarang dalam kitab-Nya suatu kaum yang memerintahkan perbuatan bakti namun mereka tidak melaksanakannya. Allah  mencela mereka dengan celaan abadi yang dapat dibaca sampai hari Kiamat. 
Allah berfirman, "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian…….”

Manshur Al Faqih berkata, dan alangkah baik apa yang dia katakan:
Sesungguhnya ada suatu kaum yang memerintahkan kami terhadap apa yang tidak mereka kerjakan.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang gila, meskipun mereka belum menjadi orang-orang yang gila.

Abu Al Atahiyah berkata,

Engkau menjelaskan tentang ketakwaaan, hingga seolah-olah engkau
adalah orang yang bertakwa,
padahal aroma dosa-dosa terpancar dari pakaianmu.

Abu Al Aswad Ad-Du` afi berkata,

Janganlah engkau melarang manusia, sementara engkau (sendiri)
melakukan apa yang engkau larang itu.
Adalah aib yang besar bagimu, jika engkau melakukan hal itu.
Maka mulailah dengan dirimu, maka cegahlah ia dari kesesatan.
Jrika ia berhenti dari kesesatan, maka (sesungguhnya) engkau adalah
seorang yang bijaksana.
Di sanalah dirimu akan diterima dan diikuti, jika engkau memberikan nasihat
dengan ucapan darimu, dan akan bermanfaat pemberian pelajaran (yang engkau sampaikan).

Abu Amru bin Mathar berkata, "Aku hadir di majlis Abu Utsman Al Hiri Az-Zahid, lalu dia keluar dan duduk di tempat yang biasa didudukinya untuk berdzikir. Dia terdiam dalam waktu yang lama. Seorang lelaki yang mengenal Abu Al Abbas kemudian menyerunya, "Engkau pikir dapat mengatakan sesuatu dalam diammu?" Abu Utsman mulai angkat bicara,

`Orang yang tidak bertakwa akan menyuruh manusia bertakwa.
Itu adalah dokter yang harus diobati dan dokter yang sakit.'
Maka meledaklah suara tangisan dan rintihan."

Keempat:

Ibrahim An-Nakha' i berkata, "Sesungguhnya aku tidak menyukai cerita karena tiga ayat:
(1) firman Allah Ta'ala: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan
(2) firman-Nya: "Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?," (Qs. Ash-Shaf [61:2]: dan
(3) firman Nya, "Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. (Huud, [11]: 88)

Salam bin Amru berkata,
Alangkah buruk perintah untuk berzuhud dari penasihat
yang memerintahkan manusia untuk berzuhud, sementara dia
(sendiri) tidak berzuhud.
Seandainya dalam zuhudnya ada kebenaran, maka pagi dan siang
rumahnya adalah masjid.
Jika memang dia menolak dunia, mengapa dia
Meminta dan memohon pertolongan kepada manusia
Rezeki itu dibagi (oleh Allah) kepada orang yang engkau lihat
la didapatkan oleh orang yang berkulit putih dan orang yang berkulit hitam.

Al Hasan berkata kepada Mutharrif bin Abdullah, "Nasihatilah sahabat-sahabatmu!" Mutharrif menjawab, "Sesungguhnya aku merasa khawatir akan mengatakan sesuatu yang tidak aku kerjakan." Al Hasan berkata, Semoga Allah merahmatimu! Siapakah di antara kita yang melakukan apa yang dia katakan? Syetan ingin memenangkan hal ini, sehingga tidak akan ada seseorang pun yang memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari mungkar."

Kelima:

Firman Allah Ta 'ala:  "Sedang kamu melupakan (kewajiban)mu sendiri." Yakni membiarkan. An-nisyaan —dengan kasrah huruf nun— itu memiliki makna at-tark (membiarkan), dan makna inilah yang dimaksud di sini. Juga yang dimaksud dalam firman Allah Ta 'ala: "Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka." (Qs. At-Taubah [9]: 67)
Dalam firman Allah, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka." (Qs. Al An' aam [6] : 44).
Juga yang dimaksud dalam firman Allah: "Dan janganlah kau melupakan keutamaan di antara kamu." (Qs. Al Baqarah [2] : 238) An-Nisyaan itu mengandung arti lawan kata ingat dan memelihara. Contohnya adalah hadits yang menyatakan: "Adam lalai sehingga anak-cucunya pun lalai" Hadits ini akan dijelaskan nanti.

Keenam:

Firman Allah Ta'ala,   "Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)." Firman Allah ini merupakan celaan yang besar bagi orang yang mengerti.

Ketujuh:

Firman Allah Ta 'ala, "Maka tidakkah kamu berpikir" Yakni, tidakkah kamu mencegah dirimu agar tidak terjatuh dalam situasi yang mengenaskan bagimu ini.

Tafsir As Sa’di

Tafsir ayat:

"Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebajikan" yaitu dengan keimanan dan kebaikan, "Sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri" maksudnya kalian meninggalkannya padahal kalian memerintahkannya kepada orang lain, dan kondisinya, "Padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?"

Dinamakan akal itu sebagai akal karena ia dipakai untuk berfikir kepada kebaikan yang bermanfaat untuknya, dan sadar dengarmya dari hal-hal yang memudharatkan dirinya, dan hal tersebut dibuktikan bahwa akal menganjurkan kepada pemiliknya untuk menjadi orang yang pertama melakukan apa yang diperintahkan dan orang yang pertama meninggalkan apa yang dilarang, maka barangsiapa yang memerintahkan orang lain kepada kebaikan lalu dia tidak melakukannya atau melarang dari kemungkaran namun dia tidak meninggalkannya maka hal itu menunjukkan tidak adanya akal padanya dan kebodohannya, khususnya bila dia telah mengetahui akan hal itu, dan hujjah benar-benar telah tegak atasnya, ayat ini walaupun turun kepada bani Israil namun ia bersifat umum kepada setiap orang karena firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan." (Ash-Shaff: 2-3)

Dalam ayat ini tidak ada suatu hal pun yang menunjukkan bahwasanya seseorang bila tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya bahwa dia meninggalkan perintah kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar karena ayat itu menunjukkan suatu kecaman menurut kedua kewajiban tersebut, bila tidak seperti itu maka suatu hal yang telah diketahui bahwasanya setiap manusia memiliki dua kewajiban yaitu memerintah orang lain dan melarangnya, dan memerintah dirinya sendiri dan melarangnya, maka meninggalkan salah satu dari kedua kewajiban itu bukanlah suatu keringanan untuk meninggalkan yang lainnya, karena idealnya adalah seseorang mampu melakukan kedua kewajiban itu dan demikian juga sangat aib sekali bila seseorang meninggalkan keduanya. Adapun jika dia melakukan salah satu dari kedua kewajiban itu tanpa lainnya maka dia tidaklah dalam posisi yang ideal dan tidak pula pada posisi sangat aib, dan nafsu juga dibuat untuk tidak tunduk kepada orang yang perbuatannya bertentangan dengan perkataannya, maka peniruan mereka dengan perbuatan adalah lebih kuat daripada peniruan mereka dengan sekedar perkataan saja.

Tafsir Fathul Qadir

Huruf Hamzah dalam firman-Nya,  (Mengapa kamu suruh orang lain [mengerjakan kebajikan) berfungsi sebagai partikel tanya, dan pertanyaan di sini mengindikasikan buruknya yang dituju, buruknya mereka itu bukan karena menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, karena yang demikian adalah perbuatan baik yang dianjurkan namun karena justru mereka sendiri yang tidak melakukan kebaikan tersebut yaitu seperti yang disimpulkan dari firman-Nya, (Sedang kamu melupakan diri [kewajiban]mu sendiri) dengan menganggap suci diri sendiri, dan melakukan aktivitas para penyeru kebenaran (dai) agar kondisi dirinya yang sebenarnya tidak diketahui orang lain, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Al Atahiyah.

(Padahal kamu membaca Al Kitab [Taurat]) adalah kalimat keterangan kondisi yang mengisyaratkan celaan mendalam dan sangat membungkam (membuat lisan tidak lagi sanggup membantah), yakni: Mengapa kalian meninggalkan kebaikan yang kalian perintahkan kepada orang lain, Padahal kalian ahli ilmu yang mengetahui buruknya perbuatan ini dan beratnya ancaman atasnya, sebagaimana yang kalian lihat di dalam Al Kitab yang kalian bacakan dan ayat-ayat Taurat yang kalian bacakan.

(Maka tidakkah kamu berfikir?) adalah kalimat tanya untuk mengingkari mereka dan sebagai tamparan bagi mereka, dan ini lebih keras dari yang pertama.

Tamparan Allah di sini lebih keras lagi mengenai orang berilmu yang memerintahkan orang lain berbuat baik tapi ia sendiri tidak melakukannya. Yaitu mereka yang tidak mengamalkan ilmunya. Allah mengingkari perbuatan mereka; Memerintahkan orang lain berbuat baik dengan melupakan mereka sendiri dalam hal itu, yaitu perintah yang mereka sampaikan di masjid masjid dan yang mereka serukan di majelis-majelis, untuk memberikan kesan kepada orang lain bahwa mereka adalah para penyampai perintah dari Allah yang disertai dengan argumen-argumen. Mereka menerangkan kepada hamba Allah apa yang diperintahkan kepada mereka dengan penjelasan Nya, menyampaikan kepada para makhluk-Nya apa yang diserukan-Nya kepada mereka dan mengajak mereka memeliharanya, padahal mereka adalah yang paling sering meninggalkannya, paling jauh dari manfaatnya dan jarang mengamalkannya. Kemudian Allah mengikat redaksi tadi dengan redaksi lainnya, sehingga menjadikannya sebagai keterangan tentang kondisi mereka, membeberkan aurat mereka dan menghancurkan tabir penutup keculasan mereka, yaitu bahwa sesungguhnya mereka melakukan perbuatan dan tindakan buruk ini berdasarkan pada kesadaran mereka sendiri, dan mereka telah mengetahuinya dari Al Kitab yang telah diturunkan kepada mereka dan senantiasa mereka baca. Perumpamaan mereka dalam hal in adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Ma’ri:

Sebenarnya para penerima Taurat yang membacakannya, hanyalah untuk mengambil keuntungan, bukan karena cinta membacanya.

Kemudian Allah beralih bersama mereka dari satu tamparan ke tamparan berikutnya, dan dari satu celaan ke celaan berikutnya,

Allah mengatakan, "Sesungguhnya, seandainya kalian bukan termasuk ahli ilmu, para pemegang hujjah dan para pengkaji kitab-kitab Allah, dan hanya sebagai orang-orang yang dapat berfikir, niscaya hal ini menjadi penghalang antara kalian dan hal tersebut, dan menjadi penghalang untuk kalian darinya. Mengapa kalian menyepelekan apa yang dituntut oleh akal setelah kalian meremehkan hal yang dituntut oleh pengetahuan?”

Makna al `aql secara bahasa adalah al man'u (menahan), Al Aql adalah lawan al jahl (bodoh).
Penafsiran al aql yang terdapat pada ayat ini bisa dengan asal makna al aql menurut Data ahli bahasa, yakni: Maka, tidakkah kalian menahan diri kalian agar tidak terjerumus ke dalam kondisi tercela ini? Bisa juga ayat ini ditafsirkan: Maka, tidakkah kalian memperhatikan akal yang telah Allah anugerahkan kepada kalian, mengapa kalian tidak memanfaatkan ilmu yang telah ada pada kalian?

Tafsir Ibnu Katsir

CELAAN ATAS AMAR MA'RUF YANG TIDAL DIIRINGI DENGAN PENGAMALAN

Allah SWT bertanya: "Wahai sekalian Ahli Kitab, apakah pantas kalian menyuruh manusia untuk berbuat kebajikan, sedang kalian melupakan diri kalian sendiri?” Kalian tidak melaksanakan apa yang kalian perintahkan kepada mereka padahal kalian membaca al-Kitab dan mengetahui kandungannya berupa ancaman bagi orang yang mengabaikan perintah-perintah Allah? Apakah tidak memikirkan apa yang kalian lakukan untuk diri kalian itu hingga kalian terjaga dari tidur dan mata kalian terbuka dari kebutaan?"

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh `Abdurrazzaq, Ma'mar, dari Qatadah, tentang firman Allah:
"Mengapa kamu suruh orang lain mengengerjakan kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri," ia mengatakan: "Dahulu Bani Israil menyuruh menusia berbuat ketaatan, takwa dan kebajikan, namun mereka menyelisihinya” Maka Allah SWT mencela mereka.

Demikianlah perkataan as-Suddi. Ibnu Juraij menjelaskan tentang ayat: "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan," mereka mengatakan: "Ahli Kitab dan orang-orang munafik menyuruh manusia berpuasa dan melaksanakan shalat, namun mereka tidak mengamalkan apa yang mereka serukan kepada manusia. Oleh sebab itulah Allah mencela mereka karenanya. Maka hendaklah orang yang menyeru kepada kebaikan adalah orang yang paling bersegera dan bersungguh-sungguh melaksanakan kebaikan tersebut."

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas RA: “Sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri," yakni meninggalkan diri kalian. "Padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat). Maka tidakkah kamu berfikir?" Yakni  melarang manusia mengkufuri apa yang ada pada kalian berupa nubuwwah dan perjanjian di dalam Taurat, sedangkan kalian meninggalkan diri kalian sendiri dengan menyelisihi janji yang telah Kami ambil dari kalian untuk membenarkan Rasul Kami, sementara kalian membatalkan perjanjian kalian dengan-Ku dan kalian mengingkari apa yang kalian ketahui dari Kitab suci-Ku.”

Tujuannya, Allah Ta'ala mencela mereka atas perbuatan tersebut, Dan memperingatkan kesalahan mereka berkenaan dengan hak mereka, yakni menyeru kepada kebaikan namun mereka sendiri tidak melaksanakan kebaikan itu. Jadi, yang dicela bukanlah usaha mereka menyeru kepada kebaikan, karena hal itu termasuk perbuatan baik dan wajib atas seorang yang berilmu. Akan tetapi yang lebih wajib dan lebih layak bagi seorang alim adalah mengerjakan kebajikan bersama orang-orang yang ia seru dan tidak menyelisihi mereka. Sebagaimana perkataan Nabi Syu'aib AS : "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. " (QS. Huud: 88)
Dengan demikian, amar ma'ruf dan pengamalannya merupakan suatu kewajiban yang salah satu dari keduanya tidak gugur dengan meninggalkan yang lainnya. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama Salaf maupun Khalaf.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Wa-il, ia menceritakan dikatakan kepada Usamah, dan ketika itu aku diboncengnya: “Tidakah engkau menasihati `Utsman?" Maka Usamah berkata: "Apakah kalian kira jika aku menasihati `Utsman aku akan menyampaikannya kepada kalian? Sesungguhnya aku telah berbicara empat mata dengan `Utsman tanpa menimbulkan masalah yang aku sangat berharap tidak menjadi orang pertama yang membukanya. Demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepada seseorang: `Sesunggulnya engkau ini adalah sebaik-baik manusia,' meskipun yang ada dihadapanku adalah seorang penguasa, karena aku telah mendengar sabda Rasulullah SAW" Maka orang-orang pun bertanya: "Apa yang engkau dengar dari beliau?" Usamah menjawab:  "Kelak pada hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dicampakkan ke dalam Neraka. Kemudian ususnya ter-burai dan ia berputar-putar di dalam Neraka seperti keledai mengitari penggilingannya. Maka para penghuni Neraka me-ngelilinginya seraya berkata: `Wahai fulan, apa yang menimpa dirimu, bukankah engkau dahulu selalu menyeru kami berbuat kebaikan dan mencegah kami dari kemunkaran?' Orang itu menjawab: `Dahulu aku menyuruh kalian berbuat kebaikan namun aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kalian berbuat kemunkaran namun aku sendiri mengerjakannya." (HR Ahmad)
Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim)"

Wallahua’lam bishowab

Disalin dan diringkas dari kitab-kitab Tafsir Ibnu Katsir, Fathul Qodir, As Sa'di, dan Al Qurthubi