Senin, 25 Juli 2011

Standar Kelayakan Ustadz / Da’i




Fenomena yang terjadi saat ini, begitu banyak “ustadz-ustadz” baru bermunculan di media-media televisi, mulai dari yang serius, hingga yang penuh dengan canda tawa. Mulai yang pandai membawakan dalil-dalil shohih dari Al Qur’an, dan sunnah, hingga sekedar mengutip dalill yang ada tanpa memperhatikan keshohihan dalil yang di bawanya.

Sebenarnya adalah sebuah karunia dengan maraknya ceramah maupun pengajaran agama Islam. Namun sangatlah disayangkan, bila maraknya pengajaran agama ini, tidak diiringi oleh para da’i yang memiliki ilmu yang diperlukan, minimal memahami dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits, untuk tema yang akan dibicarakan. 

Berikut ada sebuah artikel tentang kategori minimal yang harus dimiliki oleh seorang ustadz / da’i dalam menyampaikan pelajaran kepada jama’ah. Semoga bermanfaat.
Adapun syarat orang yang sah untuk dijadikan sebagai guru, itu teringkas menjadi dua poin, yang pertama Alim yaitu mengetahui dalil syariatnya Nabi Muhammad SAW, Yang Kedua Adil Riwayat yaitu tidak menjalankan sebagian dosa besar atau mengekalkan sebagian dosa kecil, yang di sebut Adil Riwayat itu kriterianya ada empat : Islam, Aqil, Baligh dan tidak fasik.

Untaian kalimat tersebut dapat dijumpai dalam kitab Takhyiroh Mukhtashor karya Syaikh Ahmad Ar Rifa’i. Dalam menetapkan Syarat seseorang untuk dapat dijadikan sebagai seorang ustadz Syaikh Ahmad Ar Rifa’i sangat ketat bahkan sangat hati-hati, sehingga menimbulkan kesan bahwa penunjukan seseorang sebagai ustadz dilakukan beliau dengan tidak main-main. Hal ini di karenakan bahwa seorang guru tidak hanya bertugas mentransformasi ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, namun juga harus bisa menjadi tauladan yang baik dan dapat membina akhlak peserta didik agar menjadi insan kamil.

Seorang guru ( Ustadz ) haruslah seorang yang Alim, artinya mengetahui betul seluk beluk syariat Rasulullah SAW. Paham terhadap ayat-ayat ahkam dalam Al Qur’an. menguasai asabaabun nuzul, Gharaibul Alfadz, mengerti tentang hadist ahkam, nasikh dan manshuk dan yang terpenting adalah menguasai metodhe isthimbath yaitu pengambilan dalil dari nash.

Seorang ustadz haruslah mengerti tentang tata bahasa Arab ( Nahwu, Shorof, Badi’, Bayan, Ma’aniy serta sedikit arudh qowafinya) dengan baik. Minimal seorang ustadz haruslah mengerti betul seluk-beluk madzhab yang di ikutinya dan bisa menjelaskan mana qaul mu’tamad dan mana qaul dhaif, mana yang rajih dan mana yang marjuh, serta mengerti apa yang harus diperbuatnya ketika ia mendapati dua nash yang ta’arudz.

Di samping itu, Ustadz haruslah orang yang adil riwayat yaitu sama sekali tidak pernah melakukan dosa besar baik dhohir maupun bathin, dan juga tidak biasa menjalankan dosa kecil, sebab dalam diri seorang ustadz itu ada agama Alloh yang konsekuensinya ia akan menjadi tempat mengadu dan berkeluh kesahnya orang-orang awwam. Jikalau seorang ustadz tidak menjaga dirinya dengan baik serta memenuhi dirinya dengan lumuran dosa dan noda, maka apa yang bisa diambil pelajaran darinya?. Sebagai Uswah mustinya dia memberikan teladan perbuatan dan sikap yang baik, namun kenyataannya dia justru “mengajak” para muridnya untuk mengikuti pola pikirnya dan mencari-cari dalil dalam rangka membenarkan perbuatannya tersebut, sehingga menurut pendapat sebagian orang bahwa tindakannya tersebut sesuai dengan syariat. Ustadz yang seperti ini dikatakan oleh Syaikh Ahmad Ar Rifa’i sebagai Syetan yang mengajak kepada kesesatan. beliau menegaskan, “Barang siapa yang gurunya tidak sah, baik dikarenakan bodoh ( tidak Alim ) ataupun fasik yang tidak mau taubat (Tidak Adil Riwayat) maka gurunya adalah syetan yang sesat lagi menyesatkan.


Kehati-hatian Syaikh dalam menetapkan status ustadz pada seseorang ini lebih kepada usaha pemurnian agama Allah agar tidak terdistorsi oleh nafsu dan kepentingan pribadi si ustadz yang lambat laun justru akan mengikis ajaran pokok dari agama Islam itu sendiri.

Dari zaman Rasul SAW sampai zaman ulama salafush sholih, Islam selalu disebarkan dengan keteladanan dan akhlak qur’ani, bukan dengan retorika semata. Bahkan amat sedikit jumlahnya para sahabat yang bisa berpidato, rata-rata mereka melakukan dakwah bi haal ( dengan perbuatan), bukan Bil Maqol ( dengan ucapan ).Maka tak heran apabila Hujjatul Islam Al Ghazali mengatakan,” Dizaman Nabi banyak sekali ulama , namun sedikit khuthoba’ (penceramah ), sementara zaman sekarang itu sangat banyak khutobaa’ namun minim ulama.

Lalu apakah yang suka memberika taushiyah diatas mimbar. di radio dan televisi pantas disebut Ustadz…? jawabannya adalah wallohu A’lam, tapi minimal mereka harus bisa membuktikan dan mengaplikasikan syariat Nabi SAW dulu ke dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga ajaran Islam itu begitu mendarah daging dalam dirinya, setelah itu barulah seru orang lain agar mengikutinya.

Wallahua'lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar