Rabu, 15 Juni 2011

Keutamaan ahli ilmu dibandingkan dengan ahli ibadah

Assalamu’alaikum wr wb…

Beberapa saat yang lalu saya mendengarkan pengajian di dekat rumah saya, dan sang Ustadz membawakan tentang tema keutamaaan beribadah di Bulan Rajab. Pada saat ceramah berlangsung, ustadz itu menceritakan bahwa di tempat yang lain, dimana dia menjelaskan tema ini, hadits yang dijelaskan tersebut ditanyakan tentang keshahihannya (Yaitu tentang Keutamaan puasa 1 hari dibulan Radjab). Dan dengan tegas dia mengatakan bahwa hadits tersebut adalah shohih, berdasarkan penjelasan dari sang guru yang mengajarinya, bukan berdasarkan dari criteria Ulama Hadits (yang mana saat ini sudah banyak beredar buku-buku tentang silsilah hadits dhoif dan hadits maudhu)

Inilah fenomena yang kita dapati akhir-akhir ini, dimana banyak sekali para da’i-da’i. yang berceramah di depan masyarakat awam, tanpa dibekali ilmu yang cukup, apalagi bila berbicara tentang hadits, dimana para dai atau ustadz tersebut sering mengatakan Qo-la Rosulullah, dan sejenisnya, yang mana telah jelas Rosulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian berdusta terhadapku (atas namaku), karena barangsiapa berdusta terhadapku dia akan masuk neraka.\" (HR Bukhari).

Memang bila saya lihat dari kegiatan beliau sehari-hari, beliau adalah seorang yang ahli ibadah. Namun, akan sangat disayangkan bila ibadah-ibadah yang beliau lakukan akan menjadi tidak bermakna, bahkan bisa menjadi perbuatan yang bid’ah, bila tanpa dilandasi dengan ilmu yang cukup/ sesuai dengan syari’at tentang ibadah yang dilakukan tersebut.

Oleh Karena itu, ada baiknya kita mempelajari ilmu sebelum melakukan ibadah ritual tertentu (mempelajari dalilnya) atau minimal adalah mengetahui ibadah-ibadah yang telah kita lakukan, dengan dalilnya.

Berikut ada sebuah artikel tentang keutamaan Ahli ilmu dibandingkan dengan Ahli Ibadah.

Sudah sangat nyata, bahwa Allah SWT sangat menjunjung tinggi ahli Ilmu, berdasarkan Firman Allah SWT sebagai berikut :

“…….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al Mujadilah:11)

Allah mensejajarkan Malaikat dengan Manusia yang memiliki ilmu dalam firmanNya,

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al Imran:18)

Kita diwajibkan beribadah (melakukan suatu perbuatan) harus dengan ilmu, karena telah dijelaskan dalam Al Quran sbb :

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya." [Al-Isra': 36]

Bila sudah jelas seperti ini, maka kenapa kita masih juga “beribadah” hanya berdasarkan “ikut-ikutan”? Padahal juga jelas dalam Al Quran mencela orang yang suka beribadah tanpa dalil (contoh dari nabi maupun dalil syar’i) sbb :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Al Baqarah:170)

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (Al Maidah:104)

Ayat-ayat diatas memang menjelaskan tentang orang-orang kafir jaman Jahilliyah. Namun isi dan konteksnya hampir sama dengan kondisi saat ini dimana, banyak orang-orang melakukan suatu ibadah / perbuatan / amal yang tidak ada dasarnya / dalilnya berdasarkan Al Qur’an atau hadits nabi, namun hanya berdasarkan dari “perkataan gurunya”, tanpa menyelidiki, dari mana guru tersebut mengambil dalil.

Sesungguhnya telah ada informasi yang jelas dari para pendahulu kita, Imam 4 Madzhab yang terkenal, yang mana mereka selalu mengatakan

1. Abu Hanifah
Tidak di halalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya

2.Malik Bin Anas
Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar.Maka perhatikanlah pendapatku,setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan Sunnah, ambilah dan yang tidak sesuai tinggalkanlah.

3.Asy Syafi'i
Kaum muslimin telah sepakat barang siapa yg telah terang baginya sunnah Rosululloh SAW,maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang.

4.Ahmad bin Hanbal
Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan engkau menikuti Malik,Syafi'i,Auza'i dan Tsauri,tapi ambilah dari mana mereka mengambil.

Akhir-akhir ini, Alhamdulillah, Islam berkembang sangat pesat, salah satunya dinegara kita. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan ini, tidak diikuti dengan perkembangan SDM peningkatan ilmu Syari’at. Banyak sekali para ahli ibadah, berlomba-lomba dalam mengamalkan hadits-hadits yang bukan saja dho’if, namun hingga hadits Maudhu mereka amalkan, semata-mata demi mengejar pahala tanpa diikuti dengan dasar ilmu syari’at. Sebagai salah satu contohnya, dibulan Rajab ini, banyak para da’I menganjurkan puasa tanggal – tanggal tertentu di bulan Rajab, Sholat Roghoib, dsb, dimana jelas bahwa hadits tersebut mencapai derajat Maudhu (bukan sekedar Dho’if lagi).

Rosulullah SAW sendiri sangat menyanjung orang-orang yang berilmu bila diperbandingkan dengan orang yang ahli ibadah, tanpa dasar ilmu.

Berikut adalah beberapa Hadits tentang keutamaan Ahli Ilmu dibandingkan dengan Ahli Ibadah :

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khidasy Al Baghdadi, Seseorang dari Madinah mendatangi Abu Darda` di Damaskus, ……………..Abu Darda` berkata; "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah SWT akan menuntunnya menuju surga dan para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada pencari ilmu, sesungguhnya orang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh (makhluq) yang berada di langit dan di bumi hingga ikan di air, keutamaan orang yang berlilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah pewaris pada nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.\" (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Shahih)

Rasulullah SAW bersabda:

"Keutamaan ahli ilmu terhadap ahli ibadah itu seperti keutamaanku terhadap yang terendah di antara kamu." Lalu beliau berkata: "Allah dan para malaikat, dan penduduk langit dan bumi, hingga semut di dalam lubangnya dan ikan, mengirimkan shalawat kepada orang-orang yang mengajari manusia kebaikan." [HR. at-Tirmidzi dishahihkan al-Albani]

Kita lihat bahwa begitu besar perbedaan tingkat seorang yang ahli ilmu dibandingkan dengan ahli Ibadah. Dalam hal ini tentu saja seorang yang ahli ibadah tersebut bukanlah seorang ahli ilmu. Bila seorang ahli Ilmu, juga ahli Ibadah, tentu saja derajatnya akan semakin tinggi, karena dia beribadah berdasarkan ilmunya dan terus mencari ilmu untuk dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.

Mengapa hal ini bisa terjadi, karena seorang ahli ilmu akan membagi-bagikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sehingga orang lain bisa beribadah berdasarkan ilmu yang diberitakan dari si Ahli Ilmu, sehingga sesuai dengan hadits yang menjelaskan, bahwa barang siapa mengajarkan sunnah kebaikan, maka yang mengajarkan akan mendapatkan pahala dari yang mengerjakan sunnah kebaikan tersebut, tanpa dikurangi. Sementara si Ahli ibadah (yang mendapatkan ilmu dari ahli ilmu) hanya mendapatkan pahala dari ibadahnya itu sendiri (pahala ibadah pribadi).

Ilmu yang kita bicarakan dalam hal ini tentunya adalah ilmu Syar’I / Ilmu Syariat, baru kemudian ilmu dunia. Mengapa ilmu syari’at yang diutamakan, karena dengan ilmu ini, kita bisa beribadah dengan benar, mengenal Allah, mengetahui segala perintah dan larangannya dan lain sebagainya yang membuat kita bisa kembali dengan selamat setelah kita wafat. Kita tahu bahwa Jihad adalah sebaik-baiknya ibadah dan seutama-utamanya ibadah. Namun dalam perintah Allah, dijelaskan bahwa bila ada perintah Jihad, tidak semua orang boleh berjihad. Harus ada yang tetap belajar dan menyampaikan ilmu kepada orang-orang agar Ilmu tetap bisa disampaikan kepada semua khalayak.

Berikut ayatnya,

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At Taubah:122)

Sekali lagi kita lihat, betapa banyak kemuliaan seorang penuntut ilmu dari hadits-hadits berikut ini,

Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memasukkan orang tersebut pada salah satu jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat mengatupkan sayapanya karena ridha kepada seluruh penuntut ilmu. Penghuni langit dan bumi, sampai ikan sekalipun yang ada di dalam air memohonkan ampun untuk seorang alim. Keutamaan seorang alim dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan cahaya bulan purnama dibandingkan cahaya bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, namun mereka tidak mewariskan dinar maupun dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu tersebut sungguh ia telah mendapatkan bagian yang banyak dari warisan tersebut” [HR. Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6412]

Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya itu tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka” [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 2674]

Nah, sekarang sudah kita lihat betapa tingginya kedudukan seorang ahli ilmu, tinggal bagaimana kita bisa menyikapinya agar bisa mendapatkan kedudukan yang mulia disisi Allah. Semoga kita semua bisa mendapatkan ridha Allah dengan mengejar Ilmu dan mempraktekannya…Amin…

7 komentar:

  1. artikel sebagus ini alangkah baiknya jika disebar luas kan. semakin banyak yang membaca semakin banyak pula amal jariyah yang diterima penulis.

    oleh karena itu saya minta izin untuk meng copas artikel ini.

    :)

    BalasHapus
  2. Maaf sedikit koreksi.. Surat Al-Isro 36, itu bermakna tentang orang yg suka menggunjing/ pergunjingan. Wasalam..

    BalasHapus
  3. Maaf juga...mungkin bisa dilihat langsung ke Tafsir Ibnu Katsir, tentang makna dari Al Isro:36.

    Wallahua'lam

    BalasHapus
  4. muantab .........artikel sangat bermanfaat

    BalasHapus
  5. Assalamualaikum..
    Alhamdulillah sangat bermanfaat, Saya izin share ya..
    jazaakallahu khayran :)

    BalasHapus