Selasa, 28 September 2010

MENGENAL ILMU HADITS

Assalamualaikum.

MENGENAL ILMU HADITS

1.DEFINISI

HADITS ialah Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,Pernyataan ( Taqrir ) dan sebagainya.

A-TSAR ialah Sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.

TAQRIR ialah Keadaan Nabi Muhammad SAW mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.

SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu Beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi iman.

TABI'IY ialah orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan islam, dan mati dalam keadaan islam baik perjumpaan itu lama atau sebentar

MATAN ialah Lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, disebut juga isi hadits.

2. Unsur -unsur yang harus ada dalam menerima hadits

A. Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang ( gurunya ).
Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi atau meriwayatkan hadits dan orangnya disebut Perawi.

Sistem penyusun hadits dalam menyebutkan nama Rawi

1. As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh pertawi yaitu :
- Ahmad - Buchari - Turmudzi - Nasa'I - Muslim - Abu Dawud - Ibnu Majah

2. As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu :
Semua nama yang tersebut diatas ( As Sab'ah ) selain Ahmad

3. Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu :
Semua nama yang tersebut diatas ( As Sab'ah ) selain Buchari dan Muslim

4. Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu :
Semua nama yang tersebut diatas ( As Sab'ah ) selain Ahmad, Buchari dan Muslim.

5. Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu :
Semua nama yang tersebut diatas ( As Sab'ah ) selain Ahmad, Buchari, Muslim dan Ibnu Majah.

6. Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu :
Buchari dan Muslim.

7. Al jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya.

B. Matnu'l Hadits adalah pembicaraan ( kalam ) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakihir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah SAW, sahabat ataupun Tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad SAW.

C. Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan Matnu'l hadits kepada Nabi Muhammad SAW.

Gambaran Sanad
Sabda Rosulullah SAW didengar oleh sahabat ( seorang atau lebih ), Mereka ini (seorang atau lebih ) sampaikan kepada Tabi'in ( seorang atau lebih ), Tabi'in sampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Buchari, Abu Dawud dls.

Contoh :
Waktu meriwayatkan hadits Nabi SAW , Buchari berkata Hadits ini diucapakn kepada saya oleh A, dan A berkata diucapakn kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad SAW.

Awal Sanad dan akhir Sanad
Menurut istilah ahli hadits Sanad itu ada permulaannya ( awal ) dan ada kesudahannya ( akhir )
Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D.

3. Klasifikasi hadits

Klasifikasi hadits menurut dapat ( diterima ) atau ditolaknya hadits sebagai Hujjah ( dasar hukum ) adalah :

A. Hadits Shohih adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits

Syarat-syarat hadits Shohih

Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :

1. Rawinya bersifat Adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berillat dan
5. Hadits itu tidak janggal

Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai Adil, yaitu :
1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
3. Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan
4. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.

Hadits Makbul adalah hadits- hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah,
Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.

B. Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya ( hafalan ), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya.
Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.

C. Hadits Dlaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan.
Hadits Dlaif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.

Klasifikasi hadits Dlaif berdasarkan kecacatan perawinya

1. Hadits Maudlu' : adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka bangsakan ( katakan Sabda nabi SAW ) secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
2. Hadits Matruk : adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh Dusta dalam perhaditsan.
3. Hadits Munkar : adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta.
Di dalam satu jurusan jika ada diriwayatkan dua hadits lemah yang berlawanan sedang yang satu lemah sanadnya Sedang yang lain lebih lemah sanadnya maka yang lemah sanadnya dinamakan Hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
4. Hadits Mu'allal ( Ma'lul, Mu'all ) : adalah hadits yang setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan tampak Adanya salah sangka dari rawinya dengan menganggap sanadnya bersambung ( padahal tidak ).
Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
5. Hadits Mudraj ( saduran ) : adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa Saduran itu termasuk hadits.
6. Hadits Maqlub : adalah hadits yang terjadi mukhalafah ( menyalahi hadits lain ), disebabkan mendahului atau Mengakhirkan.
7. Hadits Mudltharrib : adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi denagn pergantian pada satu segi Yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan ( dikumpulkan ).
8. Hadits Muharraf : adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, Dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
9. Hadits Mushahhaf : adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
10. Hadits Mubham : adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan pakah ia laki-laki atau perempuan.
11. Hadits Syadz ( kejanggalan ) : adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul ( tsiqah ) menyalahi riwayat yang lebih rajih , lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
12. Hadits Mukhtalith : adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.

Klasifikasi hadits dlaif berdasarkan gugurnya rawi

1. Hadits Muallaq : adalah hadits yang gugur ( inqitha' )rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
2. Hadits Mursal : adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.
3. Hadits Mudallas : adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
4. Hadits Munqathi' : adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
5. Hadits Mu'dlal : adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'iy, tabi'iy bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum shahaby dan tabi'iy.

Klasifikasi hadits dlaif berdasarkan sifat matannya

1. Hadits Mauquf : adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
2. Hadits Maqthu' : adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.

4. Berhujjah dengan hadits dlaif

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dlaif yang maudlu' tanpa menyebutkan kemaudlu'annya. Adapun Kalau hadits dlaif itu bukan hadits maudlu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknyaa diriwayatkan untuk Berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada :

1. Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadits dlaif, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama.
Pendapat ini dipertahankan oleh abu Bakar Ibnu'l "araby.
2. Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal ( fadla'ilul a'mal ) dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah ( keinginan2 ).
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata :
" Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi rawinya.

Dalam pada itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dlaif untuk fadla'ilul amal, memberikan 3 Syarat :

1. Hadits dlaif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu hadits dlaif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dlaif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan ( shahih dan hasan )
3. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut bener benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath ( hati hati ) belaka.

5. Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi

A. Hadits Mutawatir : adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.

Syarat syarat hadits mutawatir

1. Pewartaan yang disampaikan oleh rawi rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
2. Jumlah rawi rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'iy demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.

B. Hadits Ahad : adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
Klasifikasi hadits Ahad :

1. Hadits Masyhur : adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
2. Hadits Aziz : adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang , walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah ( lapisan ) saja, kemudian setelah itu orang orang meriwayatkannya.
3. Hadits Gharib : adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi

6. Hadits Qudsy atau Hadits Rabbany atau Hadits Ilahi

Adalah Sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikanmakna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.

Perbedaan Hadits Qudsy dengan hadits Nabawy :

Pada hadits qudsy biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat kalimat

A. Qala ( yaqalu ) Allahu
B. Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala
C. Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.

Perbedaan Hadits Qudsy dengan Al Qur'an

A. Semua lafadz lafadz Al Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits Qudsy tidak demikian
B. Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al Qur'an, tidak berlaku pada Hadits Qudsy. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats
C. Setiap huruf yang dibaca dari Al Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
D. Meriwayatkan Al Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits Qudsy tidak demikian.

Wallahua'lam

Senin, 27 September 2010

Ringkasan tafsir Al Baqarah ayat 6 dan 7 tentang sifat Orang Kafir.




Ringkasan Tafsir surah dan ayat dari beberapa kitab Tafsir

Berikut dibawah ini ada ringkasan tafsir yang diambil dari beberapa kitab tafsir…
Diringkas sedemikian rupa, dikurangi arti kata dasar, asal kata, arti kata yang bersendiri, ataupun yang digabungkan dengan kata didepan/dibelakangnya..demi mempersingkat penulisan, tanpa mengurangi tafsir secara keseluruhan.

Mudah-mudahan bermanfaat dan tidak keluar dari kaidah Tafsir yang dimaksud dalam kitab itu sendiri…Wallahua’lam…

QS Al Baqarah ayat 6 dan 7.

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS Al Baqarah ;6)
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (QS Al Baqarah :7)

Berikut akan di bahas tafsir untuk ayat diatas dengan diambil dari beberapa kitab tafsir, spt Tafsir Al Qurthubi, Tafsir Fathul Qadir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Abbas, dan Tafsir As Sadi.

Ayat 6 ;

Ringkasan Tafsir Al Qurthubi

Kekufuran adalah lawan keimanan. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat diatas. Namun terkadang kufur juga bermakna mengingkari nikmat dan kebaikan, sebagaimana contoh dari Sabda Rosul SAW tentang kaum perempuan dalam hadits di bawah ini :

“Dulu aku pernah diperlihatkan api neraka. Tidak ada satupun pemandangan yang paling buruk seperti pemandangan yang kulihat waktu itu. Aku juga melihat sebagian besar penghuninya adalah kaum perempuan,” Ada yang bertanya ,”Kenapa , wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena KEKUFURAN mereka” Ada yang bertanya, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka kufur kepada suami dan kufur kepada kebaikan. Jika kamu (laki-laki) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka (istri) selama setahun penuh, kemudian dia melihat sesuatu (yang tidak menyenangkannya) dari dirimu maka dia berkata,”Aku tidak pernah sekalipun melihat kebaikan darimu.” (HR Bukhari dlm pembahasan tentang Gerhana)

Kaafir juga berarti malam, karena kegelapam malam menutupi segalanya.

Dengan ayat ini Allah ingin memberitahukan bahwa ada diantara manusia yang keadaannya seperti ini, tanpa menyebutkan siapa dia.

Ringkasan Tafsir Fathul Qadir

Allah SWT menyebutkan golongan yang buruk setelah selesai menyebutkan golongan yang baik, yang berarti memisahkan perkataan ini dari perkataan yang pertama dan menandainya dengan sesuatu yang menyatakan bahwa pemberian peringatan tidak melahirkan manfaat bagi orang-orang kafir, tuntutan keimanan pun tidak berlaku pada mereka dan keberadaannya sama dengan tidak ada.

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.

Allah ‘azza wa jalla’ berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang kafir” yaitu orang-orang yang menutup kebenaran dan menyembunyikannya. Dan Allah telah menetapkan hal itu bagi mereka, baik mereka diberi peringatan ataupun tidak. Mereka akan tetap kafir dan tidak mempercayai apa yang engkau (Muhammad) bawa kepada mereka.
Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla’
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabb-mu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih” (QS Yunus :96-97)
Dan Allah berfirman tentang orang-orang yang keras kepala dari kalangan Ahli Kitab:
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), maka mereka tidak akan mengikuti kiblatmu” (QS Al Baqarah 145)
Maksudnya, orang yang telah Allah tetapkan hidup dalam kesengsaraan, ia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Dan orang yang disesatkan oleh Allah, ia tidak akan pernah mendapatkan petunjuk. Maka jangan biarkan dirimu binasa dalam kesedihan karena mereka. Dan sampaikanlah risalah (Islam) kepada mereka. Maka barang siapa yang menyambut seruanmu, ia mendapat bagian yang banyak. Dan barang siapa berpaling, maka janganlah engkau bersedih karena perbuatan mereka, dan janganlah hal itu terlalu engkau pikirkan.
Allah ‘azza wa jalla” berfirman,
“Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka” (QS Ar-Ra’d :40)
“Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala sesuatu” (QS Huud : 12)

Ringkasan Tafsir Ath Thabari.

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang ayat ini, ia berkata, ‘Dahulu Rasulullah SAW sangat menginginkan semua orang beriman dan mengikuti petunjuk. Maka Allah Ta’ala mengabarkan bahwa tidak akan beriman kecuali orang-orang yang seblumnya telah Allah tetapkan kebahagiaan baginya dalam suratan takdir. Dan tidak akan sesat kecuali orang yang sebelumnya telah Allah tetapkan kesengsaraan baginya dalam suratan takdir” (Tafsir ath Thabari)

Ringkasan Tafsir As Sa’di

Allah ‘azza wa jalla’ mengabarkan, “Sesungguhnya orang-orang kafir” yaitu mereka yang bersifat dengan kekufuran dan terwarnai dengannya, lalu menjadi sifat yang lazim bagi mereka, dimana tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi mereka darinya, nasihat tidak berguna pada mereka dan mereka selalu tetap dalam kekufuran mereka, maka itu sama saja bagi mereka, “Kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman”, hakikat kekufuran adalah mengingkari sesuatu yang datang dari Rasul, atau mengingkari sebagiannya, tidak akan ada manfaatnya dakwah bagi mereka orang-orang kafir, kecuali hanya sebatas menegakkan hujjah atas mereka, seolah-olah dalam hal ini hanya keinginan kuat rasulullah dalam mewujudkan keimanan mereka, dan bahwasanya kam jangan bersedih hati untuk mereka, dan janganlah dirimu menyesali mereka.
Kemudian Allah ‘azza wa jalla’ menyebutkan beberapa penghalang yang menghalangi mereka dari keimanan seraya berfirman, di ayat selanjutnya (ayat 7)


Ayat 7 :

Ringkasan Tafsir Al Qurthubi.

Pada ayat ini ada beberapa masalah :

1. Firman Allah ‘azza wa jalla “khotamallohu” (Allah telah mengunci-mati). Dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla’ menjelaskan faktor yang menghalangi mereka dari iman dengan firman Nya Al Khotm yang maknanya adalah menutup atas sesuatu hingga tidak ada sesuatupun yang masuk. Ahli Makna berkata, “Allah ‘azza wa jalla’ menyebutkan 10 sifat hati orang-orang kafir, yaitu :
a. Ingkar (al inkaar)
(QS An Nahl : 22)
b. Berpaling (al inshiraaf)
(QS At-Taubah : 127)
c. Sombong (al hamiyah)
(QS Al Fath :26)
d. Keras membatu (al qasaawah)
(QS Az Zumar : 22)
e. Mati (al maut)
(QS An’aam : 122)
f. Tertutup (ar-rain)
(QS Al Muthaffifiin :14)
g. Sakit (al maradh)
(QS Al Baqarah : 10)
h. Sesak (Adh-dhaiq)
(QS Al An-aam : 125)
i. Dikunci mati (Ath-tab-u)
(QS Al Munafiquun : 3)
j. Dikunci mati (Al Khatm)
(QS Al Baqarah : 7)

2. Al Khatm pada hati adalah tidak mengindahkan firman-firman Allah ‘azza wa jalla’ dan tidak merenungkan ayat-ayatNya. Al Khatm pada pendengaran adalah tidak memahami Al Qur-an apabila dibacakan kepada mereka. Al Khatm pada penglihatan adalah tidak merenungi mahluk Nya dan keajaiban ciptaan Nya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Qatadah dll.

3. Dalam ayat ini terdapat dallil yang paling jelas bahwa Allah ‘azza wa jalla’ adalah yang menciptakan hidayah (petunjuk) dan kesesatan, kekufuran dan keimanan.
Selain itu, makna Al Khatm dan Ath Thab’u bermakna sesuatu yang diciptakan Allah di dalam hati yang dapat menghalangi iman. Dlailnya adalalh firman Allah ‘azza wa jalla’ “Demikianlah, Kami memasukkan (rasa ingkar dan memperolok-olokkan itu) kedalam hati orang-orang yangn berdosa (orang-orang kafir), mereka tidak beriman kepadanya (Al Qur’an)” (QS Al Hijr :15)

4. Dalam ayat ini terdapat bukti keutamaan hati atas seluruh anggota tubuh lainnya.

5. Anggota tubuh lain sekalipun tunduk kepada hati, namun terkadang hati terpengaruh-sekalipun dia adalah dan raja anggota tubuh-dengan perbuatan anggota tubuh lain, karena adanya keterikatan antara lahir dan batin. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya – bila - seseorang selalu jujur maka akan muncul dalam hatinya titik putih, dan sesungguhnya seseorang – bila – selalu bohong makak akan membuat hitam hatinya” (HR Tirmidzy)

6. Maksud hati di ayat ini adalah akal, sebab hati adalah tempat akal, menurut sebagian besar ulama, sesuai dengan ayat berikut ,”Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati” (QS Qaaf 50 :37)

7. Ayat ini menjadi dasar tentang mengutamakan pendengaran dibandingkan penglihatan, karena pendengaran disebutkan sebelum penglihatan.

Wallahua’lam

Ringkasan Tafsir Fathul Qadir.

Abd bin Humaid meriwayatkan dari Qatadah tentang ayat ini, ia mengatakan, “Mereka mematuhi syetan sehingga syetan pun menguasai mereka, maka Allah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup sehingga mereka tidak dapat melihat petunjuk, tidak dapat mendengar, tidak dapat memahami dan tidak dapat memikirkan”

Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Penguncian pada hati dan pendengaran mereka, sedangkan tutup pada penglihatan mereka.

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.

Al A’masy berkata, “Mujahid mengisyaratkan kepada kami dengan tangannya seraya berkata “ Mereka berpendapat bahwa perumpamaan hati seperti ini, yakni telapak tangan. Jika seseorang berbuat dosa, maka dosa itu menutupinya. ‘Sambil membengkokkan jari kelingkingnya. Ia (Mujahid) mengatakan “Seperti ini, Jika ia berbuat dosa lagi, maka dosa itu menutupinya.” Mujahid membengkokkan jari yang lain ke telapak tangannya. Demikian seterusnya hingga seluruh jari-jemari menutup telapak tangannya. Setelah itu Mujahid berkata “Hati mereka itu terkunci mati” dan Mujahid mengatakan “Mereka memandang bahwa hal itu adalah ar-rain (Kotoran/dosa) (Tafsir ath Thabari)

Ringkasan Tafsir Adwha’ul Bayan Syaikh Asy Syanqithi.

Dalam ayat ini dapat disimpulkan, bahwa yang akan dikunci mati itu adalah hati dan pendengaran mereka, sedangkan yang akan ditutup adalah penglihatan mereka. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman Nya, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?” (QS Jaatsiyah :45)

Yang dimaksud dengan al Khatm (mengunci mati) adalah mengikat sesuatu agar apa-apa yang berada didalamnya tidak bisa keluar dan apa-apa yang berada diluarnya tidak bisa masuk ke dalamnya. Sedangkan ari “al ghisyaawah” adalah penutup mata yang berfungsi untuk menghalanginya agar tidak dapat melihat.

Ringkasan Tafsir As Sa’di adl sbb.

“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka” yaitu menutupnya dengan penutup yang tidak dapat dimasuki oleh keimanan dan tidak bisa ditembus, akhirnya apa yang mereka lihat, tidak berguna bagi mereka dan apa-apa yang mereka dengarkan, tidak bermanfaat untuk mereka ,”dan penglihatan merkea ditutup” yaitu pelapis, penutup, dan penghalang yang menghalangi mereka dari melihat yang berguna bagi mereka, dan inilah jalan-jalan ilmu dan kebaikan dimana telah ditutup bagi mereka, tidak ada keingingan pada mereka dan tidak ada kebaikan yang diharapkan pada mereka, sesungguhnya mereka telah dihalangi dan ditutup bagi merka pintu-pintu keimanan yang disebabkan oleh kekufuran dan pengingkaran mereka serta keras kepala mereka setelah jelas bagi mereka kebenaran itu, sebagaimana Allah ‘azza wa jalla’ berfirman, “Dan kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada permulaannya” (QS Al An’am:10). Dan ini hanyalah hukuman yang sekarang, kemudian Allah menyebutkan hukuman yang akan datang seraya berfirman ,”Dan bagi mereka siksa yang amat pedih” yaitu adzab api neraka, kemurkaan yang Maha Perkasa yang terus menerus dan selamanya.

MAHZAB

Mazhab


Secara etimologis, kata mazhab, berasal dari sighat masdar mim [kata sifat] dan isim makan [kata yang menunjukkan tempat] yang diambil dari fi’il madhi Dzahaba, yang berarti pergi, dan bisa juga berarti al-ra’yu, yang berarti pendapat. [Huzaemah Tahido, 1997: 71]


Menurut Ibrahim Hosein, mazhab, secara etimologis memiliki paling tidak tiga macam pengertian, yaitu:


i] pendirian, kepercayaan;

ii] sistem atau jalan;

dan iii] sumber, patokan, dan jalan yang kuat, aliran atau juga berarti paham yang dianut. [Ibrahim Hosen, 2003: 91]


Sedangkan secara terminologis, mazhab adalah jalan pikiran [pendapat] yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis. [Huzaemah, Loc. Cit.]

Tidak ada dalil dalam Al Qur'an yang mengharuskan seseorang untuk mengikuti Madzhab yang  ada. Namun bukan berarti tidak boleh seseorang mengikuti salah satu Madzhab yang 4 (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali), karena pada prinsipnya para Imam Madzhab itu mengambil semua dalil dari Al Qur'an dan Sunnah (Hadits), namun hasil kesimpulan hukum suatu perbuatan tergantung dari sisi mana para Imam Madzhab itu memandang (tergantung banyak hal yang akan dijelaskan dibawah ini). .


Secara historis, polarisasi mazhab dalam Islam dapat diidentifikasi menjadi dua kelompok besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahl al-hadits, atau biasa dikenal sebagai faksi Kufah dan faksi Hijaz.


Faksi pertama, diwakili oleh imam Abu Hanifah, seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakan porsi ra’yu, atau paling tidak lebih cenderung rasional dalam pemikiran ijtihadnya. [Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, [Kairo: Mathba’ al-Madani, t.th], h. 188]


Sementara faksi kedua, diwakili oleh imam Malik bin Anas ibn Amr, seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah sebagai sebagai referensi dalam pemikiran ijtihadnya.


Sedangkan Imam Syafi’i, dikenal sebagi sintesa antara dua faksi ini, walaupun lebih cenderung kepada ahl al-hadits, dan imam Ahmad ibn Hanbali juga masuk dalam faksi ahl al-hadits, karena ia seorang muhadditsin, di samping juga sebagai mujtahid mustaqil, namun pola istinbath-nya lebih dekat kepada metodologi gurunya, Imam Syafi’i. [Muhammad Ali Al-Sayis, 1970: 102]


Secara sosiologis timbulnya berbagai mazhab dalam hukum Islam dipengaruhi oleh setting sosio-historis, dan sosio-sosial yang melingkupi para imam mazhab dalam proses istinbath hokum dilakukan.


Sebab-sebab timbulnya mahzab.


Seperti diketahui, bahwa para ulama/muhadditsin/imam di masa lampau dalam menarik kesimpulan dalam suatu masalah, menggunakan dalil Al Qur’an dan Hadits/Sunnah. Namun ada kalanya kesimpulan hukum antara satu ulama, bisa saja berbeda dengan ulama yang lain, dilihat dari sudut pandang masing-masing ulama tersebut.

Berikut, penjelasan dari, Mahmud Syaltout dan Muhammad Ali Al-Sayis tentang sebab-sebab serta beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab, antara lain:


a] Perbedaan pemahaman tentang lafadz nash.


Para ulama berbeda dalam memahami lafadz nash, karena bisa jadi suatu lafadz bisanya memiliki makna hakiki dan majazi. Sebagai contoh, lafadz quru’, adalah lafadz musytarak, sehingga fuqaha Hijaz mengartikan dengan arti ”suci”, sementara fuqaha Irak, memahaminya dengan ”haid”.


b] Perbedaan dalam masalah hadis.


Perbedaan ini terjadi, karena ada hadis yang sampai kepada sebagian fuqaha dan tidak sampai kepada fuqaha yang lain. Di samping perbedaan dalam menilai kualitas sebuah hadis yang absah dijadikan basis argumentasi dalam ber-istidlal.


c] Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan qaidah lughawiyah nash.


Para fuqaha berbeda daalm memahami apakah suatu lafadz al-’am itu qath’i atau zhanni. Sebagian memahami bahwa lafdz al-’am itu bersifat qath’i jika tidak ada takhsish-nya, sementara yang lain memahaminya sebagi zhanni bukan qath’i.


d] Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yang berlawanan [ta’arudl].


Para fuqaha berbeda pendapat, ketika terjadi pertentangan antara dua dalil dan cara penyelesainnya melalui tarjih. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa, pada dasarnya tidak ada pertentangan antar dalil, kecuali hanya pertentangan dalam pemahaman para mujtahid. Sementara fuqaha yang lain, memang mengakui adanya pertentangan sehingga harus dicarikan metode penyelesainnya melalui tarjih.


e] Perbedaan dalam qiyas.


Perbedaan ini bukan hanya antara yang menolak dan yang menerima qiyas sebagai dalil hukum, tetapi juga antara yang menerima qiyas pun terjadi perbedaan, terutama dalam intensitas penerimaannya.


f] Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum.


Dalil hukum dibagi menjadi dua bagian, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli, adalah dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis. Sedangkan dalil naqli, adalah dalil berdasarkan ijtihadiyah. Berkaitan dalil yang disebut terakhir ini, para ulama berbeda dalam penerimaannya sebagai basis ber-istidlal.


g] Perbedaan dalam pemahan illat hukum dan nasakh.


Illat hukum, merupakan dasar bagi penetapan suatu ketentuan hukum syara’. Para fuqaha berbeda dalam penetapan illat, dan mereka juga berbeda dalam naskh, yaitu pengahapusan suatu hukum dengan ketentuan hukum yang datang kemudian. [Muhammad Syaltout dan Muhammad Ali al-Sayis, 1978: 16-18]


Di samping empat mazhab fiqh yang disebutkan di atas, terdapat sejumlah mazhab fiqh lain, seperti mazhab Zahiri, Thabari, Laits, dan sebagainya. Namun saat ini mazhab-mazhab tersebut kurang berkembang, karena sedikit pengikutnya. Sedangkan di luar kelompok Sunni [Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah] terdapat mazhab Syi’ah, yang terdiri dari dua mazhab besar, yaitu Syi’ah Imamiyah yang terdiri dari dua belas imam dan mazhab Syi’ah Zaidiyah. [Asmuni Rahman, 1985: 2]

Jadi berdasarkan penjelasan diatas, adalah tidak benar, bila kita mengatakan bahwa kita harus kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah saja, tanpa perlu mengikuti salah satu madzhab dari imam yang 4 tersebut, sementara kita tidak mengetahui secara detail, seluruh ilmu / kaidah hukum yang tercantum dalam Al Qur'an dan Hadits. Karena sesungguhnya tidaklah mungkin kita orang awam bisa menggali kaidah hukum yang terkandung dalam Al Qur'an dan Hadits. Para Imam 4 Madzhab telah mencurahkan segenap pikiran dan perhatiannya untuk menggali hukum yang ada dalam Al Qur'an dan Hadits, serta menggabungkan antara nash-nash yang kelihatan bertentangan, maupun juga memilah-milah antara yang nasakh dan mansukh, serta melihat hadits yang shohih maupun yang dhoif. Maka sudah sewajarnya kita mengikuti pendapat-pendapat dari Para Imam Madzhab, untuk mempermudah kita agar tidak salah dalam mengambil kaidah hukum. Yang perlu dicermati dan diwaspadai adalah, tidaklah boleh bagi kita mengambil pendapat dari ke 4 Imam Madzhab untuk perkara yang "menyenangkan hati" kita saja, alias mau enaknya saja.

Wallahua’lam.

HUKUM WANITA BEKERJA (FIQH KONTEMPORER)

Hukum Wanita Bekerja (Keputusan Majlis Fiqh Dunia)



Oleh : Zaharuddin Abd Rahman, http://www.zaharuddin.net/



Islam membenarkan isteri bekerja tetapi semua kebenaran tadi adalah diikat dengan syarat-syaratnya.



Keharusan ini termasuk dalam umum ayat Allah SWT yaitu :-



للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن



"Bagi lelaki bagian yang ia usahakan dan bagi wanita bagian yang ia usahakan" ( An-Nisa : 32 )



Nabi SAW pula telah menyebutkan bahawa : ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده



"Tiada seorang pun yang makan lebih baik dari orang yang makan dari hasil tangannya sendiri" ( Riwayat, Al-Bukhari, no 1966, Fath Al-bari, 4/306)



Pesan Sejarah Wanita Bekerja di Zaman Nabi



Kebanyakan wanita di zaman Nabi dahulu tidak bekerja di luar rumah dan hanya bekerja di sekitar rumahnya saja. Cuma sebagian wanita islam adakalanya bertugas di luar rumah sekali sekali berdasarkan keperluan.



Ummu Atiyah sebagai contoh yang bertugas menguruskan jenazah wanita Islam di Madinah, merawat lelaki yang cedera di medan peperangan disamping itu menyediakan makanan buat pejuang-pejuang Islam.



Termasuk juga adalah Rufaydah Al-Aslamiyyah, yang merupakan doktor wanita Islam pertama yang mana Nabi SAW menyediakan sebuah kemah khusus di masjid Nabi untuk tujuan merawat pejuang Islam yang cedera ketika peperangan 'Khandaq'.



Demikian juga Ar-Rabaiyyi` bint Mu`awwiz and Umm Sulaim yang bertugas di luar rumah untuk memberi minuman dan makanan kepada pejuang. Ash-Shifa' binti `Abdullah pula pernah bertugas sebagai guru yang mengajar wanita-wanita islam membaca dan menulis ketika baginda nabi Muhammad SAW masih hidup.



Umm Mihjan pula bertugas sebagai pembantu membersihkan masjid nabi sehingga ketika ia meninggal dunia, nabi mencari-carinya dan diberitahu setelahnya, ia telah meninggal dunia. Sebagai penghormatan, baginda Nabi SAW pergi di kuburnya lalu menunaikan solat jenazah buatnya.



Selain itu, Khalifah `Umar ibn Al-Khattab juga pernah melantik wanita bernama Ash-Shifa' untuk menjalankan tugas al-hisbah atau 'Shariah auditor' di pasar di ketika itu bagi memastikan ia dijalankan menepati Shariah.



Semua ini menunjukkan keharusannya, cuma semua keharusan tadi diikat dengan syarat tertentu sebagaimana yang disebut oleh Prof. Dr Md Uqlah Al-Ibrahim antaranya ( Nizam Al-Usrah, 2/282 ; Al-Mar'ah Bayna Al-bayt Wal Mujtama', hlm 18) :



1) Terdapat keperluan : menyebabkan ia terpaksa keluar dari tanggungjawab asalnya (yaitu peranan utama kepada rumahtangga) seperti : a. Kematian suami dan memerlukan belanja kehidupan. b. Membantu kepada kedua orang tua yang sangat miskin atau suami yang uzur tubuhnya. c. Membantu bisnis suami yang memerlukan banyak tenaga dan biaya. d. Mempunyai keistemewaan yang hebat sehinggakan kemahiran ini sangat diperlukan oleh masyarakat umumnya (spesialis).



2) Semestinya pekerjaan ini sesuai dengan fitrah seorang wanita dan kemampuan fisiknya.



3) Pada saat keluar untuk bekerja harus dengan menutup aurat dan sentiasa menjauhi fitnah di tempat kerja.



4) Kondisi ruang kerjanya tidak berdua-duaan(khalwat) dan bercampur baur dengan lelaki (ikhtilat tanpa batas/sering bersinggungan langsung).



Sebagaimana antara dalil yang menunjukkan keperluan untuk tidak bercampur dan ikhtilat dengan kumpulan lelaki sewaktu bekerja adalah firman Allah SWT :



ÙˆَÙ„َÙ…َّا Ùˆَرَدَ Ù…َاء Ù…َدْÙŠَÙ†َ Ùˆَجَدَ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ Ø£ُÙ…َّØ©ً Ù…ِّÙ†َ النَّاسِ ÙŠَسْÙ‚ُونَ ÙˆَÙˆَجَدَ Ù…ِÙ† دُونِÙ‡ِÙ…ُ امْرَأتَÙŠْÙ†ِ تَØ°ُودَانِ Ù‚َالَ Ù…َا Ø®َØ·ْبُÙƒُÙ…َا Ù‚َالَتَا Ù„َا Ù†َسْÙ‚ِÙŠ Ø­َتَّÙ‰ ÙŠُصْدِرَ الرِّعَاء ÙˆَØ£َبُونَا Ø´َÙŠْØ®ٌ Ùƒَبِيرٌ



"Dan tatkala ia ( Musa a.s) sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang (lelaki) yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia mendapati di belakang lelaki-lelaki itu, ada dua orang wanita yang sedang memegang (ternaknya dengan terasing dari lelaki).



Musa berkata: ""Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?"" Kedua wanita itu menjawab: ""Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya" (Al-Qasas : 24 )



5) Mendapat izin wali atau suami.



6) Dengan bekerjanya sang Istri, tidak menyebabkan terganggu dan terhentinya tanggung jawab di rumah terhadap anak serta suami. (Nazarat Fi Kitab As-Sufur, hlm 84)



7) Tujuan dan niat utama bekerja bukanlah untuk kesenangan / hobby maupun keinginan untuk mengumpulkan harta dan niat semata-mata menyaingi lelaki.



8) Harus berhenti sekiranya terdapat keperluan dan kekurangan dalam pendidikan anak-anak.



9) Digalakkan/niatkan kerjanya dilakukan dalam tempoh waktu tertentu saja dan bukan selama-lamanya. Sepatutnya berhenti segera setelah suami mempunyai kemampuan menanggung seluruh keluarga dengan baik. Kecuali jika mempunyai kualitasi yang amat diperlukan oleh masyarakat umum.



Sebagai panduan buat suami isteri bekerja, disertakan keputusan majlis Fiqh Sedunia tentang perkara berkaitan.



Keputusan Majlis Fiqh Sedunia dalam persidangan yang ke-16 bertempat di Dubai pada 9-14 April 2005 telah membuat ketetapan seperti berikut :



1. Pemisahan tanggungan harta di antara suami isteri



Isteri mempunyai kelayakan sepenuhnya dan hak harta yang tersendiri. Menurut hukum Shariah, isteri mempunyai hak penuh terhadap (harta) yang diusahakan, sama dengan untuk menggunakannya, memiliki sesuatu, membelanjakannya sementara suami tidak mempunyai kuasa atas harta isterinya itu. Isteri juga tidak perlu mendapat izin suami dalam pemilikan hartanya itu dan cara belanjakannya.



2. Nafkah perkahwinan



Seorang isteri berhak menerima nafkah yang telah ditetapkan mengikut kemampuan suami bersesuaian dengan uruf yang benar juga kebiasaan masyarakat setempat yang diterima syara'. Kewajiban memberi nafkah ini tidak gugur kecuali jika berlaku nusyuz (di pihak isteri).



3. Isteri keluar bekerja



* Tanggungjawab utama/asal bagi seorang isteri ialah mengurus keluarga, mendidik anak-anak dan memberi sepenuh perhatian terhadap generasi masa depan itu. Walaubagaimanapun, di ketika perlu, isteri berhak untuk bekerja dalam bidang yang bersesuaian dengan tabiat dan kemahirannya menurut uruf yang diiktiraf syara' dengan syarat hendaklah dia beriltizam (menjaga) hukum-hukum agama.

* Kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri yang berkerja tidak gugur menurut Islam, selagi mana tidak berlaku ketika keluarnya isteri tersebut untuk bekerja menyebabkan berlakunya isteri 'nusyuz', tatkala itu gugur kewajiban suami memberi nafkah kepada isterinya yang nusyuz.





4. Isteri turut serta membiayai perbelanjaan keluarga



* Menurut pandangan Islam, dari awal mula lagi, isteri tidak wajib berusaha / bekerja membiayai nafkah (perbelanjaan) yang diwajibkan ke atas suami. Suami juga tidak harus mewajibkan isteri membantunya (dengan bekerja).

* Kerelaan seorang isteri untuk turut berperanan membantu perbelanjaan keluarga merupakan suatu perkara dibenarkan menurut pandangan syara' sehubungan dengan kaidah tolong-menolong dalam rumahtangga, dan bertolak ansur di antara suami isteri.

* Diharuskan untuk bermusyawarah serta membuat perjanjian di antara suami isteri akan cara pengurusan pendapatan mereka termasuk pendapatan yang diperolehi oleh isteri.

* Jika keluarnya isteri bekerja memerlukan kos tambahan, maka isteri menanggung sendiri kos tersebut ( seperti pengangkutan dan lain-lain)



5. Kerja Sebagai Syarat



* Seorang isteri dibenarkan untuk meletakkan syarat pada akad perkawinannya bahwa ia hendaklah dibenarkan bekerja, apabila suami ridha dengan syarat itu, ia menjadi keharusan baginya untuk membenarkan (setelah kawin). Syarat itu hendaklah dinyatakan secara jelas ketika akad.

* Suami pula harus meminta isteri meninggalkan kerjanya walaupun sebelum ini ia membenarkannya, yaitu sekiranya meninggalkan pekerjaan itu dibuat atas tujuan kepentingan keluarga dan anak-anak.

* Tidak harus, pada pandangan syara' bagi seorang suami atas sebab pemberian ijinnya kepada istri untuk bekerja maka dia (istri) harus membantu perbelanjaan keluarga yang diwajibkan ke atas suami; tidak harus juga suami mensyaratkan isteri memberi sebagian daripada pendapatannya kepada suami.

* Suami tidak boleh memaksa isteri untuk keluar bekerja.



6. Kesepakatan dalam pemilikan harta isteri



Apabila isteri benar-benar turut menyumbang harta dan pendapatannya bagi mendapatkan dan memilki rumah, aset tetap atau sebarang projek perniagaan, ketika itu isteri mempunyai hak pemilikan terhadap rumah atau projek tersebut mengikut kadar harta yang disumbangkannya.



7. Penyalahgunaan hak dalam bidang pekerjaan



* Sebuah perkawinan itu mempunyai beberapa kewajiban bersama yang patut ditanggung oleh pasangan suami isteri dan ia ditentukan oleh Shariah Islam dengan jelas. Justru hendaklah perhubungan antara suami isteri dibina adalah landasan keadilan, tolak ansur dan saling menyayangi. Segala tindakan yang melampaui/melewati batasan adalah haram pada kacamata syara'.

* Seorang suami tidak harus menyalahgunakan haknya sebagai suami untuk menghalang isteri bekerja atau memintanya meninggalkan kerjaynya sekiranya ia hanya bertujuan untuk memudaratkannya (isteri) atau diyakini tindakan itu hanya akan menyebabkan keburukan melebihi kepentingan yang diperolehi.

* Demikian juga halnya ke atas isteri (tidak harus menyalahgunakan keizinan dan hak yang diberikan), yaitu jika ia berterusan dengan kerjanya hingga menyebabkan mudarat kepada suami dan keluarga atau melebihi maslahat yang diharapkan.



Tamat terjemahan



Kesimpulan Penulis

* Fitrah wanita menuntut perhatian utama mereka untuk suami, anak dan keluarga. Dan silibus kejayaan mereka adalah dalam bidang ini.

* Wanita dibenarkan bekerja jika keperluan yang disebutkan di atas benar-benar berlaku.

* Walaupun wanita dibenarkan bekerja, itu tidak berarti suami boleh duduk santai menjaga anak di rumah. Sepatutnya suami perlu meningkatkan kualitas diri sehingga dapat menanggung keluarga tanpa bantuan isteri.

* Suami isteri bekerja adalah diterima dalam Islam selagi mereka tahu dan bijak merancang pendidikan dan penjagaan anak-anak dan tidak digalakkan isteri terus menerus bekerja tanpa sebab-sebab yang mendesak. Sekadar disandarkan oleh perasaan untuk lebih bermewah-mewahan dan mudah membeli barang-barang (sehingga mengadaikan masa depan anak dan keluarga) dengan menggunakan duit sendiri adalah tidak diterima oleh Islam.

* Menurut Syeikh Prof Dr Md 'Uqlah, tugas asasi wanita adalah amat besar iaitu sebagai penentu dan pencipta kesuksesan seluruh manusia ( menurut asbab kepada hukum alam ),



Sekian,



Zaharuddin Abd Rahman http://www.zaharuddin.net/

Kamis, 23 September 2010

HADITS-HADITS DHO'IF YANG POPULER DI MASYARAKAT

HADITS-HADITS DHO’IF YANG POPULER DI MASYARAKAT.

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh..

Seiring dengan seringnya kita mendengar ceramah-ceramah / pengajian-pengajian di televisi, mesjid, perkantoran dan lain-lainnya…sering kita mendengar para ustadz/penceramah mengatakan…Nabi SAW Bersabda,”….dst..dst” tanpa mencantumkan perawi hadits tsb…

Kemudian dengan yakinnya kita, para pendengar juga “melanjutkan” atau “menyambung lidah” dari para penceramah/ustadz tentang materi, dan isi hadits yang mengatakan ,”Nabi SAW bersabda,” dst..dst” tanpa mencatumkan periwayat hadits apalagi mengecek “Keshohihan” hadits tsb.

Mengacu pada kejadian diatas, serta dengan makin banyaknya literature-literatur hadits shohih dan hadits dhoih, berikut akan kami sampaikan beberapa hadits dho’if, dan maudhu (palsu), serta yang tidak ada asalnya (bukan dho’if maupun maudhu), sebagai informasi dan pengingat kita semua, agar kita kelak tidak dikatakan seperti perkataan nabi, ,” dari Abu Said Al Khudri, dari Nabi SAW,” Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah menyiapkan tempatnya dari Neraka” (HR Muslim - 5326)
Selain itu sesuai dengan pesan nabi, maka alangkah baiknya kita mengecek setiap perkataan nabi / hadits nabi yang tidak disebutkan perawinya (karena dikhawatirkan yang disampaikan sebenarnya bukan perkataan nabi, atau hadits tsb Maudhu), yang mana sesuai pesan nabi melalui Abu Hurairah, “Rosulullah SAW bersabda, “ Akan muncul pada akhir umatku ini manusia menceritakan hadits kepadamu yang kmu belum pernah mendengarnya dan juga bapak-bapak kalian, maka waspadalh dirimu dari bahaya mereka” (HR Muslim -7).

Adapun tentang adanya pendapat tentang kebolehan menggunakan hadits lemah sebagai Fadhaa’il A’maal, maka para ulama sepakat bahwa ada 3 persyaratan penting yang harus diketahui dan dicamkan baik-baik oleh orang-orang yang menggunakan hadits lemah dalam fadhaa’il A’maal, yaitu :
1. Hadits tersebut kelemahannya ringan, tidak terlalu parah, seperti lemah sekali, tidak maudhu apalagi tidak ada dasarnya.
2. Orang yang mengamalkannya, mengetahui bahwa perbuatannya itu adalah bersandarkan pada hadits yang lemah, serta tidak berkeyakinan bahwa perkataan / perbuatan tersebut adalah dari Rasulullah SAW.
3. Hadits lemah tersebut didasari oleh dalil shohih yang bersifat global(1)

Marilah kita lihat hadits-hadits lemah/maudhu ini yang popular di masyarakat Indonesia, secara satu persatu (sebenarnya hadits yang seperti ini banyak sekali, namun cukup yang kita bahas adalah sangat popular di Indonesia yang sering dibawa untuk ceramah para ustadz-ustadz kita)


1. Meraih Kesuksesan Dunia Akherat Dengan Ilmu.


Berikut Kutipannya, “Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya ia berilmu. Dan barangsiapa yang menghedaki akhirat, maka hendaklah ia berilmu. Dan barangsiapa yang menghedaki keduanya, maka hendaklah ia berilmu”
Hadits diatas adalah TIDAK ADA ASALNYA.
Kutipan diatas, sebenarnya bukan hadits, hanyalah salah satu kata mutiara Imam Asy-Syafi’I, tanpa penggalan kata terakhir.

2. Belajar di saat Kecil.


“Perumpamaan seorang yang menuntut ilmu sejak kecilnya seperti mengukir di batu, dan perumpamaan seorang yang menuntut ilmu saat usia tua seperti menulis di atas air” ……(HR Thabarani, dalam Mu’jam al-Kabir, dari Abu Darda’)
Hadits diatas adalah Palsu / Maudhu, karena ada salah satu perawi bernama Marwan bin Salim asy-Syami, yang dilemahkan sekali oleh Imam al-Bukhari, Abu Hatim, Ibnu Hibban dll (Silsilah al-haadiits adh-Dha’iifah no 67)

3. Keutamaan Bulan Ramadhan.

“Seandainya sekalian hamba mengetahui keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berangan-angan agar setiap tahun dijadikan bulan Ramdhan seluruhnya….dst..dst..hadits panjang” (HR Khuzaimah)
Hadits tsb diatas adalah MAUDHU / PALSU. Karena dalam perawi terdapat Jarir bin Ayub al-Bajali, yang dikenal sebagai rawi pendusta yang Masyhur…

4. Tidak Makan Hingga Lapar.


“Kita adalah suatu kamu yang tidak makan hingga merasakan lapar, dan apabila kita makan, maka kita tidak kenyang (berhenti sebelum kenyang)”
Perkataan diatas adalah TIDAK ADA ASALNYA (bukan hadits nabi), namun perkataan diatas adalah perkataan / ucapan seorang dokter ahli dari Sudan…(ada dalam buku hadits-hadits bermasalah karangan Prof Dr Ali Mustafa Yaqub)

5. Kisah Tsa’labah bin Hatib RA.

“Celaka dirimu wahai Tsa’labah, sedikit tapi kamu syukuri itu lebih baik daripada banyak tapi engkau tidak sanggup untuk mengembannya” (dari Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari)
Ringkas ceritanya ,” Tsa’labah RA adalah seorang sahabat yang fakir tetapi rajin beribadah. Suatu saat ia memohon kepada Nabi SAW agar mendo’akannya supaya dikaruniai rizki. Nabi SAW pun mendo’akannya. Walhasil, dia bekerja sebagai pnggembala kambing. Waktu ke waktu berlalu, akhirnya ternaknya berkembang dengan pesat sekali, hingga lambat laun ia melalaikan dari sholat berjama’ah..dst..dst sampai akhir kisah (hadits panjang).
Hadits diatas adalah LEMAH SEKALI. Adz-Dzahabi berkata hadits ini Munkar Sekali(2)
Selain itu, kisah ini juga BATHIL ditinjau dari segi matan/isinya diantarannya :
a. TIdak adanya kesesuaian antara kisah dengan ayat,karean ayat ini bicara tentang orang munafik, sedangkan Tsa’alabah termasuk sahabat mulia, bahkan pengikut perang Badar, dan ahli ibadah, sehingga dijuluki dengan Mamah Masjid karena seringnya di Mesjid (3)
b. Mua’amalah Nabi SAW dengan Tsa’labah dalam kisah ini berbeda sekali dengan kebiasaan beliau dengan orang munafik, yaitu menerima uzur mereka.
c. Kisah ini menyelisihi kadiah umum bahwa orang yang bertaubat dari suatu dosa, apapun dosanya maka taubatnya diterima, latas mengapa Nabi SAW tidak menerima Taubat Tsa’labah?

6. Alqamah Mendurhakai Ibunya.

Ringkas cerita kurang lebih sebagai berikut “Alqamah adalah seorang ahli Ibadah. Tatkala dia dalam Sakaratul Maut, lidahnya tidak dapat mengucapkan kalimat laa ilaah illallaah. Rasul SAW pun mendatanginya seraya bertanya kepada para Shahabatnya, “Apakah ibunya masih hidup?” Jawab mereka “Masih” Sang ibu pun dihadirkan, lantas menjelaskan bahwa dirinya telah mengutuk si anak (Alqamah) karena dia lebih mengutamakan istrinya daripada dirinya. Nabi SAW meminta kepada sang ibu untuk mencabut kutukannya. Namun dia tidak bersedia, lantaran sudah terlanjur sakit hati. Akhirnya Nabi SAW pun menyuruh para sahabatnya agar mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Alqamah, supaya lekas mati. Bagaimanapun juga, seorang ibu, dia tidak tega putranya mengalami nasib seperti itu, lalu mencabut kutukannya. Sedetik kemudian Alqamah mampu mengucapkan laa ilaaha illallaah. Lalu wafatlah dia” (al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman IV/197) hadits diatas adalah MAUDHU / PALSU.
Hadits diatas juga dilemahkan oleh para ulama lainnya seperti adz Dzhabi, asy Syaukani, al-Mundziri, dll.

7. ‘Abdurrahman bin ‘Auf merangkak.

“Aku melihat ‘Abdurrahman bin ‘Auf masuk Surga dengan merangkak” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad VI/115)
Imam Ahmad sendiri berkata, “hadits ini dusta!”, dan An-Nasa-i juga berkata “Hadits Maudhu!”
Penjelasan : Imam Ibnul Jauzi RA berkata “Hadits bathil ini dijadikan pegangan oleh orang-orang jahil Sufi, bahwa harta adalah pencegah dari kebajikan seraya mengatakan “Kalau ‘Abdurrahman bin ‘Auf saja masuk surge dengan merangkak disebabkan hartanya, maka cukuplah hal itu sebagai celaan bagi harta”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan tegas mengatakan “adapun apa yang diriwayatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf RA masuk surga dengan merangkak, maka ini adalah Maudhu, tidak ada asalnya (majmuu’ fataawaa XI/128)

8. Amal Dunia dan AKhirat.

“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok.” (TIDAK ADA ASALNYA secara marfu’)
Matan / isi hadits ini pun tidak benar, karena sesungguhnya kita manusia dianjurkan untuk mencari dunia sekedar kebutuhan saja(4)
Alangkah bagusnya perkataan Ibnu Taimiyyah, “Hendaknya harta bagi seorang hamba seakan seperti tempat buang hajat yang tidak ada ketergantungan dalam hatinya.

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang Maudhu/bukan perkataan nabi yang sering dibicarakan oleh para penceramah, tanpa mengutip sumbernya atau minimal mengatakan perawinya, seperti, “Wanita adalah Tiang suatu Negara dst..dst…” “Dunia adalah ladang untuk Akhirat..” “ Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad yang lebih besar”..”Kisah kesetiaan istri kepada suaminya yang menyebabkan ayahnya masuk surga (karena kesetiaan istri pada suaminya tersebut) dan lain sebagainya.


Semoga kita semua dapat mengenali hadits-hadits yang Dho’if, terutama yang Munkar apalagi yang Maudhu, ataupun setidaknya kita tidak mudah menjadi penyambung lidah dari para ustadz/penceramah dalam mengemukakan / mengucapkan hadits yang Dho’if / munkar / Maudhu, terutama bila para penceramah tersebut tidak mengucapkan minimal perawi dari hadits tsb.
Dan mudah-mudahan, para ustadz/penceramah kita semakin berhati-hati dalam mengucakpan “Nabi SAW Bersabda….” Agar tidak terkena teguran nabi bahwa kita disuruh menyiapkan tempat tinggal kita di Neraka..Na’udzubillah …


Diambil dari buku Koreksi hadits-hadits Dha’if Populer, karangan Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi..


Wallahu’alam

Footnote

1.Lihat Tabyin ‘Ajab (hal 3-4) Ibnu Hajar.
2 Tajriid Asmas’ish Shahaabah (I/66)
3 Lihat al-Ishabah (I/199) Ibnu Hajar.
4.Lihat penjelasan bathilnya hadits ini dalam tulisan Ustadzuna wa Waliduna Karim Abu Muhammad Aunur Rafiq “harus seimbangkah dunia dan akherat?” dalalm majalah al Furqon edisi 1/th V hal 12-13

Selasa, 07 September 2010

MENGGUNAKAN HADITS-HADITS DHA'IF UNTUK FADHAILUL A'MAL

Bolehkah Menggunakan Hadits-Hadits Dhaif Untuk Fadhailul A’mal?

Pertanyaan: Bagaimana pandangan syara’ atas para dai, penasihat, khathib, dan ulama yang banyak menyampaikan hadits-hadits dhaif, dan orang bodoh dari kalangan penuntut ilmu pemula yang tidak memahami kelemahannya, dan tidak tahu kesungguhan para ulama hadits. Jika mereka diingkari, mereka menjawab; “hadits dhaif boleh diamalkan untuk Fadhaiul A’mal, juga dalam pelajaran, dan targhib (kabar gembira) dan tarhib (ancaman).


Jawaban: (Fatwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah)


Bismillah, wal hamdulillah, washshalatu wassalam ‘ala rasulillah, wa ba’du:


“Sebagian ulama berpendapat bahwa dibolehkannya menyampaikan hadits-hadits dhaif dalam urusan nasihat dan bimbingan, dan dari apa-apa yang disitilahkan dengan fadhailul a’mal. Sampai-sampai banyak yang mengklaim bahwa ulama telah sepakat terhadap pendapat ini.


Tidak ragu lagi, ini adalah salah besar. Sejumlah besar para ulama muhaqqiq (peneliti) berpendapat bahwa tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul a’mal dan lainnya. Ini adalah pendapat Imam Bukhari dan dikuatkan oleh Syaikh Al Albani pada masa kita sekarang.


Lagi pula, pihak yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif untuk Fadhail juga memberikan syarat dengan syarat yang begitu penting sampai-sampai tidak mungkin, sehingga sama saja itu sebagai hadits shahih.


Syarat yang mereka keluarkan adalah:


1. Hadits tersebut kedhaifannya ringan,

2. Kandungannya memiliki dasar yang kuat yang telah ada pada hadits lain yang tidak dhaif,

3. Hendaknya si penasehat menjelaskan kepada manusia bahwa hadits tersebut adalah dhaif.

Demikian.


Ulama yang luas ilmu-ilmu syariat selamanya tidak akan pernah berhujjah dengan hadits-hadits dhaif, karena hadits-hadits shahih begitu banyak dan mencukupi. Namun, orang-orang yang sering menggunakan hadits dhaif, mereka hanyalah orang-orang yang membuat mudah populernya hadits-hadits dhaif, lantaran sedikitnya pergaulan mereka terhadap hadits dan ilmu-ilmunya.”


(Dalam Fatwanya yang lain Syaikh Al Qaradhawi mengatakan):

“Banyak amal yang disandarkan oleh mereka kepada apa-apa yang telah disiarkan oleh orang yang menganggap hadits dhaif itu boleh diriwayatkan dalam fadhailul amal, kisah, targhib, tarhib, dan semisalnya.


Kami (Syaikh Al Qaradhawi) akan memberikan sejumlah peringatan sebagai berikut:


Pertama. Pendapat ini tidaklah disepakati, di sana terdapat sejumlah besar para imam mu’tabar yang menolak menggunakan hadits dhaif dalam semua bidang, sama saja baik fadhailul a’mal dan lainnya.

Itu adalah pendapat Imam Yahya bin Ma’in, dan segolongan para imam, dan juga zahirnya pendapat Imam Al Bukhari; orang yang telah meneliti dengan cermat dan detil terhadap syarat diterimanya hadits. Juga Imam Muslim yang dalam mukadimah Shahihnya telah menilai buruk terhadap para periwayat hadits dhaif dan munkar, juga terhadap orang yang meninggalkan khabar yang shahih. Ini juga kecenderungan pendapat Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi pemimpin madzhab Malikiyah dizamannya, juga Imam Abu Syamah pemimpin madzhab Syafi’iyah pada zamannya, dan pendapat Imam Ibnu Hazm, dan selainnya.


Kedua. Jika telah ada dalam hadits shahih dan hasan yang memuat makna dan maksud pelajaran dan peringatan, maka tidak ada artinya bergantung dengan hadits lemah lagi lembek. Allah Ta’ala telah mencukupkan dengan baik dibanding yang jelek, dan jarang sekali makna agama, akhlak, dan taujih, yang tidak ditemukan dalam hadits shahih dan hasan, betapa itu sudah memadai. Tetapi lemahnya keinginan, dan mengambil segala apa saja yang datang kepadanya tanpa mengkaji dan muraja’ah, membuat begitu mudahnya tersebarnya hadits dhaif secara mutlak.


Ketiga. Sesungguhnya hadits dhaif tidak boleh disandarkan kepad Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan bentuk kata jazm (pemastian). Disebutkan dalam kitab At Taqrib Syarhnya: “Jika anda hendak meriwayatkan hadits dhaif tanpa isnad, maka jangan katakan: Qaala Rasulullah kadza (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda begini).’ Atau kata lainnya yang semisal pemastian. Tetapi katakanlah: ruwiya ‘anhu kadza (diriwayatkan darinya begini), atau disampaikan kepada kami darinya begini, atau telah sampai, atau telah datang, atau telah dinukil darinya, dan yang semisalnya dari bentuk kata tamridh (bentuk kata yang menunjukan adanya cacat), seperti rawaa ba’dhuhum (sebagian mereka meriwayatkan). Maka, apa yang menjadi kebiasaan sebagian khatib, juru nasihat, ketika menyampaikan hadits dhaif dengan ucapan: Qaala Rasulullah (Rasulullah telah bersabda), adalah pekara yang tidak dapat diterima. dan


Keempat. Ulama yang membolehkan menggunakan hadits dhaif dalam urusan targhib dan tarhib tidaklah membuka pintu bagi semua yang dhaif. Mereka memberikan syarat untuk itu, yakni ada tiga syarat:


1. Kedhaifannya tidak terlalu.

2. Hadits tersebut masih masuk ke dalam prinsip dasar syariat yang dapat diamalkan melalui Al Quran dan Sunah yang shahih.

3. Ketika mengamalkannya tidak memastikan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, justru hendaknya berhati-hati.


Dari sini telah jelas, bahwa tak satu pun ulama membolehkan menggunakan hadits dhaif dengan pembolehan tanpa ikatan dan syarat. Bahkan mereka memberikan tiga syarat sebagaimana yang telah disebutkan.


Sebagai tambahan dari syarat asasi ini, yaitu hendaknya hal itu pada fadhailul a’mal saja tidak berakibat pada hukum syariat. Dalam pandangan saya, hendaknya syarat ini ditambah dua syarat lagi, yakni:


1. Isinya tidak mengandung hal-hal yang bombastis dan ditolak oleh akal, syariat, dan bahasa. Para imam hadits telah menyebutkan bahwa hadits palsu dapat diketahui melalui qarinah (petunjuk) pada perawinya dan apa yang diriwayatkannya.

2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i lain yang lebih kuat darinya.


Wallahu A’lam