Rabu, 01 Desember 2010

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN)

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN)

MACAM-MACAM IKHTILAF (PERBEDAAN)

1. Ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir

2. Ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), terbagi menjadi :

* Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini pun termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir pula. Termasuk ke dalam ikhtilaf model ini adalah permasalahan yang diangkat oleh beberapa orang tentang kehujjahan sunnah dan mereka menyatakan bahwa Al Qur’an saja sudah cukup, sunnah tidak diperlukan. Demikian juga perbedaan pendapat dalam hal-hal yang dengan mudah dipahami dan diketahui dari Agama Islam ini atau yang dikenal dengan istilah ma’lumun minaddin bidl dlarurah, seperti shalat lima waktu sehari semalam, zakat mal, keharaman riba, mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana layaknya, dan lain-lain yang mencakup urusan akidah, ibadah dan akhlak. Hukum ikhtilaf dalam masalah ini adalah tidak boleh, haram.

* Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Ini termasuk kategori ikhtilaf (perbedaan) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini. Dan al-hamdulillah seluruh perbedaan di kalangan para ulama mujtahidin adalah perbedaan dalam kategori ini. Misalnya seluruh ulama sepakat bahwa shalat maghrib adalah fardlu ’ain, tetapi mereka berbeda pendapat di bidang apakah mengangkat tangan ketika takbir itu sampai mendekati pundah atau sampai ke dada atau sampai ke telinga. Perbedaan seperti ini tidak merubah bentuk shalat. Perbedaan tentang qunut, basmalah dan lain-lain adalah perbedaan yang tidak merubah bentuk shalat itu sendiri. Karena mereka yang berpendapat untuk qunut tidak ada satupun yang bebeda pendapat bahwa qunut itu adalah sunnat, tidak wajib dan bukan merupakan rukun shalat, yang senadainya ketinggalan, maka harus diulangi lagi shalatnya. Demikian juga tentang riba, tidak ada perbedaan dialangan seluruh ummat ini bahwa ia diharamkan. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah suatu jenis transaksi tertentu termasuk ke dalam kategori riba atau tidak.



ANTARA IKHTILAF (PERBEDAAN) DAN TAFARRUQ (PERPECAHAN)

* Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan)
* Tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan)
* Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq antara lain disebabkan :

1. Karena pengaruh hawa nafsu
2. Karena salah persepsi (salah mempersepsikan masalah)
3. Karena tidak menjaga moralitas dan etika dalam berbeda pendapat

HAKEKAT IKHTILAF DALAM MASALAH-MASALAH FURU’ (IJTIHADIYAH)

1. Ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang dimaksud adalah : perbedaan pendapat yang terjadi diantara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan

2. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena yang normal dan wajar, karena dua hal :

* Tabiat teks-teks dalil syar’i yang potensial untuk diperbedakan dan diperselisihkan, perbedaan jenis ini banyak disebabkan karena perbedaan dalam memahami teks-teks agama, baik Al Qur’an maupun As Sunnah. Saya memberikan sebuah contoh untuk memperjelas permasalahan ini. Jika pembaca memiliki sedikit penhetahuan tentang Bahasa Arab pasti akan dapat memahami contoh ini dengan baik. Perhatikan teks Bahasa Arab berikut ini :

عبد الله مُعَلِّمٌ مَاهِرٌ

Bagi yang memperhatkan teks ini maka dia akan menemukan dua buah pemahaman dan boleh jadi dia akan berbeda pendapat dengan sahabatnya tentangnya.

Pemahaman yang pertama bahwa kata ماهر adalah merupakan sifat dari kata معلم sebelumnya, jadi terjemahan dari teksi itu adalah : Abdullah adalah seorang guru yang pintar. Jadi dalam pengertian ini kepintaran Abdullah itu adalah pada pengajarannya.

Pemahaman yang kedua bahwa kata ماهر adalah merupakan khabar yang kedua, sedangkan kata معلم adalah khabar yang pertama, jadi terjemahan teks itu adalah : Abdullah adalah seorang guru lagi seorang yang pandai. Dalam pemahaman ini kepandaian Abdullah itu tidak semata-mata pada pengajarannya, tapi pada semua bidang.

Nah, ketika memahami sebuah teks yang cukup pendek saja, kita sudah berbeda pendapat tentangnya, bagaimana untuk teks-teks agama yang cukup kompleks dan kadang-kadang berbeda teksnya dan redaksinya.

* Tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya
* Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada !

SEBAB – SEBAB IKHTILAF

Dapat disimpulkan dan dikelompokkan ke dalam empat sebab utama:

1. Perbedaan pendapat tentang valid – tidaknya suatu teks dalil syar’i sebagai hujjah
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu, seperti yang saya sebutkan di dalam contoh di atas.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya), seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.,
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan situasi, kondisi, tempat , masyarakat, dan semacamnya.



BAGAIMANA MENYIKAPI IKHTILAF ?

1. Membekali diri sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional.

2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat

3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat

4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf

5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui, tentu bagi yang mampu.

6. Untuk praktek pribadi, sebaiknya memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb”). Contohnya : jika ada pendapat yang menyatkan bahwa sesuatu itu hukumnya wajib dan yang lain menyatakan bahwa hukumnya adalah sunnah, maka laksanakanlah sesuatu itu. Karena dengan melaksanakannya, maka kita sudah keluar dari perbedaan pendapat yang ada. Dan sebaliknya jika ada pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu itu haram dan yang lain berpendapat bahwa ia makruh, maka tinggalkanlah ia. Karena dengan meninggalkannya, maka kita sudah keluar dari perbedaan pendapat yang ada. Tetapi jika pendapat itu berlawanan sama sekali, misal yang satu mengatakan wajib dan yang lain menyatakan haram, yang satu menyatakan halal dan yang lain menyatakan haram, maka bertanya kepada ahludz dzikri adalah solusinya.

7. Sementara terhadap permasalahan yang berkaitan dengan orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, terutama di bidang mu’amalah, maka diutamakan memilih sikap melonggarkan dan toleran (tausi’ah & tasamuh)

8. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap mutlak-mutlakan dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah

9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah di sepakati atas masalah-masalah furu’ yang di perselisihkan

10. Tidak menerapkan sikap wala’ dan bara’ dalam ikhtilaf tentang masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Dalam pengertian orang yang tidak sepadan pendapatnya dengan saya, maka saya telah terbebas darinya dan dia termasuk golongan orang yang kafir. Ini adalah sikap yang keliru.

11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah – sebagai standar / parameter komitmen seorang muslim.

12. Menjaga agar ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tidak berubah menjadi perselisihan hati !

13. Menyikapi orang lain sebagaimana kita ingin disikapi

14. tidak menjadikan permasalahan khilafiyah sebagai identitas diri seperti yang sering kita ketahui dalam komunitas masyarakat ini. Sering kita melihat sekelompok pemuda yang melihat orang lain hanya dari celananya saja, apakah cingkrang atau tidak. Jika cingkrang, maka ia adalah kelompok kita dan jika tidak maka semua omongannya dianggap ocehan belaka. Dan masih banyak lagi pemandangan yang lain yang cukup memprihatinkan.

15. bekerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan saling toleransi dalam hal-hal yang diperselisihkan, selama perselisihan itu masih dalam kategori yang diperselisihkan dan bukan dalam kategori tafarruq.

PELAJARAN DAN TELADAN DARI ULAMA SALAF DALAM MENYIKAPI MASALAH KHILAFIYAH

1. Al Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).

2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17)

3. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173)

5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata,”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69)

6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (atau Harun Ar-Rasyid) pernah berkehendak untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45)

7. Khalifah Harun Ar-Rasyid berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf (murid dan sahabat Abu Hanifah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366)

8. Imam Ahmad termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib dan Imam Malik bin Anas?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366)

9. Imam Abu Hanifah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras … (Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109)

10. Imam Asy-Syafi’i pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah telah wafat tepat ketika Imam Asy-Syafi’i lahir (Al-Inshaf : 110)

Wallahua'lam

Diambil dan dikumpulkan dari situs internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar