Rabu, 06 Oktober 2010

Seputar Rukun Ikhlas

Seputar Rukun Ikhlas


(Diterjemahkan dari Kitab Hawla Rukn al Ikhlash karya Dr. Yusuf al Qaradhawy, penerbit Darut Tawzi’ wan Nasyr al Islamiyah tahun 1993 M)


Oleh : Farid Nu'man


Makna Ikhlash

Ikhlas adalah keinginan untuk mendapatkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla melalui amal shalih, dan membersihkannya dari setiap kepentingan duniawi. Tidak mencampurkan amalnya dengan keinginan dunia apada dirinya, baik berupa keuntungan dunia, pangkat, harta, ketenaran, kedudukan di hati makhluk, pujian manusia, lari dari celaan, mengikuti nafsu tersembunyi, atau keinginan lainnya berupa penyakit dan kotoran amal. Prinsipnya, menginginkan selain Allah ‘Azza wa Jalla dari seluruh amalnya.

Ikhlas degan pengertian ini adalah buah di antara buah-buah tauhid yang sempurna, yaitu mengesakan Allah Ta’ala dalam peribadatan dan meminta pertolongan. Sebagaimana yang tergambar dalam firmanNya: “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan” oleh karena itu riya -lawan dari Ikhlas- termasuk dari syirik. Berkata Syadad bin Aus radhiallahu ‘anhu: “Adalah kami kembali kepada masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam: Sesungguhnya riya itu termasuk syirik kecil.” (HR. Hakim. Ia menshahihkannya dan disepakati adz Dzahabi, 4/329. Al Haitsami menyebutkan bahwa at Thabrani meriwayatkan dalam al Awsath, juga diriwayatkan al Bazzar. Rijal keduanya adalah rijal shahih, kecuali Ya’la bin Aus, dia tsiqah. Adapun pada lafaz at Thabrani disebut ‘syirik besar’. Majma’ uz Zawa-id, 10/222)


Sulitnya Ikhlas


Membersihkan amal dari kotoran dan keinginan dunia bukanlah urusan mudah sebagaimana yang disangka sebagian orang … Sesungguhnya ia adalah kemenangan atas egoisme dan kecintaan kepada materi, lenyapnya ketamakan jiwa dan tujuan-tujuan pendek dunia. Karena itu, harus ada mujahadah (kesungguhan) yang keras, muraqabah (pengawasan) yang konsisten terhadap ruang-ruang masuknya syetan, meluruskan dirinya dari niatan-niatan tersembunyi dan riya, cinta kemegahan dan ketenaran. Inilah faktor-faktor yang bisa mengalahkan para pemilik kekuatan dan berpengaruh pada jiwa manusia.

Karena itu sebagian orang shalih bertanya: Apakah yang paling berat bagi jiwa? Jawabnya: Ikhlas, karena ia tidak mendapatkan bagiannya.

Yang lain berkata: Membersihkan niat adalah amal paling berat dari seluruh amal. Juga ada yang berkata: Yang paling agung di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak manusia yang bersungguh-sungguh namun terjatuh dalam riya di hatinya, seakan ia tumbuh menjadi rupa yang lain.


Bahkan ada ungkapan indah: Beruntunglah bagi yang benar langkahnya walau sekali, dia tidak menghendaki dengan langkahnya itu kecuali Allah Ta’ala.


Di antara manusia ada yang melihatnya, mereka menyangka bahwa dia beramal untuk Islam dengan benar, bahkan barangkali ia mengira dirinya juga demikian. Maka, jika hatinya mencari dan menduga hakikat niatnya itu, ia akan temukan tuntutan dunia di balik pakaian agama. Sekarang memang belum ia inginkan semua ketamakan di balik amalnya, tetapi ia akan harapkan itu esok hari. Setelah itu, angin menggugurkan apa-apa yang ia angankan.


Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima hati yang tidak murni, tidak pula amal yang tercampur. Dia hanya menerima amal yang ditujukan untuk wajahNya semata.


Keutamaan Ikhlas


Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan Ikhlas di dalam kitabNya, dan sangat menekankannya dalam banyak surat al Qur’an khususnya Makkiyah, karena ia berkaitan dengan pemurnian tauhid, pelurusan aqidah, dan melempangkan tujuan. Allah Ta’ala berfirman kepada RasulNya:

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (QS. Az Zumar: 2-3)


“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agamaku’ ” (QS. Az Zumar: 14)


“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang perttama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ “ (QS. Al An’am: 162-163)


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al bayyinah: 5)


“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An Nisa: 125)


“Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan Allah dengan apapun dalam beribadah.” (QS. al Kahfi:110)


Asas Diterimanya Amal


Sesungguhnya tiap amal shalih memiliki dua rukun. Allah Ta’ala tidak menerima amal kecuali dengan keduanya:


Pertama: Ikhlas dan meluruskan niat

Kedua: Bersesuaian dengan sunah dan syara’


Rukun pertama merupakan tanda benarnya batin, rukun kedua merupakan tanda benarnya zhahir (praktiknya-pen). Tentang rukun pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung niat.” (HR. Muttafaq ‘alaih, dari Umar) Ini adalah timbangan bagi batin. Tentang rukun kedua Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa beramal dengan amal yang kami tidak pernah perintah, maka amal itu tertolak” (HR. Muslim dari ‘Aisyah) Ini adalah timbangan zhahir.

Allah Ta’ala telah menggabungkan dua rukun tersebut dalam banyak ayat al Qur’an. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:


“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan semua urusan.” (QS. Luqman: 22)


“Dan siapakah yang lebih baik agamnya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedng diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (QS. An Nisa’: 125)


Makna ‘menyerahkan diri kepada Allah’ yaitu memurnikan tujuan dan amal hanya untukNya. Makna ‘berbuat kebaikan’ adalah memurnikannya dengan itqan (profesional) dan mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkata Fudhail bin’Iyadh tentang ayat, ‘Untuk menguji di antara kalian siapa yang paling baik amalnya (ahsanu amala).’ Ahsanul amal artinya paling ikhlas dan paling benar. Ia ditanya: “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar?” Ia menjawab, “Sesungguhnya amal, jika ikhlas tetapi tidak benar , tidak akan diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal hanya untuk Allah. Benar adalah beramal di atas sunah.” Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh membaca ayat:


“Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal dengan amal shalih, dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan apapun dalam beribadah.” (QS. Al Kahfi: 110)


Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa niat yang ikhlas belumlah cukup untuk diterimanya amal, selama tidak sesuai dengan syariat dan tidak dibenarkan sunah. Sebagaimana amal yang sesuai dengan syariat tidaklah sampai derajat diterima, selama di dalamnya belum ada ikhlas dan pemurnian niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.


Ada dua contoh dalam masalah ini.


Pertama. Membangun masjid dengan tujuan merusak

Tidak ragu lagi, bahwa masjid memiliki kedudukan dan pengaruh dalam kehidupan Islam. Dia adalah rumah ibadah, madrasah bagi da’wah, dan tempat berkumpul untuk saling mengenal. Karena itulah Islam menganjurkan untuk membangunnya, memakmurkannya, serta memeliharanya. Telah dijanjikan ganjaran di sisi Allah ‘Azza wa Jalla bagi siapa yang melakukannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa membangun masjid dalam rangka mencari wajah Allah (ridhoNya), Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin ‘Affan) Namun hadits mulia ini, memperingatkan kita bahwa ganjaran hanya diperuntukkan bagi mereka yang menginginkan wajah Allah (sebagian orang menerjemahkan wajah Allah dengan ridha Allah-pen), bukan untuk setiap yang membangun masjid. Jika membangun masjid dengan tujuan rusak dan maksud yang jelek, maka hal itu akan menjadi bencana bagi yang membangunnya. Sesungguhnya niat yang buruk akan memusnahkan dan menyimpangkan amal yang baik, dan merubah kebaikan menjadi keburukan.

Dakam masalah ini terdapat kisah masjid adh dhirar di dalam Al Qur’an untuk menerangkan kepada manusia, bahwa niat yang buruk akan merusak dasar-dasar bangunan yang baik, serta menghapus kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Kami maknai ‘dasar-dasar bangunan yang baik’ adalah kebaikan-kebaikan yang terlihat dan melekat padanya, atau kebaikan dan taqwa yang telah ditentukan untuknya.

“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba) sejak hari pertama, adalah lebih patut bagi kamu untuk menegakkan shalat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin mensucian diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang suci.” (QS. At Taubah: 108)


Kedua. Berjihad untuk selain Allah Ta’ala


Jihad fi sabilillah adalah tathawwu’ (anjuran) paling utama. Seorang muslim, dengan jihad bisa bertaqarrub kepada TuhanNya. Namun demikian, Allah Ta’ala tidak akan menerima amal jihad sampai ia bersih dari kepentingan duniawi. Misal untuk dilihat manusia, melagakan keberanian, membela suku dan tanahnya, dan lainnya.

Sesungguhnya seseorang yang telah menggunakan pakaian para mujahid, dia berperang di dalam barisannya, sampai ia mati di tangan orang kafir, kemudian di sisi Allah ia bukanlah seorang syahid. Ini terjadi karena niatnya tidak murni untuk meninggikan kalimat Allah, di dalamnya terdapat muatan-muatan lain.

Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ary radhiallahu ‘anhu, bahwa datanglah seorang Arab Badui kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam, ia bertanya: “Ya rasulullah, orang yang berperang demi rampasan perang, supaya namanya disebut-sebut orang, dan supaya kedudukannya dilihat, maka siapa yang fi sabilillah?” Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin Affan)

Imam an Nasa’I meriwayatkan dengan sanad jayyid (bagus), dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ‘Alaihi shalatu wa salam, lalu berkata, “Apa pendapat engkau tentang orang yang berperang untuk mendapatkan upah dan disebut-sebut namanya, apa yang ia dapatkan?” Rasulullah menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Diulangi sampai tiga kali. Kemudian ia bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali bagi yang ikhlas dan mengharapkan wajahNya”.


Ikhlas memiliki tanda dan ciri-ciri yang banyak, yang nampak pada kehidupan dan perilaku orang yang ikhlas. Hal itu bisa dilihat olehnya dan orang lain. Di antaranya adalah:


1. Takut terhadap Ketenaran (syuhrah)


Orang yang takut terhadap ketenaran dan tersebarnya citra baik dirinya serta kualias agamanya, khususnya jika ia termasuk orang yang gemar memberi, meyakini bahwa amal yang diterima Allah ‘Azza wa Jalla adalah yang tersembunyi tidak dipamerkan. Bahwasanya manusia jika tertutup ketenarannya, ia hanya meniatkannya untuk Allah semata, Dialah yang akan mencukupkannya, bukan manusia.


Karena itu, zuhud terhadap kemegahan, ketenaran, dan cahaya diri, adalah lebih agung (berat) dari zuhud terhadap harta, syahwat perut, dan kemaluan. Imam Ibnu Syihab az Zuhri berkata: Tidak ada yang kami pandang berat selain zuhud kepada jabatan. Seseorang bisa zuhud terhadap makan, minum, dan harta, maka sudah seharusnya ia ketika diberi jabatan, menjaga dan berhati-hati terhadapnya.


Inilah yang menyebabkan banyak ulama terdahulu dan orang-orang shalih, takut jika hati mereka tertimpa fitnah ketenaran, tipuan kemegahan, dan citra diri. Mereka memperingatkan hal itu kepada murid-muridnya. Telah banyak karya-karya tentang perilaku yang memperingatkan hal itu, seperti Abul Qasil al Qusyairi dalam kitabnya Ar Risalah, Abu Thalib al Makky dalam Qutul Qulub, dan Imam al Ghazaly dalam Al Ihya’-nya.


Seorang zahid terkenal Ibrahim bin Ad-ham berkata: Allah tidak membenarkan (mengakui) orang-orang yang mencintai ketenaran.


Dia juga berkata: Tidak ada hari yang menyedapkan pandanganku terhadap dunia kecuali sekali saja, yaitu ketika aku bermalam pada suatu malam di sebuah Mesjid di negeri Syam.Saat itu aku sakit perut, lalu datanglah juru adzan, dia menyeret kakiku hingga aku keluar mesjid.


Itulah yang yang membuatnya senang, yaitu laki-laki tersebut tidaklah mengenalnya (walau ia seorang yang tenar), itulah yang menyebabkan juru adzn itu melakuakn tindak kekerasan dengan menarik kakinya seolah-olah ia penjahat. Itulah Ibrahim bin Ad-ham, yang meninggalkan wilayah dan harta kekayaannya karena Allah Ta’ala.


Ketenaran, secara dzat bukanlah hal tercela. Tidak ada yang lebih tenar dibanding para nabi, khulafa’ur rasyidin, dan para imam mujtahid. Tetapi yang tercela adalah jika ketenaran, kekuasaan, dan kemegahan adalah sesuatu yang dicari dan dikejar. Adapun jika ketenaran itu lahir tanpa dikejar dan dicari, maka itu tidak masalah. Hal itu – sebagaimana kata Imam al Ghazaly- menjadi fitnah bagi orang-orang lemah, tidak bagi orang-orang yang kuat.


2. Menuduh Diri Sendiri


Sesungguhnya seorang yang mukhlis selalu menuduh dirinya masih lalai dalam pengabdian kepada Allah Azza wa Jalla, sedikit menunaikan kewajiban, tidak menjaga hatinya dengan keterpedayaan amalnya, dan ‘ujub (bangga/kagum) dengan diri sendiri. Justru ia takut kejelekannya tidak diampuni, kebaikannya tidak diterima. Sebagain orang-orang shalih menangis dengan tangisan yang keras.


Ada orang bertanya: kenapa engkau menangis? Bukankah engkau telah bangun di tengah malam, puasa, jihad, sedekah (zakat), haji dan umrah, mengajar ilmu dan berdzikir? Ia menjawab: Apa yang Dia kehendaki terhadapku dari timbanganku nanti? Apakah itu akan diterima Tuhanku? Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal-amal) orang-orang bertaqwa …(QS. Al Maidah: 27)


Mata air taqwa adalah hati, karena itulah Al Qur’an menegaskan: ….maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al Hajj:32). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Taqwa itu di sini (diulangi tiga kali). Ia menunjuk dadanya (HR. Muslim dari Ibnu Umar)

Aku bertanya kepada Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha tentang orang-orang yang telah ‘memberi’ dalam firman Allah: Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (QS. Al Mu’minun: 60). Apakah mereka itu para pencuri, pezina, pemabuk, dan mereka takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla ? Ia menjawab: bukan, tetapi mereka adalah orang yang shalat, puasa, dan bersedekah, namun mereka takut itu semua tidak diterima. Mereka itulah yang bersegera untuk meraih kebaikan-kebaikan,dan merekalah yang segera mendapatkannya (QS. Al Mu’minun: 61) (HR. Ahmad dan lainnya)


3. Mengutamakan amal yang Tersembunyi


Ia harus lebih menyintai amal yang tersembunyi daripada amal yang terang-terangan dan melahirkan ketenaran. Sesungguhnya ini memiliki pengaruh dalam masyarakat, seperti akar pohon yang merupakan pokok sekaligus sumber kehidupannya. Tetapi ia tertutup oleh perut bumi, tidak terlihat mata. Atau seperti fondasi sebuah bangunan. Seandainya ia tidak ada, niscaya tidak akan tegak dinding, tidak pula atap, rumah pun tidak ada. Tak ada satupun yang melihatnya, sebagaimana terlihatnya dinding yang tinggi.

Berkata Asy Syauqi:

Fondasi merendah, ia tidak terlihat oleh mata

Setelah ia menegakkan bangunan yang kokoh


Umar radhiallahu ‘anhu keluar menuju mesjid, ia melihat Mu’adz bin Jabal menangis di sisi makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Umar bertanya: Apa yang membuatmu menangis? Mu’adz menjawab: Hadits yang telah aku dengar dari Rasulullah, ia bersabda: Sesungguhnya riya’ (walau sedikit) adalah syirik. Dan barangsiapa yang memusuhi wali-wali Allah, maka Allah akan memeranginya. Sesungguhnya Allah menyukai kebaikan-kebaikan orang-orang bertaqwa yang tersembunyi. Yaitu orang-orang yang jika ia tidak ada manusia tidak merasa kehilangan. Jika ia hadir orang-orang tidak mengenalnya. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk, yang keluar dari tanah-tanah yang gelap. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqy dalam Az Zuhud dan Al hakim. Katanya shahih, tidak ada cacat dalamnya)


4. Tetap Beramal Baik menjadi Pemimpin atau Prajurit


Konsisten dengan amal shalih, baik ketika menjadi pemimpin atau prajurit. Pada kedua posisi itu ia senantiasa mencari ridha Tuhannya, mengabdi pada da’wahNya, dan membela risalahNya. Tidak membiarkan hatinya dikuasai keinginan untuk terkenal, nyelonong ke shaff terdepan ketika shalat, dan gila kekuasaan serta mengejar kedudukan sebagai pemimpin.


Bagaimana pun keadaannya, ia tidak mengejar-ngejar atau menuntut untuk dirinya, tetapi jika ia diberikan tugas, ia akan mengembannya dengan berharap pertolongan Allah untuk menjalankannya dengan benar.

Rasulullah telah menyifati orang seperti ini dalam haditsnya:

“Berbahagialah hamba yang menuntun kendali untanya di jalan Allah, kepala dan kedua kakinya berdebu, jika ia dibertugas jaga maka ia melaksanakan (dengan baik dan ikhlas) dan jika sebagai pengawal pasukan di belakang ia melaksanakan pengawalan (baik dan ikhlash)” (HR. Bukhari)


Semoga Allah meridhai Khalid bin Walid yang telah rela menanggalkan jabatannya sebagai panglima pasukan, padahal ia pemimpin yang selalu memenangkan pertempuran. Akhirnya ia berperang di bawah kendali Abu Ubaidah tanpa menyesal dan gelisah.


5. Mengharap Ridha Allah, sebelum ridha manusia


Jangan pernah tergoda untuk mendapatkan ridha manusia, jika kemudian Allah murka. Sebab manusia itu memiliki perbedaan yang sangat besar, dalam perasaan mereka, pemikiran, kecenderungan, tujuan-tujuan dan metode. Maka, mengejar ridha manusia adalah tujuan yang tidak pernah tercapai, dan tuntutan yang tidak bisa dikabulkan.


Berkata seorang penyair:

Siapakah manusia yang diridhai oelh semua manusia

Padahal di antara hawa nafsu jiwa-jiwa terdapat jarak yang amat jauh?


6. Cinta dan Benci karena Allah Ta’ala


Menjadikan rasa benci dan cinta, taat dan menolak, ridha dan marah, harus karena Allah semata dan agamaNya. Bukan karena diri atau kepentingan-kepentingan pribadinya. Janganlah berperilaku seperti kaum opurtunis munafik yang telah Allah ‘Azza wa Jalla cela dalam kitabNya.


Allah berfirman:

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat, jika mereka diberi sebagian darinya (zakat) mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, serta merta mereka menjadi marah” (QS. At Taubah: 58)


Sebagian aktifis da’wah menyaksikan, jika ada saudaranya yang dicela (oleh musuh, pen) dengan kata-kata yang menyakitkan hati atau melukai perasaannya, dengan menjelek-jelekkan dirinya atau salah satu karakternya maka dengan cepat ia marah, lalu meninggalkan aktifitas da’wah dan harakah, lalu memisahkan diri dari medan da’wah.


Ikhlas beramal merupakan tujuan yang harus terpenuhi karena itu adalah konsekuensi da’wah. Ia harus kukuh terhadap orientasinya, Bagaimanapun juga keadaan yang menimpanya, kesalahan, kelalaian, atau sikap melampaui batas,karena ia beramal hanya untuk Allah, bukan untuk dirinya, bukan pula untuk si Fulan dan si Alan.


Da’watullah bukanlah barang atau harta milik satu orang. Da’watullah adalah milik semuanya, maka tidak boleh seorang mu’min memisahkan orang lain darinya, lantaran sikap-sikap tersebut.


Wallahu A’lam wa lillahil ‘Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar